Bab 24 - Tetap saja ...

Mungkin aku penasaran dengan apa yang dikatakan ibunya Zulfa. Tanpa sadar membawaku ke rumah Zulfa. Semua itu terlalu berlebihan jika dipikirkan. Bagaimana mungkin bisa?

"Sebaiknya segera kau cabut surat perceraian ini, atau akan kubuat kau tidak dapat berbicara selamanya!" Suara itu memekak. Aku mendekat dan mengintip di sela pintu pagar kayu rumah Zulfa. Suami tengah mencekiknya di tembok, dan menyodorkan suatu benda ke dekat hidung Zulfa. Benda itu mirip obat. Obat keras? Langsung kugebrak pagar rumah keras-keras, dan dengan cepat menonjok muka brengsek itu!

Baru saja aku mau menghajarnya sampai sekarat, tapi tanganku ditahan, oleh Zulfa. Dia menggeleng keras. Mukanya pucat. Dengan cepat aku berdiri menyambar tangannya dan menariknya pergi dari sini sekarang juga!

Rasanya tidak dapat kupercaya apa yang kulihat barusan. Mungkin ibu Zulfa memang benar. Aku sulit berpikir dengan jernih. Aku menggenggam tangannya kuat, dan segera membawanya ke mobil. Melarikan diri.

Kami saling terdiam. Hanya pemandangan sepanjang perjalanan yang macet hanya itu yang mengisi kekosongan kami.

Kami sampai di rumah sakit tempat perawatan ibunya Zulfa. Berjalan di lorong, saling terdiam.

"Aku akan jadi saksimu. Aku akan mendukung keputusanmu bercerai Zul," ucapku.

"Makasih Al. Tapi ini mungkin akan sulit karena dia punya pengacara yang membelanya," ujar Zulfa nampak putus asa.

"Tenang Zul. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu juga dapat pengacara dari pengadilan nanti."

****

"Ibu baru saja tidur Al, habis minum obat katanya. Kamu pulang saja tidak apa-apa," kata Zulfa.

"Kamu beneran nggak apa-apa di sini?" tanyaku cemas.

"Nggak apa-apa dong." Dia tersenyum.

"Aku temeni kamu saja," tawarku.

"Jangan Al. Kamu tahu statusku masih istri orang. Takut timbul fitnah," cegahnya tersenyum simpul.

"Oh. Ya sudah, maaf. Aku tinggal ya," pamitku lalu memberi salam padanya.

***

"Bungas mana?" tanya salah satu laki-laki yang berdiri di dekat pintu kelas, kepada Nurin. Rupanya anak fakultas lain. Aku yang baru saja keluar kelas.

"Di rumah sakit. Mau jenguk jam berapa?" tanya Nurin. Ah ya, mereka anak hukum, teman Caesar, lalu apa Bungas sakit?

"Oh ya, Alvan!" Itu suara Nurin. Dia memanggilku. "Ya?"

"Mau ikut nggak?" tawarnya.

"Ke mana?"

"Rumah sakit. Caesar kecelakaan, Bungas juga lagi di sana."

"Innalillahi wa innailaihi roji'un. Boleh, ayo."

"Iya. Ayo," jawab Nurin. "Gue bonceng lo ya Al?" tanya Nurin padaku.

"Hm?" Aku enggan. 

"Ah, beneran deh. Nggak jadi deh, makasih. Aku bonceng lainnya aja," kata Nurin mencebik.

****

"Jadi kamu nggak datang ke pantai itu, walaupun Caesar lagi dalam keadaan sakit, nungguin kamu?!! Kamu tega ya Bungas! Care dikit sama temen!" bentak Nurin.

"Aku nggak tahu Caesar lagi sakit...," lirih Bubgas mengigit bibir pucatnya.

"Ya mana lo tahu, lo kan nggak peduli ama dia!" sarkas Nurin.

"Kan udah gue bilangin, lo baik-baik deh ama Caesar. Karena katanya dia mau ngomong sendiri ke elo perihal penyakitnya," Nurin memegang dahinya yang berkerut, "napa lo nggak dengerin gue sih? Apa pernah gue minta macem-macem ke elo Bungas?"

"Ma-maaf...." Suara Bungas sangat lirih, samar-samar kudengar saat hendak berbelok ke kamar mandi.

"Jadi Caesar beneran sakit kanker mulut? Terus kondisinya gimana Nurin?" tanya Bungas dengan memegang lengan Nurin.

"Huft ... aku kurang paham Bungas. Kamu tahu sendirilah gimana wataknya Caesar kalau keras kepala," jawabnya.

***

Sudah hampir satu minggu Caesar masih koma. Bungas masih dirundung perasaan bersalah. Aku menunggunya di depan kamar, melongok ke dalam.

"Bungas, terimalah lamaran Caesar. Nenek minta maaf hanya ini yang bisa nenek lakukan, Caesar berencana melamarmu setelah menyelesaikan skripsi. Tapi nenek rasa itu terlalu lama. Caesar butuh kamu Bungas," tutur neneknya Caesar. Apa? Bungas dilamar Caesar? Tapi ini engga benar. Bungas terlihat dlam kondisi tertekan. 

Drtt... Zulfa memanggil. Ada apa?

"Besok sidangku yang pertama Al, aku takut," gusarnya.

"Berdo'a aja Zul. Aku akan dukung kamu. Besok aku ke sana."

****

Selama persidangan semuanya berjalan lancar. Sesuai dugaan, orang bejat itu membuat alibi atas KDRT yang ia lakukan. Namun aku tidak akan membiarkannya. Aku sudah meminta tolong kepada jaksa untuk menggeledah rumahnya, sekarang ini.

Bukti ditemukan. Pesan singkat dari Jaksa Nurman tadi pagi, membuatku semakin bersemangat untuk memberikan kesaksian.

Alhamdulillah semua lancar. Zulfa tak tahan menahan menangis. Dia memberi isyarat lega di ekspresinya.

****

"Jadi Bungas menerima lamaran Caesar!?" Suara Nurin terlalu lantang, membuatku terkejut. Rupanya ia sedang bicara dengan temannya.

"Iya. Nenek sendiri yang bilang. Beliau meminta kita menghantarkan pernak-pernik lamarannya ke rumah Bungas," jawab salah satunya.

"Wah ... apa yang sedang dia pikirkan?" decak Nurin memegang pinggangnya.

"Napa lo? Lo iri kan?"

"Ye ... bukan itu, odong! Bungas kan nggak ada perasaan sama Caesar. Dan juga Caesar masih koma!"

"Ya kan neneknya yang lamarin. Katanya Caesar memang mau melamar Bungas."

"Tetap aja ini salah!" tukas Nurin menghentakkan kaki dan melangkah pergi. Aku setuju dengan Nurin. Tetap saja salah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top