6. Rambut yang Tumbuh

Tiba-tiba, hujan deras mengguyur seluruh kawasan bukit. Sebuah vila megah tampak kokoh melindungi serangan bulir awan yang jatuh menghantam. Ternyata suaranya lebih rendah jika didengarkan dari bawah langit.

Casa menatap ke luar jendela. Gumpalan awan hitam bergerak cepat membawa cairan mematikan. Yah, benar. Mematikan bagi makhluk awan. Dahinya mengerut setiap mengingat banyak penghuni Negeri Awan yang sering terlarut bersama hujan dan kemudian berakhir di samudera luas. Meski tidak semua, kebanyakan dari mereka terbunuh dengan cara demikian.

Casa menghela napas di depan kaca jendela tersebut, membuat uap dingin menempel di permukaannya. Spontan ia menutup mulut.

'Huh, apa ini?' batin Casa penasaran mengernyit, kemudian ia mencoba menghela napas sekali lagi. Tidak, dua kali, mungkin tiga.

Kali ini muncul uap putih lumayan banyak. Reaksi gadis itu berbeda dari sebelumnya, Casa sedikit memekik. Baru-baru ini ia memang merasakan masa berat tubuhnya meningkat.

'Apa yang terjadi? Jangan-jangan ....'

"AA!" teriak Violet sembari bersembunyi di bawah selimut. Dari arah pandang Grey, selimut tersebut bergetar.

Grey melirik aneh. "Hei, Vio. Kamu kenapa lagi?"

Violet mengarahkan jari telunjuk dengan gemetar. "D-di sana. A-ada kuntilanak! Usir dia, Kak Gre! Usir kuntilanaknya!" racau si cilik.

Casa membulatkan mata. Pasalnya, ujung telunjuk Violet tepat menuding ke arahnya. Hal itu membuat Casa manggut-manggut paham. Ternyata di dunia manusia, mereka menyebut makhluk awan dengan sebutan kuntilanak.

Lalu Grey mengikuti ke mana Violet memandang, sepertinya ia masih belum bisa menangkap kehadiran makhluk halus tersebut. Tidak ada apa-apa di dekat jendela. "Di mana, sih? Nggak ada, kok."

Violet pun membuka selimut dengan geram. "Hih, ada ... Kak! Tadi Vio lihat bayangan muka pucat di sana. Di jendela! Rambutnya panjang, terus putih. Dia lagi menghadap ke sini. Hi ... pokoknya serem!"

Karena hanya terlihat bayangan Casa dari kaca, Violet mengira kehadirannya itu berasal dari luar rumah dan Casa mencoba menatap ke dalam ruangan. Tiba-tiba, terdengar kekehan dari mulut Grey saat mendengar adiknya melafalkan surat Al-Falaq. Tak butuh waktu lama bagi Violet untuk menimpuk kepala kakaknya.

"Maaf, Sayang, tapi beneran nggak ada kunti di situ. Coba deh, lihat!" hiburnya sambil mengembalikan bantal berbentuk kepala Kuromi ke pelukan Vio.

"Hmm." Vio agak ragu untuk menoleh. Ia hanya melirik sekilas dan ternyata benar. Sosok yang ia lihat barusan menghilang, tapi jelas-jelas tadi ada. Hal itu membuat dahinya berkelit.

"Nggak ada, kan?"

"Iya, tapi kita pindah aja yuk ke kamarnya Kak Jade?"

Sontak raut wajah Grey merengut. "Oke, tapi nanti. Tunggu rambutmu kering dulu. Sini! Mau Kakak keringkan." Di tangannya memegang handuk berwarna ungu yang tampak lembut.

Vio baru sadar kalau dirinya habis keramas. Ia menggenggam ujung rambutnya yang masih basah, kemudian diselakan ke belakang. Ia lalu merapatkan diri ke arah Grey.

"Jangan lama-lama," pesannya.

Laki-laki itu menarik napas. "Hah, iya," balas Grey mulai menggosok-gosok kepala Violet dengan pelan.

Pelipis Grey berkeringat. Entah kenapa seluruh tubuhnya terasa lengket dan panas, padahal cuaca di saat hujan-hujan begini seharusnya terasa sejuk. Ia berpikir untuk mandi setelah ini sekalian keramas. Ah, mungkin sekalian juga melanjutkan hajatnya yang belum tersampaikan.

Sedangkan di sebelahnya, Casa mengamati rambut Violet dan Grey secara bergantian dengan jarak sangat dekat. Gadis cilik yang lumayan peka akan keberadaan Casa menjadi kurang nyaman. Sesekali ia mengibaskan tangan ke samping sebab merasakan pergerakan angin yang tidak lazim.

'Wah, kok kayaknya mirip sama punyaku?' batin Casa terheran. Satu tangannya menggenggam seutas rambut putih perak yang menjuntai dari kepala hingga bahu.

Tekstur kasar yang ia rasakan saat menyisir rambut dengan tangan kosong membuat Casa merinding, terlebih bentuk tubuhnya seperti berubah meskipun bertahap. Kaki dan tangan menyerupai manusia, rambut panjang seperti benang sutra, lalu ... ia semakin meraba keseluruhan wajahnya.

Casa tertegun sejenak. Ia belum mampu melihat wajahnya sendiri. Sementara itu, bayangannya di cermin belum terefleksikan secara sempurna. Namun ia yakin wajahnya telah berubah total. Pasti hampir serupa dengan wujud manusia. Casa dapat merasakan hidung yang timbul, rambut halus di atas mata, kemudian bibir yang kenyal.

'Gawat!' Refleks, gadis itu menggigit bibir bawah.

"Huh?" Violet tertunduk bingung. Matanya menyipit. Sepintas ia melihat setetes cairan warna merah mengenai lantai, tetapi dalam sekali kedip cairan tersebut menguap.

"Kenapa, Vio?" tanya Grey penasaran. Daritadi adiknya terlalu antusias menatap lantai.

Disentak seperti itu membuat lamunan Violet buyar. "Nggak kenapa-kenapa, tadi Vio cuma lihat ada yang netes."

"Mungkin dari rambutmu."

"Iya." Sayangnya tidak mungkin dari rambut Vio. Karena sesuatu yang menetes itu adalah darah.

Casa sibuk mendesis sembari mengipas area bibirnya yang terkoyak. Perih! Oh sial, dia bahkan punya taring sekarang. Seperti hewan saja. Sebisa mungkin ia tahan agar tidak menjerit sakit.

Violet pun mencoba berpikir tenang semenjak kembali dari hotel. Kalau dipikir-pikir, serangkaian kejadian mistis mulai terjadi setelah mereka berdua turun gunung. Kejadian pertama saat Grey merasa kepanasan meski jendela mobil terbuka lebar, kejadian kedua saat check-in kamar hotel, ia mendengar suara seorang wanita.

Kemudian kejadian ketiga saat baru saja memasuki kamar ini, tirai kerang berputar-putar seolah ada seseorang yang melewatinya. Walaupun Grey lebih memilih percaya, bahwa itu tertiup anging, tetapi nadanya kurang meyakinkan bagi Violet. Apalagi kejadian terakhir paling menakutkan. Violet menggeleng kuat. Bisa-bisanya, dia melihat sesosok hantu wanita!

"Kenapa, sih?" tanya Grey gemas mengacak-acak rambut sang adik. Ia gemas melihat wajah Violet yang berubah-ubah setiap detik. Namun gadis cilik itu hanya mendesah pelan. Menurutnya, menceritakan sesuatu yang tidak bisa Grey ikuti akan nihil.

"Malah diam. Kalau ada apa-apa, tuh, ngomong," sembur laki-laki itu. 'Masih kecil udah main rahasia-rahasiaan,' lanjutnya dalam hati.

"Kangen Kak Jade," ucap Violet. Hanya kakak pertamanya yang seringkali satu frekuensi. Rahang Grey pun selalu menegang setiap Violet menyebutkan nama Jade.

"Aduh! Sakit," keluh Violet saat Grey tanpa sadar menarik rambut Vio terlalu kuat. Ia bermaksud mengencangkan karet kucir yang kendur.

"Maaf, Vio, masih sakit nggak?" tanyanya tersenyum sembari mengelus puncak kepala Violet. Sebenarnya dia sangat khawatir.

"Sakit!" Gadis itu menyungut kesal, menepis tangan Grey lalu menarik rambutnya yang sudah rapuh-balas dendam. Grey meringis, sedikit terkekeh. Melihat adiknya masih mampu bersikap energik alias marah, berarti ia sedang dalam kondisi normal.

"Hehe udah kering. Sana buruan ke sana lantai atas," titah Grey mengarahkan dagu ke arah keluar.

"Kak Gre nggak ikut?" tanya Violet, seakan menawari.

"Kamu pengen Kakak ikut?" tanya Grey balik.

Seketika Violet mengulum senyum. "Hmm, nggak usah. Yeey! Akhirnya aku bisa berduaan ... sama Kak Jade!" serunya membuang bantal kepala Kuromi dan melompat dari kasur. Grey berdecak guna memaklumi tingkah gadis kecil.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top