3. Energi yang Lemah

"Kamu ngapain ke sini sih, Alula? Bahaya!" Gadis itu malah menyusulnya menuju daratan. Jujur saja, Alula khawatir dan tidak bisa diam kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Bas. "Sana pulang!"

"Nggak mau," tolaknya.

"Pulang!"

"Enggak! Aku mau jagain kamu."

Alula dan Casa, mereka sama. Sama-sama kepala batu. Mungkin karena Alula sering bergaul dengan adiknya itu, maka sifat keras kepalanya juga menular.

"Kita mau cari ke arah mana?" tanya Alula.

"Kalau berdasarkan perkiraan waktu mendung dan arah angin, seharusnya awan yang ditinggali Casa masih tertinggal di bagian Barat."

"Oke. Ayo ke sana."

"Tunggu, sepertinya lebih efektif kalau kita berpencar. Apa kamu bisa pergi ke arah Utara? Nanti titik baratnya kembali ke sini. Aku ingin memulai pencarian lewat jalur Selatan."

"Kamu yakin? Dari arah Selatan ada awan Cumulonimbus.

"Insyaallah aman."

"Aman gimana? Jangan gila, please. Kalau pergi ke sana dan ternyata hujan, kamu nggak akan bisa terbang balik ke arah timur."

"Lula," panggilnya letih.

"Iya, aku tahu kamu khawatir dengan adikmu, tapi pikirkan nyawamu juga. Sekarang kita cari bersama lewat jalur Utara, oke?"

Bas pasrah, mengikuti perempuan dua tahun lebih tua dengan patuh. Untunglah tadi Alula memutuskan untuk menyusul Bas. Kalau tidak, entah apa yang akan laki-laki itu lakukan sendirian.

Sejauh ini energi Casa belum terdeteksi. Entah Casa yang masih berada di luar jangkauan atau mereka berdua yang kurang dekat dengan daratan.

Alula memberikan arahan agar Bas terbang lebih rendah. Ia bersyukur sebab lelaki itu menurut.

"Aku merasakannya!" seru Bas. Akhirnya ketemu. "Di sana."

Alula mengangguk. "Ayo ke sana."

Setelah berhenti di atas atap, Bas mencium energi sang adik tepat di bawahnya. "Ini aneh. Aku merasakan energi Casa berasa di bawah sini."

"Aku juga merasakan energi sesama makhluk awan di bawah sini, tapi coba kamu lihat ke sana," tunjuk Alula ke barisan mobil alias tempat parkir. "Bukankah itu Casa?"

"Casa!" Bas memanggil agak keras agar gadis itu dapat mendengarnya. Ia bahkan terbang menghampiri sang adik. Melihat banyak manusia di sekitar Casa, membuat Bas khawatir setengah mati.

"Kakak?" gumam Casa.

Ini mimpi, kan? Ia sangat malu bertemu kakaknya. Begitu melihat wajah Bas, Casa teringat semua ledekan yang pernah lelaki itu lontarkan. Casa tidak ingin bertatap muka untuk sekarang.

Ia pun bersiap terbang, namun baru melayang tubuhnya sudah menghantam aspal. "Aduh."

Kenapa hidupku sial mulu?

Bas mendekati Casa perlahan, diikuti Alula. "Kamu nggak apa-apa?"

"Malu-maluin," cicit Casa. "Kak Bas pasti mau ledekin aku lagi. IYA, KAN?"

"Astaghfirullah kamu ngomong apa sih? Suudzan mulu. Ayok pulang." Bas mengulurkan tangan, tapi langsung dicegah oleh Alula.

"Tunggu," ucapnya.

Bas mengernyit tak paham. Alula menatap Casa, lalu menanyakan sesuatu yang membuatnya ragu. "Jangan sentuh dia, Bas."

"Kenapa jangan? Kita kan muhrim."

"Aku rasa ada yang aneh dari tubuh Casa."

Sontak Casa meneguk ludah. Detik berikutnya ia berdiri sendiri, kemudian mengangkat kedua tangan seperti hendak memeluk. "Kakak ...."

Bas yang juga menyadari kejanggalan tidak mau menerima tindakan sok manja adiknya. Ia bersembunyi di belakang Alula. "Casa, apa bener kata Alula? Dan kenapa aku nggak bisa merasakan energi kamu yang jelas-jelas di depanku? Malahan ...."

Bas tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, Casa paham. "Iya, Kak. Aku juga merasa aneh, tapi aku nggak tau caranya supaya semua bisa balik seperti semula."

Casa berjongkok, frustrasi.

"Maksudmu apa?"

"Inti awan milikku ada di dalam tubuh manusia. Aku sudah berusaha mengambilnya, tapi gagal terus. Aku harus gimana? Aku nggak bisa terbang lagi untuk sekarang."

"Tunggu, tunggu. Kok bisa inti awanmu ada di tubuh manusia?" tanya Alula.

"Iya, Casa. Kok bisa?" Bas menatap tak percaya.

"Jadi, itu ... aku nggak sengaja bersentuhan dengan manusia."

"APA?!" jerit mereka bersamaan.

Alula memijat kepala menggunakan kedua tangan. Ia terbang berputar-putar di atas Casa, menandakan bahwa dirinya panik. Begitu juga Bas yang terbang memutar mengikuti Alula.

"Gawat nih," gumamnya.

Setelah beberapa detik dan berhasil membuat Casa pusing, akhirnya mereka berhenti.

"Ceroboh!" maki Bas tepat di depan wajah Casa. Anak itu merenggut kesal sebab bukan pertama atau kali kedua dia mendengar penghinaan dari kakaknya.

"Gimana dong, Kak?" ucapnya, merengek.

"Jangan sentuh gue!" Bas beringsut mundur ketika tangan Casa hendak meraih kakinya. Ia sangat takut kalau ikut mengalami apa yang Casa sedang alami. "Kita udah nggak muhrim," lanjutnya terpukul.

Alula menghembuskan napas. "Bas, kita harus kembali dan menanyakan hal ini pada tetua. Sebentar lagi hujan deras."

Casa membulatkan mata. "Kalian mau pergi begitu saja?"

"Memangnya kamu bisa terbang?"

Casa menggeleng atas pertanyaan Alula. Lalu berkata, "Kalian kan bisa memapahku."

Permintaan itu telah menunjukkan betapa malasnya seorang Casa. Lagi-lagi membuat Bas melangitkan asma Allah. "Ya Allah, Dek."

Saat Bas memanggil Casa dengan sebutan "dek", maka bisa dipastikan kalau pria itu tengah menahan darah tinggi di batas kesabaran yang tipis.

"Nggak bisa, Cas." Alula menjelaskan, "Kalau kamu jauh-jauh dari inti awan, nanti tubuhmu melemah kayak sekarang. Sekarang kamu nggak bisa terbang, kan? Jangankan terbang. Melayang rendah pun susah."

Yang diucapkan Alula benar. Andaikata Casa berhasil naik ke atas awan. Belum tentu ia dapat tiba dengan selamat. "Baiklah, apa yang harus kulakukan, Kak Lula? Kak Bas?" tunduknya sedih.

Bas termenung, tapi dia sedang berpikir keras. Sedangkan Alula menggeleng pelan. "Kami juga nggak tahu. Untuk sekarang, kamu sebaiknya jangan jauh-jauh dari manusia itu."

"Apa ... apa setiap saat aku harus mengikuti manusia itu? Kemana pun dia pergi?" tanya Casa.

Alula mengangguk. "Iya. Untuk berjaga-jaga. Karena kita semua kan nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya."

Mendengarnya saja sudah membuat punggung Casa melemas.

Bas menatap tajam. "Jangan malas! Awas saja kalau kamu berhenti mengikutinya karena malas!"

"Iya, baiklah."

Setelah pertemuan yang singkat. Mereka berdua pun benar-benar kembali ke Negeri Awan, tanpa Casa.

"Tenang saja, Casa. Setelah mendapatkan solusinya, kami berdua akan mencarimu lagi nanti. Jaga dirimu baik-baik."

Ucapan Alula sedikit membuat lega, tapi tetap saja tidak mengurangi kesedihan Casa. Perempuan yang sudah ia anggap sebagai kakak malah menghiburnya hanya lewat kata-kata. Bahkan mereka tidak ingin disentuh sama sekali.

Meskipun di rumah keduanya jarang berpelukan, di saat-saat seperti ini Casa sangat ingin memeluk mereka. Casa lelah memikirkan semua itu. Biarlah Alula dan Bas yang sibuk berpikir.

Kemudian, ternyata juga sangat melelahkan berjalan seperti manusia. Merupakan hal yang patut diacungi jempol karena untuk pertama kalinya, Casa menuju tempat Grey yaitu lantai tiga, menggunakan kaki.

"Ah, ah, ah."

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top