1. Selimut yang Lembut
Makhluk awan adalah jenis ciptaan yang terisolasi dari dunia luar. Hanya 2% penduduk semesta yang mengetahui bahwa ada kehidupan di atas awan. Tentu saja 2% itu adalah mereka sendiri. Hal ini karena sifatnya yang tidak terlihat bak hantu sehingga tak ada yang tahu.
Mereka tinggal di sana tanpa penasaran akan hal-hal di bawahnya. Justru dunia bawah sangat mereka hindari. Sebuah larangan terkenal telah membuat penduduk Negeri Awan ketakutan. Mereka takut jatuh dari langit. Katanya jika tanpa sengaja menyentuh makhluk di sana, mereka akan menjelma seperti makhluk tersebut. Semacam kutukan.
"Kyaaaa, Kak Bas!" jerit kesal dari sesosok makhluk awan. "Kenapa harus hujan sih? Aku kan capek bikin tempat tidur mulu! Baru jadi, cair lagi, cair lagi!" Casa melesat terbang ke sudut kamarnya. Meletakkan kedua tangan di pinggan sambil menyaksikan ranjang yang susah payah ia bentuk tiba-tiba meleleh.
Sang kakak, Bas, tersenyum miring. "Salah kamu sendiri kan bikin ranjang dari awan mendung. Tuh, lihat Dede dia lebih pinter dari kamu."
Casa menengok ke rumah awan di sebelahnya. Sangat bersinar sampai matanya harus ditutup. "Silau banget astaga dia pakai apa, sih?"
"Eh, Kak Casa?" Dede memasang tatapan lugu polos, mengintip perabotan di kamar Casa yang sudah tidak berbentuk. "Kamarnya meleleh lagi, ya?"
"Ngapain kamu nanya sambil senyum gitu? Udah jelas-jelas kamarku berubah transparan. Bilang aja mau ngeledekin!"
"Kok Kakak suudzan mulu sih, padahal aku kan mau ngasih awan musim panas. Nih aku masih punya sisa awan. Tolong diabisin ya, Kak!" Dede menunjukkan keranjang awan berisi awan mentah yang siap dibentuk.
Karena semua perabotan terbuat dari awan, setiap harinya penduduk Negeri Awan selalu mencari bijih awan berkualitas. Namun karena Casa adalah orang yang malas, ia mengambil sembarang awan entah kualitas baik atau rendah.
Awan musim panas yang dimiliki Dede bisa bertahan lama. Dapat digunakan untuk membuat selimut hangat, kasur yang nyaman, dan peralatan yang empuk-empuk lainnya.
"Ayo, Kak Casa jangan malu-malu."
Casa menatap dengan jutek, tapi tetap merebut keranjang awan milik Dede. Bahkan kualitas keranjang ini lebih bagus daripada seluruh barang yang ada di kamarnya.
Casa mulai membentuk sebuah selimut, tapi bahannya kurang. "Kamu ada awan lagi nggak? Masa cuma segini ya kurang."
"Astagfirullah, Kak. Dibaikin malah ngelunjak. Kan aku udah bilang kalau itu sisa awan yang udah kupakai. Kalau mau bikin selimut yang lebih besar ya cari awan lagi sana."
"Nggak mau, ah! Segini juga cukup. Hmm." Casa tidur di lantai awan yang dingin, lalu menutup tubuh dengan selimut hangat tadi.
Bas memandang aneh. "Kamu nggak bikin kasur?"
"Nggak," jawabnya singkat.
"Ya Allah, Dek. Kamu malasnya nggak ketulungan ya ternyata." Bas menggeleng heran sekaligus prihatin melihat adiknya telentang di lantai mendung. "Bentar lagi lantai kamarmu juga leleh kan? Jangan tiduran di sini kalau nggak mau jatuh."
"Hmm." Casa sudah tidak mendengar ucapan kakaknya. Ia mendengkur sebab rasa kantuk.
"Sabar, Kak Bas biarin aja Kak Casa. Kalau jatuh dia sendiri yang malu." Dede tertawa, kemudian menutup pintu kamarnya supaya tidak melihat tindakan bodoh kakak kedua. Sedangkan Bas tidak kuat menghadapi adiknya yang keras kepala itu, lalu meninggalkan Casa sendirian.
Musim penghujan memang meresahkan penduduk Negeri Awan. Mereka terpaksa pindah ke daerah awan yang lebih solid. Kehidupan sehari-hari pun hanya mencari bijih awan berkualitas agar bisa membuat tempat tinggal yang nyaman.
'Berapa lama aku tidur?' batin Casa begitu membuka mata. Pandangannya menjadi biru bersih. Sekumpulan hewan bumi dengan kedua sayapnya terbang melintas. Ia membulatkan mata dan langsung terduduk.
Rupanya alas yang ia duduki masih selimut baru yang tadi dibuatnya. 'Yah, tinggal separuh,' batin Casa sedih. Partikel awan yang semakin dekat ke inti bumi lebih mudah tersapu angin.
Sebelum selimutnya benar-benar menghilang, Casa pun perlahan menginjakkan kaki ke rumput segar. Ia mulai mengedarkan pandangan ke tempat di sekeliling.
'Ini di mana?'
Banyak sekali makhluk bumi dengan wajahnya masing-masing. Tiba-tiba Casa merasakan sedikit pusing pada kepalanya.
Makhluk awan mempunyai fisik identik. Suara menjadi satu-satunya pembeda antara makhluk awan satu dengan yang lain. Itu sebabnya, setiap awal bulan mereka hanya rutin mengadakan kontes menyanyi. Akan tetapi, mendapati wajah makhluk bumi yang beragam, Casa merasa asing.
"Aku harus kembali, tapi rumahku ada di mana ya kok nggak kelihatan?" Casa menyipitkan mata, lalu mengabsen setiap bentuk awan dari ufuk timur hingga barat. Sayangnya ia lupa bagaimana bentuk rumahnya terakhir kali. Kalaupun ingat, sepertinya percuma. Bentuk awan tidak akan menetap setiap waktu. Mereka terus berubah saat berganti menit.
"Kak Gre, awan yang di sebelah sana imut banget! Mirip kelinci!" seru anak kecil bermata hijau. Casa seketika mengikuti arah jari gadis kecil tersebut menunjuk.
Dede sangat suka mendekor rumah dengan hewan-hewan dari bumi. Kemungkinan besar awan itu ada rumah Casa.
Laki-laki bernama Gre langsung membidiknya dengan kamera. "Masyallah! Kok bisa ya mirip banget sama kelinci?" kagumnya sambil terus menatap hasil jepretan. Ia menunduk pada adiknya yang masih setiap tersenyum lebar. "Imut kayak Vio."
"Ih, Kak Gre aku juga mau lihat!" Vio melompat-lompat berusaha menggapai kamera yang dikalungkan di leher Gre. Namun, sang kakak ingin menjahilinya dengan tidak membiarkan si adik merebut kamera.
Gre tertawa mengejek saat Vio menggembungkan pipinya akibat tak kunjung berhasil. Hal itu mengingatkan Casa pada Bas. Tanpa sadar makhluk awan itu ikut tertawa menonton tingkah konyol dua manusia di depannya.
Namun, ternyata Vio tidak menyerah. Dia berusaha meraih tali kamera ketika Gre lengah. Naasnya gerak pertahanan Gre cukup gesit. Ia mundur selangkah agar Vio kewalahan. Hal itu ia lakukan berulang-ulang.
Selangkah demi selangkah punggung Gre menuju ke arah Casa. Tawanya berhenti seketika. Makhluk tersebut lumayan panik sebab di belakangnya juga ada manusia. Larangan menyentuh makhluk bumi tiba-tiba terngiang.
Lalu Casa bersiap terbang agar terhindar dari tabrakan, tetapi Gre berbalik dan tanpa aba-aba langsung berlari ke arahnya. "A-apa?"
Bum! Tubuh Casa pun tercerai-berai seperti asap. Butuh beberapa detik untuk menyatukan setiap bagian tubuhnya. Ia mengusap mulut dengan kasar karena sentuhan bibir Gre terasa menjijikan. "Manusia suka nyium orang sembarangan ya. Huh, dasar nggak sopan!"
"Kak Gre, tungguin Vio ih!" gadis cilik itu berlari kecil mengejar kakaknya.
Casa menghembuskan napas. Ia lalu bersiap untuk terbang. Dengan kecepatan cahaya, tubuhnya melesat cepat ke arah awan berbentuk kelinci.
"Ehh?" Namun baru 0,001 detik, Casa seolah hilang kekuatan dan tubuhnya terjun menghantam tanah. "EHHH!"
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top