17. Wujud yang Transparan
Casa melemaskan bahu begitu Jade menghilang dari pandangan. Ia bernapas lega, lalu beralih menatap Grey di sampingnya yang tengah menahan sakit. Di mana laki-laki itu memegang dada, terdapat sisa cahaya biru berkelap-kelip. Casa dapat merasakan energi inti awan semakin lemah.
"Gawat, nih! Jangan-jangan ... karena aku pergi ke kotak dingin?" batinnya cemas. Gadis itu menggigit ujung kuku.
Grey mencoba menepis rasa ngilu yang dirasakan dengan menepuk dadanya pelan. Beberapa kali, ia menyugesti diri sendiri bahwa tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Sementara Casa hanya bisa berharap inti awan miliknya baik-baik saja.
Ia tidak bisa lagi menyentuh Grey sembarangan, bahkan untuk mengecek keadaan inti awan pun tidak berani. Namun kalau terus dibiarkan seperti ini ... inti awannya benar-benar akan mati. Apa yang harus Casa lakukan?
Casa harus melakukan interaksi dengan inti awan agar cahaya inti awan bisa hidup kembali. Tangannya lantas bergerak canggung ke depan, tetapi maju mundur. Ia ragu.
"Gimana kalau dia merasakan sentuhanku?" gumam Casa, pelan. Sangat pelan. Si empu sampai tidak sadar kalau ia sedang berbicara lewat mulut.
Grey mampu mendengar suara gumam itu dengan jelas. Lalu ia menoleh ke samping. Alisnya mengernyit sebab tidak ada siapa-siapa di sebelahnya. Hanya terasa hawa panas.
Menyadari sebuah tatapan, Casa mengangkat kepala dan balas menatap dengan pandangan bertanya. Tentu saja Grey tidak bisa melihat wujud Casa. Namun laki-laki itu justru memasang wajah kesal.
"Pergi nggak?!" titahnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Jangan coba-coba sentuh aku!"
Bahu Casa berjengkit mendengar bentakan tersebut. Matanya memicing heran, bertanya-tanya kenapa Grey berteriak mengusirnya, tetapi wajah pria itu menatap ke arah lain.
Maksud Casa, bukankah yang ia tatap sekarang adalah udara kosong? Memang benar posisi Casa ada di samping. Akan tetapi, Casa berdiri tidak sejajar dengan Grey. Ia kurang satu langkah.
"Aku kan di belakangmu, bukan di situ," ucap Casa memberi petunjuk.
Sekilas, Grey terkesiap mendengar suara halus tersebut. Ia berbalik dan melayangkan tatapan tajam, padahal Casa dapat menemukan pupil matanya yang bergetar ketakutan. Hal itu membuat Casa tanpa sadar menahan tawa.
"Agak ke kiri," bisiknya.
Grey lantas menoleh sedikit ke kiri. Dahinya berkelit.
"Tetap nggak kelihatan, ya?" tanya Casa sembari mengipaskan tangan ke depan wajah Grey.
Laki-laki itu dapat merasakan sapuan angin yang panas membuat pelipisnya berkeringat dingin. Apakah ini yang disebut panas dingin?
"Aku nggak peduli mau kamu kelihatan atau nggak! Yang penting sekarang kamu pergi! Jangan sentuh aku!" teriaknya di setiap kalimat.
Casa sampai memejamkan mata. Padahal lawan bicara ada di depan mata, tetapi ia terus berbicara keras dan lantang seolah Casa berada di sisi bumi yang lain.
"Teriak-teriak gitu, kamu kira kamu lagi di panggung pelangi?" tanya Casa sambil menutup kedua telinga. "Lagian siapa juga yang mau sentuh kamu."
Setelah berpikir dua kali, Casa mempunyai kesimpulan tentang bersentuhan dengan manusia. Semua hal yang berkaitan dengan makhluk satu ini entah kenapa terasa menyakitkan. Ia pun mengubah niat untuk tidak terburu-buru memeriksa inti awan. Setidaknya sampai Bas dan Alula datang menjemputnya.
"Panggung ... pelangi?" ujar Grey menaikkan satu alis.
Oh, benar. Casa lupa kalau manusia bumi tidak pernah tahu apa itu panggung pelangi. Jangankan panggung pelangi, eksistensi manusia awan pun mereka tak sadar.
"Tempat paling indah di Negeri Awan. Aku kasih tahu, kamu juga tetap nggak tahu."
Grey menggelengkan kepala saat jawaban Casa semakin di luar nalar. "Pokoknya, kamu jangan ikuti aku lagi!"
"Nggak bisa, Grey," jawab Casa.
"Hah, kenapa?" Grey tidak menyangka permintaannya akan langsung ditolak.
Gadis itu menghela napas. "Aku pernah mengatakan, ada sesuatu yang harus aku ambil."
"Sesuatu apa?" tanya Grey lagi. Kali ini, barulah Casa mengerti bahwa sejak awal, Grey belum bisa mendengarnya sama sekali.
"Sesuatu yang sangat penting--seperti nyawaku sendiri. Kamu tanpa sadar mencurinya dariku. Jadi aku mengikutimu ke sini untuk mengambilnya kembali," jelas Casa.
Grey kembali mengingat-ingat apa saja yang telah ia ambil dari bukit. Namun ia hanya mengingat soal gambar-gambar pemandangan dari atas dan sekumpulan awan yang berjalan. Tujuannya berkunjung ke sana memang hanya menikmati panorama alam.
Apakah ada tanah atau biji rumput yang tersangkut di pakaianku? Tapi dia bilang seperti nyawa, pikir Grey, lalu mengecek celana panjang yang ia kenakan.
Masih bersih.
Ini adalah celana yang sama yang ia gunakan saat naik ke bukit. Ia tidak sempat berganti karena terlalu sibuk mendadani Violet. Bahkan, sebagian besar ruang di kopernya terisi oleh pakaian Violet daripada pakaian miliknya sendiri.
"Aku nggak tahu apa-apa. Kalau mau, kamu ambil saja sekarang dan cepat pergi dari sini!" usirnya. Grey merentangkan kedua tangan, seolah membiarkan Casa menjelajahi seluruh ruangan untuk mengambil benda itu.
"Aku maunya juga gitu, tapi nggak bisa, Grey," timpal Casa sesabar mungkin menghadapi manusia satu ini.
"Kenapa nggak bisa?"
"Karena aku nggak tahu caranya."
"Kok bisa nggak tahu?"
Casa menatap inti awan di dalam tubuh Grey yang kini benar-benar sudah kehilangan cahayanya. "Ya mana aku tahu. Ini aku masih cari tahu gimana supaya apa yang kamu curi bisa balik lagi ke tanganku."
Meskipun yang asli mencari tahu adalah kakaknya, ia tetap memerlukan dalih ini.
"Aku nggak nyuri!" protes Grey.
"Iya, nggak nyuri. Kamu cuma mengambilnya tanpa sengaja," ralat Casa.
"Aku juga nggak merasa ambil apa-apa dari sana," imbuhnya.
"Pinter amat!" ucap Casa setengah berteriak. "Intinya, barangku ada di kamu dan aku lagi berusaha buat mengambil itu. Kamu tenang aja, aku cuma ngikutin kamu buat memastikan milikku aman, aku nggak bakal ganggu kamu atau sentuh kamu seperti sebelumnya. Soalnya juga aku baru ingat kalau kita itu nggak muhrim."
Grey memiringkan kepala dengan mulut sedikit terbuka. Ia memasang tatapan tak percaya walaupun wujud Casa menyatu dengan udara.
"Kak Grey," panggil suara mungil dari belakang.
Reflek keduanya menoleh. Mereka berdua menunduk untuk melihat sosok Violet. Dia adalah gadis kecil dengan wajah bengkak khas orang baru bangun tidur, lalu tak lupa rambut kusut berantakan yang masih tertinggal jejak kepangan ala Grey. Bocah itu masih mengucek mata sembari tangan sebelahnya menggenggam gawai.
Grey merunduk guna mensejajarkan ketinggian dengan sang adik. Ia mengangkat dagu Violet. "Kok sudah bangun? Sebentar, Kakak mau lihat hidung Vio masih sakit atau nggak."
"Nggak sakit!" seru Violet setelah Grey melepas tangannya.
Laki-laki itu terkekeh sembari mengacak rambut Violet menjadi lebih berantakan lagi. Entah kenapa saat bangun tidur, tingkah adiknya itu semakin imut. Syukurlah. Darah mimisan sudah berhenti mengalir. Langkah terakhir, cukup membersihkan darah yang mengering di rongga hidung dengan air hangat. Jika tidak, Violet akan sering mendengus seperti sekarang.
"Tapi ..."
"Iya, Vio? Tapi kenapa?" Grey mulai cemas dengan kata selanjutnya yang akan Violet lontarkan. Mungkin Violet memiliki keluhan sakit yang lain. Tidak ada yang tahu.
Gadis mungil tersebut menggerakkan kepala dari bawah ke atas. Mata hijau berkilau itu menatap dengan berbinar.
"Kakak perempuan ini siapa?"
Sejenak, Grey melupakan kehadiran makhluk astral.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top