5. Wajah yang Mirip
'Loh, kok mirip?' batin Casa mengerutkan kening.
Ia menoleh ke belakang, ditatapnya Grey yang juga memiliki mata sehijau zamrud dan rambut sehitam obsidian. Paras mereka sama persis mau dilihat dari sudut mana pun.
Casa baru tahu kalau wajah manusia juga bisa mirip dengan wajah manusia yang lainnya. Sejauh ini, ia hanya bertemu dengan orang-orang yang memiliki wajah dengan bentuk tak sama. Apakah suara mereka juga mirip?
Kalau iya, mungkin Casa akan sangat kesulitan membedakan keduanya.
"Hati-hati, Vio! Nanti kepleset la ...."
Belum sempat Grey menyelesaikan kalimat, terdengarlah bunyi deburan yang kali ini lebih keras.
"... gi."
Grey mengehela napas saat celana bagian bawahnya ikut basah. Ia memandang Violet yang malah memasang gaya batu.
Violet memejamkan mata selama di dasar kolam, membiarkan pergerakan air membawa tubuhnya ke permukaan. Pipinya menggembung kesal. Padahal, ia sudah tidak sabar menemui kakak pertama. Ada saja kejadian yang membuat gadis cilik itu terjungkal.
Tes!
Grey spontan mengusap pipi. Rasanya sejuk. Ia menyaksikan awan gelap di atas berjalan lebih cepat, bayangan hitam menutupi hampir seluruh kawasan vila.
"Vio, hujan!" serunya cemas.
Violet pun berenang ke tepi. Tanpa dikasih tahu, ia juga tahu kalau tetesan air yang mengenai pipinya barusan adalah rintik hujan. Gadis cilik itu mengulurkan kedua tangan, Grey paham dan dengan langkah lebar segera menggendong Violet ke dalam rumah.
Casa dibuat ternganga oleh pernak-pernik perabotan di sekelilingnya. Mulai dari halaman depan sampai dalam rumah, setiap perabotan tampak berkilau dengan pantulan cahaya lampu. Terlihat padat sekaligus kokoh. Tentu jauh lebih tahan lama daripada semua perabotan milik Dede. Kamar bersinarnya itu pasti sudah meleleh sekarang.
Memikirkan kamar Dede yang meleleh, membuat Casa terkikik.
"Kak Gre, masa aku denger suara orang ketawa," ujar Violet dengan wajah murung.
Daritadi hanya dia saja yang mendengar suara-suara aneh. Casa refleks menutup mulut, ia tidak menyangka seseorang dapat mendengar suaranya.
"Suara kayak gimana?"
Violet lalu sebisa mungkin menirukan suara ketawa yang ia dengar.
"Hmm mirip, sih," ucap Grey.
"Hah, mirip apa?"
"Ketawamu ... sama kuntilanak."
Violet merengutkan bibir. Ia bertumpu pada pundak Grey sebelum menarik kuat jambul kakaknya dengan mengerahkan energi maksimal.
Laki-laki itu mengaduh kesakitan. Ia melangkah cepat dan meletakkan tubuh Vio ke kasur. Barulah Violet melepas jambakan maut tersebut.
Ia tersenyum puas setelah berhasil mencabut beberapa helai rambut sang kakak.
Di ambang pintu, Casa ternganga lagi sambil menyentuh hiasan tirai manik-manik berbentuk kepingan salju yang terbuat dari perak. Itu adalah hasil kerajinan Violet saat ia masih sekolah di taman kanak-kanak.
'Wah, wah, cantik banget! Ini cara bikinnya gimana, ya?' batin Casa penasaran sembari menempelkan matanya ke hiasan tersebut.
Di Negeri Awan memiliki elemen serupa, yakni batu kristal. Sayangnya tidak terpikirkan ide untuk membuat hiasan pintu dengan batu kristal. Selain itu, kalau terpikirkan pun, Casa terlalu malas menggali batu kristal, kemudian menjadikan belah batu kristal hingga berkeping-keping pun memerlukan banyak tenaga.
Casa menggedikkan bahu, kemudian menghampiri posisi Grey berada.
Tirai salju tadi bergesekan tatkala Casa melewati batas garis antara lantai kamar dengan ruang tamu. Spontan kedua kakak-beradik tersebut menoleh ke sumber suara, mengamati kepingan kristal yang berputar-putar seolah angin lembut mengembusnya.
'Ups!' Casa terperanjat.
Violet dan Grey menatap ke arahnya, tetapi tatapan mereka yang asli hanya menembus sampai tirai.
"Jangan-jangan ... beneran kuntilanak?" tanya Vio dengan berbisik dan mendekatkan wajahnya.
Casa menautkan alis. 'Kuntilanak tuh apa?' batinnya penasaran.
Grey menyadari wajah si adik pucat pasi tanpa warna darah setetes pun. Ia lalu mencoba berpikir positif. "Nggak, kok. Itu cuma angin."
"Ta-tapi Vio takut kalau itu beneran kuntilanak gimana? Kak Gre kan nggak hapal ayat kursi," cicitnya sambil melengkungkan bibir ke atas.
Grey mengusap puncak kepala adiknya itu.
"Nggak apa-apa, Vio. Nanti kalau beneran ada kuntilanak, Kakak coba lari panggil kuntilmama sama kuntilpapa biar kuntilanaknya dijemput."
"Ck!" decak Violet. "Nggak lucu."
Grey dengan sigap menghindarkan kepala dari tangan Vio yang ingin melakukan penjambakan. Dia tertawa nakal. Namun, tak sampai dua detik. Setelah itu, Violet bangkit menaiki kasur agar lebih mudah mencapai rambut sang kakak.
"Aduh! Vio, lepas nggak?" ujar Grey serius. Benar-benar, serangan Violet paling mematikan adalah jambakan. Kepalanya terasa cenat-cenut.
Violet hanya menjawab melalui tindakan. Ia terus menarik rambut Grey sampai laki-laki itu mengerang.
"Sakit, Vio! Vio! Lepaskan rambut Kakak! Argh—"
Grey melotot sempurna. Ia mengaca di depan cermin sambil mengelus-elus bagian kepala yang botak.
Kali ini giliran Violet yang tertawa. Dia berhasil mencabut segenggam rambut milik sang kakak. Namun, tawa itu juga tidak berlangsung lama.
Terdengar lolongan serigala dari kejauhan. Sepertinya dari arah hutan. Hal itu membuat Violet terbungkam sambil memandang kakaknya dengan wajah tegang.
"Kak Gre," ucap Violet pelan.
Grey tahu apa yang dirasakan Violet sekarang. Ketakutan terpancar jelas di raut wajah mereka, namun sebagai kakak ia mencoba menetralkan ekspresi.
"Nggak apa-apa, Vio. Rumah kita memang dekat hutan, tapi sudah dipagari tinggi, jadi nggak mungkin ada serigala nerobos masuk," tenangnya.
Violet mengangguk ragu sembari memeluk guling, erat. Tubuhnya menggigil, entah benar-benar kedinginan atau karena mendengar lolongan serigala. Mungkin keduanya. Guling yang dipeluk ikut basah. Kalau terus begini, bisa-bisa Violet demam.
"Mandi dulu, yuk?"
Violet mengangguk cepat. "Tapi Kakak ikut, ya?"
"Iya ..."
Grey lalu menggandeng Violet ke kamar mandi. Sekilas, ia menunduk, menatap jauh pemandangan di luar jendela. Pepohonan tampak berkerumun dan menyatu, seolah berusaha menyembunyikan hal lain di bawah sana.
Vila ini terletak di pegunungan dan dikelilingi hutan. Grey jarang mampir sebab kejadian lama masih terus menghantuinya. Hanya Jade seorang yang betah tinggal.
Kalau bukan atas permintaan Violet untuk bertemu Jade, mungkin Grey tidak akan menginjakkan kaki lagi ke sini. Hatinya selalu bergetar mengingat kenangan indah yang selalu terkurung di antara gelapnya pepohonan.
Violet kembali tenang saat keran air menyala. Air hangat memenuhi bak mandi dengan menguarkan aroma buah anggur yang disukai Violet. Grey tersenyum melihatnya fokus bermain bersama kawanan bebek kuning.
Sangat berbeda dengan mimik wajah Casa sekarang. Gadis itu tampak tertekan ketika Grey mengarahkan shower ke rambut. Dia sedang membantu Violet berkeramas. Namun, percikan air melompat ke mana-mana, membuat Casa harus merapatkan diri ke tembok, berusaha menghindar.
"Hiks, Ya Allah ... jika diri hamba terkena air, kemudian raib. Tolong berikan hamba tempat akhir yang indah yang tidak tercemar limbah sampah. Misalnya, muara sungai. Aamiin," bisik Casa berdoa sambil meraup wajah.
Di sisi lain, pemilik netra hijau menajamkan penglihatannya. Sepasang kelereng zamrud itu menelisik dahan pohon. Beberapa dahan pohon ikut berguncang serta beriringan seakan sesuatu tengah berjalan melewatinya. Lagi-lagi, terdengar lolongan serigala. Lebih kencang dari yang pertama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top