Bab 17 - Like a Dream


"I can't to imagine, even when i sleep, but i don't know, why do you come? Bungas Kanjeng Adinda.

___________________________________________________________________________

"Assalamu'alaikum, semuanya ..., minta waktunya sebentar ya. Ada proofreader baru nih, yang mulai sekarang kerjasama sama kita. Namanya Zulfa Azhima Haqi," ujar Bu Sarah selaku kepala editor, memperkenalkan pegawai baru dengan riang. Memang kelebihan istimewa dari ibu dua anak ini, sangat ramah. Spontan seluruh divisi fiksi bersorak dan bertepuk tangan, membuat Zulfa, proofreader yang cukup muda dan cantik itu menunduk segan sekaligus terharu.

"Salam kenal semuanya, perkenalkan Zulfa Azhima Haqi, mohon bimbingannya...," sapa perempuan manis berkulit putih langsat, dengan badan proporsional, mirip model. Mata bulan sabit, hidung sedang, pipi agak tembam tapi rahang tirus, bibir sexy meski mengenakan lipstik berwarna peach pucat. Pakaian hijab yang fashionable, dengan pribadi yang santun sekaligus tegas dan dewasa. Cantik banget....

"Salam kenal...," kami semua kompak menjawabnya, kemudian Zulfa mengitari meja-meja kami untuk bersalaman satu persatu dan berkenalan.

****

"Bungas," sapa seseorang saat aku sedang lahap makan, membuatku mendongak agak kaget.

"Hah?" spontanku. "Eh, Mba Zulfa ... sini Mba, makan bareng...," ajakku kebeneran. Kebeneran lagi makan sendirian, gegara Mba Nu sama suaminya lunch di luar, Mas Dipyo juga katanya mau kencan, gaya banget mereka, mentang-mentang aku doang yang jomblo.

"Kamu sendirian?"

"Iya Mba, lagi jomblo," kekehku tak tahu malu.

"Boleh duduk di sini nih?"

"Boleh atuh ..., silakan Mba." Aku menggangguk berkali-kali, sembari mengunyah sisa-sisa makanan.

Zulfa rupanya tidak makan nasi, dia hanya beli camilan ringan, katanya lagi nggak pengen makan. Kami mengobrol seputar pekerjaan, baik pekerjaan lamanya, atau pekerjaanku di sini. Hingga seputar karya-karya novel favorit ..., sampai obrolan kita berakhir membahas novel-novel BlueHadBlack, yang memang selalu best seller. Dan dari sanalah kulihat mata Zulfa mulai berbinar. Yang aneh adalah, dadaku terasa berdenyut melihat senyumnya merekah sempurna, dengan pandangan menerawang. Entah apa yang dipikirkannya.

"Jadi kamu suka BlueHadBlack? Dan kamu lagi mengedit naskahnya?" tanya begitu terkejut, dan meminta penegasan lebih. Mulutnya sedikit terbuka, ada kelipan bintang di matanya. Ah ... benar-benar deh! Baru tahu Alvan sepopuler ini. Ya, kukira aktor aja yang banyak fangirl-nya. Huuuhhh....

"Iya Mba...." Ada penekanan rasa malas dalam jawabanku, biar dia sungkan nanya-nanya lagi.

"Kalau gitu mungkin aku juga yang menangani naskah BlueHadBlack. Mau naik cetak bulan Juli kan? Dan aku belum banyak pekerjaan." Lagi-lagi binar mata itu membuatku tak bisa berkata-kata. Ya setidaknya dia lebih normal responnya daripada responku dulu. Hmm ... tapi, jangan bilang Mba Zulfa ini tipe pengejar dan stalking gitu? Gawat dong? Kalau dia maksa ketemuan sama Alvan gimana? Argh ..., kesel mendadak. Jelas kalah saing aku mah. Eh, tapi, kali aja Zulfa sudah bersuami?

"Bisa jadi," malas menjawab, tapi karena aku kepo, aku bertanya lagi, "Zul, kamu jomblo juga? Apa udah bersuami?"

"Hah?"

"Ya, tiba-tiba kepikiran aja. Soalnya kan seusia kita banyak yang sudah menikah," aku beralasan.

"Hmm ... belum punya, Bungas." Yah ... belum....

****

Mending aku kerjain novel Alvan dengan sebaik-baiknya! Biar proofreader-nya bingung, nggak ada yang perlu diedit lagi! Jadi naik cetak lebih cepet, dan nggak ada alasan buat Zulfa ngedeketin Alvan.

Wa'alaikumussalam, Kak BlueHadBlack. Ini editannya. Untuk chapter tambahan saya ada usul Kak, nanti saya telepon jam makan siang Kak.

Email terkirim. Semoga aku dan Alvan a.ka BlueHadBlack bisa kerjasama dengan baik. Hmm ... btw, beneran aku jadi editor nih? Yaelah ... masih kayak mimpi! Aku akan bekerja keras!

Saatnya menulis karakter avatar Alvan. Perasaanku sedang bahagia. Aku akan buat novel romedi romamtis yang menggemaskan! Kyaaah ..., namanya Al Ramadhan, lahir 18 Oktober 1994. Sifat: jutek, dingin, melankolis, suka menyendiri, dan suka menolong.

Kyaahhh ... jadi inget kejadian kemarin, pas Audy menjebakku, Alvan nolongin tapi kelas masih pakai gaya tengilnya. Semena-mena banget dia emang, harusnya jangan sekasar itu, kasihan juga si Audy nya. Tapi emang rese si, Audy nya.

"Itu apa Bungas?" tanya seseorang yang ternyata sudah ada di sampingku.

"Eh Zulfa?" Aku masih kagok hanya manggil namanya, tapi dia mintanya gitu sih.

"Tadi aku manggil kamu, tapi kamu melamun sambil senyum-senyum aja. Ternyata lagi nulis. Nulis apa?" tanyanya menunjuk dengan mengarahkan dagu dan tatapan pada bukuku. Ups ..., karakter avatar Alvan!

"Ha ha ha, bukan apa-apa Mba ... ini cuma karakter fiksi."

"Yakin cuma fiksi?" godanya kemudian.

"Ih apa sih Mba...?"

"Zulfa aja manggilnya, Bungas," Zulfa mengingatkan, setelahnya ia tampak berpikir, "hmm ... karakternya mirip sama orang yang kukenal."

"Serius Mba? Wah ..., tapi orangnya ngeselin nggak? Kalau orang ini sih ngeselin banget."

"Ha ha ha, masa? Kalau dia sih baik banget ... saking baiknya dia jadi dimanfaatin," lirihnya tersenyum tipis. Senyum yang janggal kataku mah.

"Wah, kasihan banget."

"Iya kasihan. Dia orang yang mau aku temui, di sini." Oh ...jadi dia punya cinta belum sampai? Jadi Alvan aman ya? Yes!

"Serius Zulfa? Orangnya kerja di sini? Siapa? Biar aku bantu cari!"

"Hmm... nanti kami akan ketemu kok, di waktu yang tepat."

Oh ... kelihatan masalah serius, mungkin memang cinta belum kelar? Aku hanya manggut-manggut sebagai jawabannya.

****

Hari ini akhirnya tiba. Hari H anniversary orang tua Mas Gibran. Aku membuka bingkisan kado dari Mba Ranaya. Eh salah, katanya dari Alvan. Ck, aku rada nggak percaya sih.

Aebuah gaun lengan panjang pastinya, berwarna peach kombinasi soft blue, terkesan polos ... tapi dipenuhi kristal kecil di area dada ke perut. Bawah gaunnya mengembang, berwarna blue pastel. Cantik sekali! Kyaahhh ... apa ini nggak berlebihan? Terus nanti Alvan ganteng banget? Duh, jadi deg-degan! Bisa dibatalin nggak? Malu aku pakai kayak ginian. Nanti Alvan jangan-jangan pakai tuksedo? Err ... gakuku Dedek, Bang! Nanti kalau Dedek minta dilamar gimana? Wkwk, oke stop, jangan gila dulu.

Kalau gaun seperti ini, pakai riasan sederhana ala-ala aku kayaknya jadi timpang nanti. Kalau ke salon bayarnya berapa ya? Apa pinjam kosmetik aja di Nanda ya? Pinjam eyeshadow, blush on, terus apa lagi? Ah, aku fondation, dan maskara aja nggak punya. Maklumlah, jarang dandan dan kulitku agak sensitif.

Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu, disusul dengan salam. Aku segera menjawab dan membuka pintu. Hah? Mba Ranaya? Kok udah jemput?

"Mba Ranaya? Kok ...?"

"Taraaa ... iya dong Bungas, mau bantuin kamu prepare. Kuy, mau ke salon apa aku yang dandanin?" celetuk Mba Ranaya dengan menyunggingkan senyuman jahil.

"Hah? Dandanin?"

"Iya... ini...," ujarnya mengangkat kotak besar dengan warna silver.

"He he...," aku hanya bisa tertawa, tanpa jawaban, alias spechless. Tidak ada pilihan, aku nggak suka ke salon, tapi aku juga risi didandanin Mba Ranaya. Seganlah! Tapi...

"Udah nggak usah sungkan ..., sama calon kakak ipar mah," kelakarnya membuatku lebih-lebih spechless.

Dan akhirnya, tanpa bisa menolak selesailah sudah sesi rias merias ala Mba Ranaya.
Tidak disangka, aku bisa berubah jadi cantik. Alhamdulillah ..., ini beneran aku? Kok bisa jadi cantik gini?

"Bagaimana?" Mba Ranaya menyunggingkan senyum kepuasan.

"Alhamdulillah, bagus banget Mba!" ujarku terperangah, "kok bisa dandanin kayak gini Mba? Makasih ya Mba...." Terlalu bersemangat, penyakit hebohku kumat, dengan menggenggam tangan Mba Ranaya, dan memeluk erat.

"Alhamdulillah, ya? Sama-sama Bungas. Kamu memang cantik kok! Alvan pasti kaget! Kyaahhh ... dia pasti terpesona!" Mba Ranaya bersorak sambil mengguncangkan tanganku, berkedip penuh binar. Astaghfirullah , Mba Ranaya ... itu berlebihan. Tapi kok MBa Ranaya baik banget ya? Masa iya dia serius jodohin aku sama Alvan?

****

Setibanya di rumah Mas Gibran,  aku berdecak kagum.  Rumah Mas Gibran yang menggunakan ornamen kayu, kombinasi warna putih, lebih terkesan elegan dengan dekorasi serba putih di tenda-tenda, dan bunga-bunga cantik yang mencolok. Halaman rumah yang disulap seketika. Memang taman di halaman ini indah sih,  jadi pantas untuk acara-acara. Bunga anggrek ungu, putih, yang tergantung di tiang tenda,  dan berbagai macam bunga yang entah apa namanya menempati sudut-sudut meja.

Tiba-tiba aku berdebar nggak karuan. Mba Ranaya sedari tadi memegangiku, yang memang kurang pengalaman mengenakan hak tinggi. Sungguh repot. Melangkah di atas karpet merah, disambut oleh orang tua Mas Gibran, dan menyalami keluarga besar satu persatu. Benar-benar mati gaya aku. Kupikir bakalan sederhana aja. Ini mewah banget! Di luar perkiraanku. Apa aku bisa nyanyi dengan baik? Kalau penampilanku nggak bagus gimana? Kalau malu-maluin gimana?

"Sama siapa Mba?" suara Alvan bertanya terdengar di belakangku. Aku yang sedang minum, hampir aja menyemburkannya. Duh, jangan sampai aku kelihatan aneh.

"Bungas ...?" meski setengah berbisik, aku dapat mendengar suara Alvan. Seketika aku membeku, jantungku berdebar lebih keras. Ada sesuatu kehangatan yang menjalar. Ada kupu-kupu mengitari dan bermain-main di perutku. Kok aku kayak orang bego sih? Nggak ngerti kenapa harus malu dan mati kutu gini. 

"Siapa lagi? Ini kan gaun dari kamu. Gimana? Cantik kan?" Mba Ranaya ih, bikin malu aja! Ah pura-pura nggak denger deh, cari minum kek, camilan kek , yang penting pergi. Aku yang belum juga menengok, diam-diam melangkah pelan ... berusaha menjauh dari situasi genting ini.

"Bungas!" panggil Mba Ranaya saat aku baru saja melangkah dua langkah. Err ... mampus!

"Sini ..., mau ke mana lo? Malu ya? Ada Alvan?"

"Enggak kok!" balasku cepat. Dan sesaat kemudian aku benar-benar menyesal,merutuki diri sendiri.

"Ha ha, kentara banget boongnya. Ciye, ciye...," goda Mba Ranaya semakin membuat pipiku panas.

"Nggak ada berubah kok. Seperti biasanya," tukas Alvan tiba-tiba. Ia melewatiku sembari mengucapkan kata-kata jitu pematah semangat! Rasanya darahku yang memanas di pipi mendadak anjlok turun. Nyesek banget. Ini orang nggak bisa basa-basi dikit? Muji dikit doang apa susahnya? Grrrr ... pengin gigit banget rasanya! Mang lo secakep apa? Eh? Aku menyelidiki penampilannya. WHAT! Hampir saja aku tersedak oleh air liur sendiri.  Beneran pakai tuksedo dia?! Aduh,  mampus! Meleleh. Kenapa cakep banget? Setelan jas tanpa kancing, pas badan,  warna hitam, kombinasi kemeja putih kerah lipat kecil,  tanpa dasi. Tapi nggak boleh kayak gini.  Bukan saatnya terpukau.

"Makasih, btw ..., memang biasanya aku udah cantik kan maksudnya?" serobotku kemudian, semakin terintimidasi dengan segala tingkahnya. Dia hanya melangkah santai melewatiku, punggungnya yang tegap terlihat menjauh, tanpa menoleh apalagi minta maaf. 

"Pikir saja sesukamu," jawabnya tanpa menoleh, dan hanya mengangkat tangan kanannya melambai. Hah? Bener-bener ngeselin! Pengin kulempar sepatu hak tinggi ini! Tapi aku hanya bisa mengepalkan tanganku kuat-kuat. Akan kutinju dia suatu saat! Err ... kalau kayak gini aku suka lupa kalau dia tuh BlueHadBlack,  rasanya seperti dua orang yang berbeda. 

"Sabar Bungas, sabar ...," ujar Mba Ranaya mengelus-elus punggungku. "Alvan emang gitu. Ketus kebangetan. Nanti Mba yang hajar Alvan. Kalem aja." Ah, aku malu banget! Alter ego sisi jahatnya mulai muncul, padahal kemarin dia udah baik nolongin aku. Huhh ... sabar, tahan diri selama acara aja Bungas.  Iya selama acara.

Bada isya acara dimulai. Ini sudah pukul 8 malam kurang lima belas menit. Sebentar lagi, aku dan Alvan akan tampil. Tapi, dari tadi aku sama dia awkward banget. Nggak ada obrolan apa pun.  Why? Akunya salah tingkah, dianya cuek. Akunya malu-malu, dianya nggak peduli. Emang aku idiot, tadi habis dibikin malu,  kenapa malah udah nggak marah lagi aku? Tapi emang kita kan mau tampil, dan situasi ini bikin aku makin gugup aja. Argh ... gimana nih?

"Bungas," eh?  Alvan memanggilku? Sekonyong-konyong aku menoleh. "Hah?" gumamku persis seperti orang bodoh. Duh, duh, duh....

"Semua insya Allah bisa kamu lewati. Jangan terbebani, hanya lepaskan semua beban," ujarnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku mencerna kalimatnya dengan fokus terbagi. Antara menatap bola mata hitamnya yang teduh dan sangat dalam, atau memikirkan maksud ucapannya.  Mata itu seperti warna langit malam penuh misteri. Misteri yang membuatku merasa ketenangan. Dan barusan dia tersenyum! Hampir saja aku melayang.  Sihir apa lagi sekarang?

Tadi apa? Beban katamu? Aku lupa apa bebanku.

****

A/n: Iya Mas Alvan,  aku lupa bebanku saat bersamamu.... wkkwkwkw...  Irma ngerusak suasana aja nih!











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top