06 - Love What You Carry

06 – Love What You Carry

FINNEAS - Love Is Pain

Setelah kami bertiga memeriksa rekaman CCTV tadi malam, kejadian itu semakin tak terjawab.

"Lo itu cuma sleep walking, tidur sambil ngeluyur. Tentang lo yang udah kelas dua belas tapi di cerita lo masih latihan Paskibra aja itu udah ngelantur jauh," kata Kak Ben setelah menutup laptopnya. Kami bertiga berkumpul di meja dapur.

Gue memegangi kepala dengan kedua tangan. Termenung. Tetapi sejak kapan gue sleep walking?

Gue bisa merasakan Kak Elli yang menatap heran. Tentu dia juga merasa aneh kenapa gue bisa mengalami hal kayak gitu dan melibatkannya.

"Jelas-jelas gue sama Elli jam segitu belum balik. Ini karena kebanyakan mikir sih lo! Istirahat dulu belajarnya. Urusan seleksi kuliah masih bisa dikejar. Lo juga nggak lagi balapan sama siapa-siapa."

"Enggak! Ini di kepala gue kayak nyata banget," kata gue mempertahankan apa yang gue alami.

"Terus maksud lo CCTV ini ngawur?"

"Ya gue nggak tahu!" rengek gue.

"Sebelumnya ini pernah kejadian, nggak?" tanya Kak Elli lebih ke Kak Ben, meski matanya sempat melirik ke gue.

"Nggak pernah. Gue bilang, dia cuma overdosis belajar aja, jadi isi pikirannya kusut ke mana-mana. Coba kalau semalam lo ketidurannya di deket kolam. Misal nyemplung dan nggak ada yang lihat lo di sana gimana?" ucap Kak Ben antara kesal dan mengkhawatirkan gue.

Gue mengusap wajah kebingungan sendiri. Gue dan Kak Elli bertatapan sekilas. Mendengus. Lalu pergi meninggalkan mereka karena gue nggak pengin lanjut membahasnya.

Melewati kamar Kak Elli, situasinya baik-baik saja. Nggak ada jejak-jejak kejadian semalam. Tapi ... ah, persetan.

Gue melengos ke kamar. Kepala gue sakit banget. Suhu tubuh gue juga meningkat. Apa semalam cuma mimpi karena gue mau demam? Bentar, kenapa gue bisa nggak ingat sama apa yang terjadi semalam? Kapan gue ketiduran?

Ingatan terjauh gue tentang semalam cuma gue lagi baca buku di kamar sambil chatting-an sama Kak Elli ngomongin ... oh, shit!

Ping!

Gue meraih ponsel yang tergeletak di kasur.

Ini bukan karena obrolan semalam, kan? Tulis Kak Elli.

Gue nggak langsung membalas karena dia sedang mengetik pesan lain. Namun dia urung mengirim entah apa yang dia ketik itu.

Bilangin ke Kak Ben beliin gue parasetamol di apotek. Balas gue alih-alih. Kenapa ya gue nggak bilang ke Kak Ben sendiri?

Ben bentar lagi mau berangkat ke SCBD ada meeting sama klien prospek. Ketiknya sambil merujuk pesan dia semalam, yang mana dia udah nyebutin soal itu dan, coba tebak, gue linglung. Hari itu gue bener-bener kayak kehilangan sepotong memori dari apa yang terjadi di malam sebelumnya.

Parasetamol sama apa?

Gue menatap pesan lanjutannya dan nggak tahu mau balas apa. Badan gue mulai terasa nyeri. Setelah ganti baju gue mengelap badan dengan handuk kecil yang gue basahi.

Pintu kamar diketuk bersamaan suara Kak Ben memanggil nama gue. Gue lantas membukanya dengan wajah memberengut.

"Nggak usah bahas lagi," kata gue ancang-ancang.

"Hari ini gue balik agak malem sama Iv. Kalau lo perlu apa-apa minta tolong ke Elli aja. Dia nggak ikut soalnya mau ada interview buat Content Creator Blitz," ujarnya dengan pelan.

"Lo ada parasetamol nggak?"

Tangan Kak Ben menyentuh kening gue. Dia terkekeh meledek, "Ini pasti penyebabnya deh."

Gue menepis tangannya.

"Nggak ada. Nanti gue minta Elli buat beliin. Lo bolos kelas aja hari ini buat istirahat."

Gue menghela napas. "Sebelumnya gue pernah kayak gini nggak sih?"

"Ya mana gue tahu. Coba aja nanti lo cek-cek CCTV barangkali ternyata lo sering koprol tengah malem di dapur sambil merem."

"Apaan sih! Gue serius."

"Ya gue juga serius!"

Gue berdecap.

"Gitu aja, ya. Kalau ada apa-apa kabarin gue aja," katanya sebelum melengos pergi.

Gue menutup pintu dan melempar diri ke atas ranjang. Tak lama kemudian suara motor Kak Ben keluar meninggalkan gerbang. Gue memutuskan buat membaca kembali semua percakapan semalam dengan Kak Elli.

Dia punya satu lagi adik laki-laki yang akhirnya dia ceritakan semalam. Namanya Yuan. Saat itu umurnya 7 tahun, sementara Kak Elli masih berumur 13 jalan. Berbeda dengan adik-adiknya yang lain, Yuan penyintas asperger. Anaknya susah diatur, nggak terprediksi, dan perlu diawasi terus-menerus. He's everyones favourite, kata Kak Elli. Yuan seperti matahari di dalam keluarga, tambahnya.

It was the darkest day of Kak Elli's life ketika Yuan meninggal dalam pelukannya, setelah ditemukan tenggelam di kolam ikan belakang rumah. Kak Elli lengah saat Yuan ditinggal sebentar ke dalam rumah buat nyari senar pancing baru. Mereka hanya berdua ketika itu terjadi. Dan, sampai sekarang Kak Elli masih berpikir dirinya layak dipenjara atas kelalaiannya. Tetapi, sejak masalah itu nggak diperkarakan secara hukum, maka Kak Elli harus memikul rasa bersalah yang menenggelamkan kewarasannya hingga saat ini.

Itu alasan kenapa lo sering nyelem di kolam tengah malam? Pesan gue semalam. Meski dia nggak membalasnya karena sedang dalam perjalanan dengan Kak Ben, tetapi respon itu bagi gue lebih kuat dari sebuah 'iya'.

Pintu kamar gue diketuk. Dua kali, tiga kali. "Karleen," panggil Kak Elli. Darah gue langsung ngumpul di wajah.

Gue berderap membuka pintu. Tampaklah dia sedang berdiri di sana membawa tablet parasetamol dan vitamin. Tangannya mengulur. Gue menerimanya dengan heran.

"Saya ada stok parasetamol dan vitamin. Jadi nggak perlu beli," katanya.

Dan, nggak tahu kenapa gue pengin nangis. Gue menatapnya berkaca-kaca. Perasaan gue berkecamuk, nggak jelas apa aja yang gue rasakan. Sedih, sakit, iba, marah.

Di dalam dada gue ada perasaan yang galak banget, dan nggak bisa gue utarakan ke orang di depan gue, yang sebenernya justru dialah satu-satunya orang yang pengin banget gue kasih tahu. Lalu, itu semua cuma bisa termanifestasi ke dalam sebuah gerakan spontan.

Gue memeluk Kak Elli.

Wajah gue terbenam di dadanya. Oksigen yang masuk ke paruh-paru gue berebut dengan aroma kolonnya. I don't know why, but I'm sobbing over him, and I hugged him tight.

Gue nggak peduli apa yang ada di pikiran dia saat itu. Gue cuma, nggak bisa nahan diri membayangkan semua beban yang harus dia bawa ke mana-mana selama ini.

Tangannya bergerak. Bukan untuk balas memeluk. Tetapi untuk mengurainya.

Kak Elli menatap gue yang spontan itu langsung jadi hal favorit gue. Rahangnya berkedut, satu sisi mulutnya terangkat saat dia mencoba menahan perasaannya, gue tahu. Gue tahu dia bisa menyerah kapan saja, dan hanya karena dia seorang kakak, laki-laki, orang dewasa, maka dia merasa harus menjaga kekuatannya lagi dan lagi. Setiap hari. Sampai setiap luka dan rasa bersalahnya sepadan.

Kenapa ada orang yang rela menghukum dirinya seperti itu? Dengan sepi dan beban yang tak setimpal.

Kak Elli berdehem. Tatapannya seolah menyelinap masuk ke dalam kepala gue dan membaca apa yang nggak bisa gue akui padanya.

Gue mengelap air mata dengan tangan kiri, sementara tangan kanan gue memegangi pergelangan sweternya, sebelum mundur satu langkah dan menutup pintu.

"Makasih," kata gue serak. Dengan nggak melihat wajahnya itu bikin gue mudah buat bicara.

"Sarapan dulu deh kalau mau diminum obatnya."

"Gue ada roti."

"Minum ada?"

Gue terisak dua kali. "Ada."

Kemudian lengang. Tapi gue tahu dia masih di sana, mendengarkan gue yang masih belum berhenti terisak.

"Gue hari ini nggak ke mana-mana. Kalau perlu apa-apa tinggal bilang, ya," ujarnya.

"M-ya," sahut gue kesusahan.

"Istirahat aja." Lalu terdengar langkah kaki menjauh.

Gue menggelosor di lantai. Menghela napas panjang. Mulai sadar setelah ini pasti akan beda.

***
Tell your friends if you love this story, and tag me.

New chapter tomorrow.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top