Bab 29 - Mencoba Berubah
Seusai lari pagi, aku segera berlari ke kios makanan kecil Mas Teguh. Di sana ada Mas Teguh, Mba Rayi---istrinya, dan ponakanku, Ninda, yang masih satu tahun. Aku membantu Mas Teguh setiap pagi sebelum aku berangkat kuliah, karena Mba Rayi sibuk mengurusi Ninda. Jadi saat aku sampai kios, mereke langsung pulang untuk memandikan Ninda dan sekadar jalan-jalan pagi sekaligus sarapan.
"Bungas?" Ada suara tak asing yang kudengar. Aku segera menoleh. Perasaanku masih sama, seperti dulu ia memanggilku. Alvan. Benar dia Alvan!
"Tadi aku lihat kamu lari terburu-buru, terus kususul ternyata kamu malah belok ke sini," ucapnya sedikit basa-basi, tidak seperti Alvan biasanya.
"Ha ha, iya Al. Ini bantuin jual kue. Kamu mau? Ini enak loh, mocinya," tawarku.
"Wah, kebetulan, free semua buat aku?" kelakarnya datar.
"Free tapi tukar sama buku-bukumu," celetukku.
"Sure. Boleh. Rame sekali, aku bantuin ya," tanyanya.
Aku melongo mendengarnya.
"Mba, aku lemper 10, tahu baksonya 10," pesan seseorang mengagetkanku. Buru-buru aku menjawab Alvan sembari melayani pemesan lemper, "Boleh aja, asal jangan minta bayaran. Ha ha."
Alvan melayani ibu-ibu yang terkagum-kagum sama ketampanannya, padahal sih biasa aja. Ye kan? Cewek-cewek yang habis jogging pun menyempatkan diri untuk minta dilayani Alvan. Errr ... kelakuan cewek sekarang! Pembeli jadi makin membludak. Tidak butuh lama, dalam waktu satu jam kurang, kue-kue ini habis. Alhamdulillah.
"Wah, makasih banget Al, berkat dibantu kamu cewek-cewek kepelet pada beli deh," kekehku.
"Ah, ndak gitu. Alhamdulillah ya," jawabnya semakin membuatku ingin tertawa,mukanya antara malu dan sok lempeng. Memerah tapi mencoba datar. Iyuuw ... masih gemesin dia. Dia masih kayak dulu, kaku-kaku gemesin. Astaghfirullah, aku kumat lagi.
"Bentar Al, aku hubungin Masku dulu, biar langsung pulang saja, kasihan Ninda kalau bolak-balik." Aku menelepon Mas Teguh. Dan menyuruh Mas Teguh langsung pulang.
Aku segera membereskan lapak kue Mas Teguh. Kios kecil-kecilan ini ada di dekat kompleks perumahan, sering untuk lari pagi, jadi lumayan banget hasil berjualan di sini.
"Habis ini kamu langsung pulang?"
"Iya dong," jawabku.
"Aku antar ya, sekalian mau silahturahmi ke ibumu," katanya, seketika aku mengernyit.
"He? Oh, ya, boleh," aku sedikit terkekeh absurd.
Kami berjalan menyusuri kawasan dekat kompleks sampai menuju jalan raya untuk naik angkot. Motor Alvan ditinggal di pos satpam. Dia masih sama. Masih sangat disiplin dalam menjaga diri dari fitnah.
Tiba-tiba aku melihat sosok yang sudah lama kukenal. Sosok yang sekarang menjadi orang asing. Caesar dan Nurin sedang bergandengan tangan, keluar dari kompleks perumahan Caesar. Syukurlah akan menikah.
Nurin melirikku. Ia mengedip, melihat sosok di sampingku. Dadaku mencelus. Saat Caesar ikut menoleh. Semoga Alvan engga tahu apa-apa. Namun tiba-tiba Caesar menyebrang, menggandeng Nurin mendekati kami. Jantungku berdebar tidak karuan. Dia mau apa? Tolong jangan ungkit apapun, please....
"Assalamu'alaikum Bungas, eh sama Alvan?"
"Wa'alaikumussalam. Iya, ini ketemu Alvan tadi."
"Wa'alaikumussaalam, iya. Ada Nurin juga ya, hai Nurin," sapa Alvan.
"Hai Alvan, habis olahraga ya?" Nurin menjawab sambil mengeratkan pelukan di lengan Caesar. Ia masih menghindari tatapanku, sudah lama ia menjauhiku, mendiamkanku. Aku masih engga terbiasa. Rasanya ada banyak hal yang belum terselesaikan. Tapi aku harus merasa cukup, menutup masa lalu, demi kebahagiaan mereka.
"Oh iya, kebetulan nanti aku titipkan undangan untuk kamu Al, di Bungas saja ya," kata Caesar sambil menepuk bahu Alvan. "Kapan lo nyusul?" bisiknya yang jelas masih bisa terdengar.
"Congrats ya Bungas, akhirnya dia kembali lagi," ucap Caesar sembari melirik Alvan. Seketika aku membeku. Lututku terasa lunglai dan akan terjatuh sekarang juga. Berkali-kali pun aku meminta maaf jelas itu masih melukai hati Caesar. Aku tidak bermaksud seperti itu.
"BUNGAS!" suara menggelegar itu menyentakku!
"Jadi benar kata Nurin kalau kamu ke sini untuk bertemu Alvan! Apa hubungan kita ini hanya main-main untukmu! Kamu masih saja memikirkannya! Bahkan menemuinya di belakangku! Aku kecewa besar! Sekarang kamu bisa bebas menemuinya kapan saja! Aku sudah tahu semuanya! Kamu tertekan bersamaku! Kamu bahkan mengirimkan puisi frustasimu ke majalah! Kamu benar-benar luar biasa Bungas!" Suara itu terus terngiang dalam mimpiku setiap malam. Kejadian di kebun strawberry itu seakan terjadi secepat kilat, begitu saja.
Caesar yang tiba-tiba datang bersama Nurin, dan memegang surat Alvan untukku. Dia memergokiku menemui Alvan. Meskipun dia tahu orang yang ada di kebun itu bukan Alvan, dia tetap tidak peduli. Baginya aku pengkhianat besar. Ya, aku memang pengkhianat. Tapi aku tidak bisa habis pikir, Nurin memberikan surat itu ke Caesar. Soal puisi, itu, aku sungguh tidak tahu menahu. Namun saat ulihat di majalah tabloid perempuan yang dimaksud Caesar, terpampang puisi atas namaku yang mengungkapkan suatu rasa frustasi akan ikatan hubungan. Seolah bercerita tentangku. Padahal aku tidak pernah menulis puisi semacam itu.
Ibuku ikut dihina oleh keluarga Caesar. Aku tidak bisa melakukan apapun karena aku hanya disuruh diam oleh ibuku. Proses pembatalan pertunangan terjadi begitu saja. Gosip menyebar di lingkungan rumahku. Kini kami dipandang sebelah mata.
Hal ini yang membuatku was-was menerima Alvan berkunjung ke rumah. Aku merasa telah merusak nama baik keluargaku. Aku merasa tercekik setiap hari dipandang remeh oleh tetangga. Gosip bahwa aku peselingkuh entah kenapa bisa menyebar. Rasanya ingin pindah dan pergi ke mana saja.
"Bungas?" kejut Alvan menyentakku. "Hah?" aku dari tadi melamun.
"Caesar udah pergi. Tadi kamu kenapa? Kamu ada masalah?" tanya Alvan. Mata ini terasa penuh. Sesak. Napas berat dan air mata ini mendesak keluar. Buru-buru aku memalingkan muka dan menghapusnya.
"Ah? Nggak apa-apa kok," lirihku. Suaraku sengau. Kuharap Alvan tidak curiga. Kumohon jangan bertanya apa pun lagi, please....
Alvan hanya diam, selama perjalanan. Doaku terkabul. Namun Alvan memutuskan hanya mengantarku sampai gang saja.
"Katanya mau berkunjung ke Ibu?" tanyaku.
"Nanti saja Bungas. Aku hari ini buru-buru. Ada pekerjaan mendadak," katanya. "Aku pamit ya, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati Al."
"Bungas!" bentakan suara Bapak, yang baru saja muncul gang dengan muka merah padam dan napas terengah-engah. "Kamu lihat kakakmu ndak?! ANAK KURANG AJAR! Dibilangin orang tua malah mendelik dan kabur!" semprot bapakku. Alvan yang baru melangkah beberapa langkah, terhenti. Lagi-lagi Alvan melihat keributan di keluargaku. Meski sangat amat malu, aku mengedipkan mata agar Alvan pulang saja. Harga diriku sudah tidak ada di depan Alvan, maupun siapa pun juga. Penulis gagal nikah julukanku, dan keluargaku dicap sebagai tukang ngutang. Kakakku sudah mau berubah, tetapi hubungannya dengan Bapak semakin buruk. Bapak yang setiap minggu mengunjungi kami, berusaha mendekati kami lagi, namun malah selalu ikut campur dan membuat keributan. Aku jengah! Sangat!
"Ada apa Pak? Mas Teguh kenapa?" tanyaku saat Alvan sudah pergi.
"Kakakmu kurang ajar, dikasih tahu malah menyaut!"
"Pak, biarkan dulu Mas Teguh. Dia sudah mau berubah kok. Sedikit-sedikit dia mau berusaha memperbaikinya, dia sedang usaha jualan," tuturku mencoba sabar.
"Tidak bisa! Wataknya sama!"
"Sudahlah Pak! Tidak perlu berkoar-koar begini! Memangnya apa yang Bapak lakukan untuk kami?!" kesalku, dan berlari pergi. Air mata yang diundang pun terurai. Dada sesak. Aku benci sama keadaan ini. Saling menyalahkan, emosi, menjadi tontonan gratis, aku benci. Sangat.
Saat baru berbelok, ternyata Alvan di sisi kiri jalan. "Bungas? Kamu kenapa?" tanyanya.
"Ngga apa." Buru-buru aku menghapus air mataku. "Kamu kenapa masih ada di sini?"
"Ada yang mau aku bicarakan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top