11. Cahaya yang Redup
"Kalau nggak diserot, nanti ingusnya netes keluar." Violet menutup hidung seraya kepalanya sengaja didongakkan.
"Itu bukan ingus, Vio Sayang, tapi darah. Kalau kamu serat-serot nanti malah darahnya bisa masuk ke paru-paru. Bahaya!"
"Terus gimana, Kak Gre!" Violet ikut panik sebab mendengar kata 'darah'. Ia jadi teringat warna cairan yang disensor oleh penyiar televisi barusan. Sorot ketakutan terlihat dari lensa matanya yang bergetar. Tangannya berusaha menutup hidung supaya tetesan merah tidak jatuh ke lantai.
"Nggak apa-apa. Kamu angkat kepalanya agak tinggian, Kakak mau ambil es batu dulu." Grey menoleh ke belalang. "Jade! Jagain Vio."
Jade melirik kondisi Violet yang hampir menangis. Ia pun mengangguk, lantas menghampiri posisi Violet. Gadis cilik itu merengek memanggil nama Jade dengan pelan.
"Kak Jade ... Vio mimisan ...."
Tubuh Jade terasa kaku saat menyentuh wajah Violet yang tercoreng cairan merah. Tangannya terulur mengusap pipi sang adik, seolah menenangkan dan mengatakan bahwa Violet 'tidak apa-apa', padahal ia sendiri sedang menahan sesuatu yang bergejolak di balik manik hijau yang fokus memandangi cairan tersebut.
Di sisi lain, Casa sangat kesusahan mengejar langkah kaki Grey. Laki-laki itu berlari kencang dengan air muka pucat tanpa setetes warna. Ia secepat kilat berlari menuju dapur, membuat Casa ngos-ngosan. Yang ada di pikirannya hanya Violet.
Tepat di depan freezer, Grey membuka pintu kulkas bagian atas dan mengambil beberapa bongkah kecil es batu. Suhu dingin yang dikeluarkan benda tersebut membuat Casa ternganga. Ia mengigil tatkala uap dingin putih mengepul dari dalam freezer.
"Brrr, dingin," ringis Casa sambil memeluk dirinya sendiri. Detik berikutnya, ia dikejutkan oleh tatapan Grey yang melirik tajam ke arahnya.
Grey mendengar jelas suara perempuan mengucapkan kata 'dingin'. Namun ketika menoleh, tentu saja tak ada siapa-siapa. Mungkin halusinasi. Tadinya ia ingin berpikir demikian. Akan tetapi, kehadiran makhluk ini semakin mengusik aktivitasnya.
Casa lekas membekap mulut agar suara maupun napas kelelahan tak tertangkap oleh indera pendengar laki-laki itu.
"Hantu sialan, muncul lo kalau berani!" tantang Grey sambil celingukan mencari sosok pengganggu tersebut.
Sekarang ia menyadari ciri-ciri keberadaan makhluk astral tak kasat mata itu, yakni dengan merasakan hawa di sekitarnya. Dari arah depan, Grey seolah diselimuti hawa panas yang tak biasa. Ia meneguk ludah. Semakin mendekat, semakin kuat pula tingkat kepanasannya.
Casa mundur beberapa langkah. Masih membekap mulut dan kesulitan mengatur napas, matanya membulat sempurna. Grey tak mau kalah dan mengikuti hawa panas berdasarkan insting seorang pria.
"Gue tahu lo di sini!" tudingnya menunjuk tepat di antara manik biru yang terang. Sontak kedua pupil mata Casa melebar.
'Hah, ini beneran dia tahu?' batin Casa mengernyit.
"Muncul nggak?!" bentak Grey, membuat Casa berjengkit kaget.
"Kenapa lo ngikutin gue?"
Grey mulai curiga sejak keluhan Violet yang mengatakan telah mendengar suara desahan perempuan dari kamar mandi hotel.
Tampang marahnya itu tidak bisa lagi dikondisikan. Rahang mengetat, bola mata memerah, dan gurat nadi mencuat di sekitar mata Grey. Bukannya takut, Casa malah penasaran dengan perubahan ekspresi yang ditunjukkan pemuda itu. Dia memang marah, tapi di sisi lain juga dirundung rasa cemas.
'Eh? Inti awannya ...!' batin Casa tatkala cahaya pada inti awan kian meredup.
Dengan mata terbelalak, ia langsung meraba dada Grey serta mencari alasan mengapa cahaya pada inti awan berkedip-kedip. Casa menggigit bibir karena seolah-olah, inti awan miliknya akan menghilang. Cahayanya tidak seterang saat pertama kali masuk ke tubuh manusia ini.
Tanpa Casa sadari, bahwa sentuhannya itu membuat sekujur badan Grey menegang. Sentuhan halus nan lembut sekaligus terkesan liar berusaha mengeksplor dada Grey yang berlapiskan baju tipis. Suhu panas seketika menjalar dari telapak tangan Casa dan perlahan menembus kulit.
Hangat ....
Anehnya, suhu panas itu tidak lagi mengganggu. Mungkin terdengar gila. Namun kali ini, Grey dapat merasakan dengan sangat jelas bahwa makhluk astral tersebut sedang menyentuh bagian dada. Suara ringan yang belum pernah ia dengar, sentuhan lembut tapi canggung, dan hawa panas. Ia yakin hantu tersebut berjenis kelamin wanita. Lalu, alasan dia mengikuti sampai ke vila adalah ...
Oh no ... tidak!
Grey menggeleng kuat berusaha mengusir pikiran yang macam-macam. Mana mungkin hantu wanita itu mengikutinya karena jatuh cinta? Dia pasti berniat jahat. Coba pikir kejahatan apa saja yang sudah Grey lakukan? Kencing di bawah pohon bukit keramat? Bisa jadi.
Casa langsung menjauhkan tangan begitu menyadari tatapan Grey terus-menerus mengarah ke dada. Gadis itu sedikit lega karena cahaya inti awan kembali stabil. Sepertinya ia dilarang jauh-jauh dari inti awan atau tidak cahaya birunya akan redup. Sayang sekali, Casa tidak tahu batasan sejauh mana dia bisa melangkah jauh.
Hal yang paling ditakuti Casa adalah inti awan tersebut akan benar-benar menghilang dan dirinya tidak bisa kembali ke Negeri Awan.
"Sial, dingin!"
Grey melupakan Violet untuk sejenak. Es batu di cakupan tangannya sedikit mencair. Ia pun mengambil baskom dari rak piring, kemudian tak lupa handuk kecil guna mengompres.
Masalah sosok hantu harus ia kesampingkan terlebih dulu. Kapan-kapan, dia masih bisa mengulik tujuan makhluk astral tersebut. Selagi hawa panas masih ada di sekitarnya, entah kenapa Grey sangat optimis bahwa Casa akan selalu mengikutinya ke mana pun. Hantu itu pasti memiliki tujuan sendiri sampai rela jauh-jauh dari puncak bukit ke lembah bukit.
"Kak Jade, darahnya banyak banget ...," cicit Violet sambil menggigit bibir.
Sampai di ruang tamu, Grey melotot sempurna pada kembarannya yang sibuk menekan ubun-ubun Vio ke bawah. Ia dengan santai memandang ketakutan pada wajah Violet. Gadis mungil itu gemetaran melihat darah menggenang di lantai. Namun anehnya, dia tidak bisa menutup mata ataupun berkedip.
Prang!
Sebaskom es batu beserta handuk kecil terjatuh begitu saja, membuat dua orang di sana mendongakkan kepala. Violet yang ingin mengetahui apa yang terjadi pada Grey menjadi tidak bisa mengangkat kepala karena tangan Jade menahannya agar terus menunduk.
Satu kepalan pun melayang ke rahang Jade sebelum laki-laki yang tampak kebingungan itu mencerna tindakan Grey.
"Lo gila, ya?!"
"Kak Gre, jangan pukul Kak Jade!" teriak Violet histeris. Sudut bibir Jade mengeluarkan darah.
Tanpa menggubris ucapan Violet, Grey mencengkeram kerah kakaknya dan kembali menyerang wajah Jade. Pukulan kedua mengenai sudut mata yang menyipit itu. Mungkin sebentar lagi wajahnya biru lebam.
"Berhenti! Vio mohon, jangan pukul Kak Jade lagi! Kak Gre jahat!" Violet berusaha meraih kepalan tangan Grey.
Tertangkap!
Mata Violet berkaca-kaca. Telapak tangannya dingin. Untung saja dia tidak terkena pukulan tersebut. Karena pernah suatu hari, di mana Grey juga memukul orang seperti ini, Violet terhuyung pingsan dengan nyeri di kepala bagian belakang.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top