03 - Jelousy, Jelousy

Hei. There's no need to worry if I don't give an author's note. I'm glade to be back. Just give me time to adjust again to all this. Gonna give you author note one day.


03 – Jelousy, Jelousy

Billie Eilish - Male Fantasy

Kalau cara putusnya kacau, mungkin gue bakal kayak gini pas putus sama Yudas:

Nangis, nangis, dan nangis. Panik. Mengingat-ingat apa yang salah. Ngurung diri di kamar. Bikin orang-orang khawatir. Ikut-ikutan nyesap vape sama Sesil. Mandek baca buku. Nggak nafsu makan. Males mandi. Blokir kontak Yudas. Nggak mau ngomong sama siapa-siapa. Tidur seharian. Nggak fokus. Borong Boba sampe diabetes. And of course, I would be in a phase of not wanting to talk to anyone, but also a phase where my head was very loud and my emotions were all over the place.

Pada dasarnya nggak ada putus yang bener-bener nikmat. Gue juga pasti ngarepnya nggak pernah ada sesuatu yang membuat gue kehilangan perasaan ke Yudas. Tapi, semuanya terjadi begitu saja dan gue memutuskan untuk nggak mikirin itu berlarut-larut. Maksudnya, meski Yudas yang bikin kesalahan sejak awal, dia masih baik dan gue masih bisa menerima sisanya.

Gue pernah baca di salah satu buku. Mau sehancur apa pun seseorang pernah berkonflik sama mantan, bertahun-tahun yang akan datang kangen yang cuma sekelabat pun bakal tetep ada. Maksud gue bukan kangen yang pengin ketemu lagi dan ngobrol. Tapi, kangen yang cuma muncul di pikiran, yang cuma penasaran how's his heart after breaking mine, yang cuma kilasan memori tentang bagian menyenangkan sama orang itu, yang cuma ngetawain ingatan tentang segala pertengkarannya, bahkan kangen yang bikin pengin kembali ke hari ketika putus cuma buat nonjok wajahnya.

Ingatan hati tentang pernah mencintai sama kuatnya dengan ingatan hati yang pernah dilukai.

Kian hari hati juga mendewasa seiring dengan gimana kesadaran kita akan sesuatu. Selalu ada persepsi baru akan suatu masalah pada waktu yang akan datang. Seperti sebuah lagu yang nggak kita sukai saat pertama kali dengar, lalu suatu ketika lagu yang sama terdengar berbeda hanya karena kita mendengarkannya di saat yang tepat.

Dan, gue udah meyakinkan diri untuk nggak akan takut sama setiap kegagalan, apalagi terkait cinta, di umur gue yang masih belasan. Dunia ini penuh dengan keindahan palsu yang mengiritasi mental dari media sosial. Dua seleb yang kelihatan rukun setelah menikah, selalu unggah potret bahagia, punya anak yang dikagumi semua orang, tiba-tiba cerai. Idola K-Pop yang siangnya konser, tiba-tiba malamnya ditemukan bunuh diri karena overdosis dan ninggalin catatan depresi. Sementara, gue lihat Nicholas Saputra posting foto kaki doang aja mood gue langsung baikan dan tahu dia menikmati hidupnya. Itu bikin gue mikir, waw, dunia ini beneran cuma fasad dari sisi terdalam seseorang yang sesungguhnya berbeda.

Sebagai cewek yang udah kenyang baca teenlit dengan berbagai macam konflik dan kesimpulan, gue nggak sebodoh itu buat nggak ngambil pelajaran. Gue cuma pengin memanfaatkan dua tahun sebelum masuk usia 20-an buat memahami kehidupan, bersenang-senang secukupnya, and trying my best to be real. Gue udah bersumpah sama diri sendiri buat nggak bakal menyamakan standar gue dengan orang-orang. Atau berusaha menjadi siapa pun. Gue punya cita-cita, gue punya impian, dan gue cuma pengin fokus sama bagian itu saja. Minding my own business.

Tentu, gue nggak bakal ngomong kayak gini kalau nggak ada yang mau gue omongin tentang Kak Elli di halaman-halaman selanjutnya.

Operasi Kak Ben berjalan lancar. Tapi belum dibolehkan buat balik sama dokternya hingga tiga hari ke depan. Gue ketemu Papa dan sempet makan siang bareng di warung nasi padang dekat rumah sakit. Meski gue kesal karena Mama bahkan belum muncul juga yang katanya bakal datang siang, tapi gue nggak tertarik sama sekali buat nanyain. Paling alasannya sama seperti yang sudah-sudah; lagi rapat dadakan, ada janji temu sama calon investor, harus ke luar kota, atau mungkin aja pacarnya belum ngebolehin dia keluar dari selimut. Gue sampai malu sendiri setiap kali lihat unggahannya Mama sama pacarnya di media sosial. Udah gue unfollow dari kapan, tapi kadang muncul di rekomendasi akun yang bikin gue gatel buat ngecek.

Yudas balik setelah ketemu Kak Ben.

Sesil dijemput sopir orang tuanya sebelum gue sama Papa makan siang itu.

Sementara, Kak Elli menghilang sekembalinya gue ke rumah sakit dari makan. Gue nggak nanya ke siapa-siapa tentang keberadaan Kak Elli. Tapi ketiadaannya bikin gue mencari-cari dan menunggu barang kali dia lagi beli minuman atau semacamnya. Akhirnya, menjelang gelap Papa mengantar gue ke rumah. Namun setibanya di rumah, motor Kak Elli juga nggak ada di sana.

Sampai larut malam, dia juga nggak kunjung pulang. Padahal gue sengaja nggak kunci gerbang depan. Gue ngecek ke studio. Sengaja lewat di depan kamarnya. Tapi nihil. Gue malam itu sendirian di rumah.

Keesokan harinya, saat gue lagi kelas daring, terdengar suara gerbang yang didorong dan diikuti deru mesin motor yang masuk. Gue buru-buru off cam dan mute. Lalu bawa tupperware buat pura-pura mau isi ulang di bawah.

"Permisi, paket."

Di gerbang ada kertas yang dipasang sama Kak Ben bertuliskan 'Kurir paket masuk aja'. Gue bener-bener merasa bodoh gini.

"Untuk Elliansyah Haidar, Kak," kata kurirnya sambil menyodorkan paket seukuran kardus televisi.

Itu kali pertama gue tahu nama lengkap Kak Elli.

"Oh, iya."

"Tanda tangan di sini."

Sret sret sret.

"Makasih, Kak."

"Sama-sama, Mas," jawab gue. Lalu kurir itu pergi.

Dari bobot paket yang nggak terlalu berat dan pengirimnya bisa dipastikan itu produk buat foto katalog dari seller. Gue lalu menaruh paket itu di meja. Pas mau menaiki tangga, gue baru kepikiran kalau di paket itu pasti ada nomornya Kak Elli. Kemudian dengan gegabahnya gue langsung kembali menghampiri paket itu dan jelas itu bukan nomor Kak Ben.

Gue menyimpan nomornya di kontak. Saat gue periksa di WhatsApp, foto profilnya memang beneran Kak Elli. And I don't know why seeing his profile picture makes me smile. Kenapa ya orang kalau di foto itu bisa beda banget sama aslinya? Di foto itu Kak Elli tampak lagi berdiri memegangi kamera dan cuma kelihatan setengah badan doang.

Saat itu gue nggak ngerti apa yang bakal gue lakukan sama nomor yang gue gercep simpan itu. Masa iya gue mau nanya dia lagi di mana? Dan nggak mungkin dong gue nge-chat dia pake alasan ada paket kalau toh akhirnya dia bakal balik? Tapi gimana kalau dia nggak balik juga? Pikir gue random banget saat itu.

Sampai malam tiba, gue merasa aneh, tiba-tiba kayak stres, misuh-misuh sendiri sama ketiadaan Kak Elli di rumah. Gue udah ngedraf chat berkali-kali, tapi nggak ada satu pun yang gue kirim. Padahal gue lihat kontaknya online. Gue cuma nggak pengin tampak bodoh dan kayak bocah yang takut sendirian di rumah aja. Gue nggak takut di rumah sendirian, karena sebelum Kak Elli datang, Kak Ben udah sering pergi berhari-hari. Gue cuma nggak paham kenapa ketiadaannya bikin gue gelisah seolah ada yang kurang―kurang banyak.

Gue berusaha mengalihkan fokus dengan baca buku. Tapi nggak berguna karena gue malah menghabiskan waktu buat ngedraf chat lagi dan lagi dan nggak pernah dikirim.

Pukul sebelas lewat sebelas malam, gue mendengar bunyi gerbang terbuka, lalu suara gembok, dan suara motor masuk ke halaman. Gue berusaha sesenyap mungkin buat mendengarkan setiap suara yang datang dari luar. Kemudian terdengar suara kunci yang terputar di pintu depan, ketukan langkah kaki di lantai, dan kunci yang terputar lagi dari kamar Kak Elli di lantai bawah yang bersebelahan sama studio. Setelah itu lengang.

Kalau boleh jujur, gue lega banget akhirnya.

Saking pengin memastikan, gue melakukan cara yang sama seperti pagi tadi dengan tupperware. Kalau gue ke dapur, gue pasti melewati kamar Kak Elli. Lampu kamarnya menyala dan gue nggak mungkin nempelin telinga ke daun pintu buat nguping apa pun yang dia lakukan di dalam.

Lalu naik lagi ke atas setelah mengisi air. Lampu kamar dan balkon gue matikan. Kecuali lampu di nakas karena gue memutuskan buat lanjut baca dan bener-bener fokus karena pikiran nggak tahu kenapa jadi tenang aja gitu setelah dia balik. Gue kalau baca buku misal lagi seru-serunya itu bisa sampai ketemu pagi lagi. Apa lagi kalau besoknya Minggu, nggak ada kelas, weekend, kayak malam itu.

Sekitar pukul satu kurang beberapa menit, pintu ke halaman samping terdengar ada yang membuka. Gue menutup buku dan menyimak suara-suara. Lalu lampu kolam dinyalakan karena warna birunya terpantul bergelombang di pagar balkon dan pohon palem. Tak lama kemudian, terdengar seperti seseorang baru saja menceburkan diri ke kolam.

Gue mungkin sudah kehilangan akal sehat karena panik nungguin Kak Elli nggak balik-balik, tapi itu nggak lebih aneh dari orang yang nyebur ke kolam renang di pukul satu pagi. Gue bergegas ke arah pintu balkon, gue geser pintunya perlahan biar nggak menimbulkan suara, lalu merangkak ke pinggiran.

Di bawah sana, gue melihat Kak Elli yang hanya memakai celana dalam ketat sepaha sedang berusaha mendayungkan lengannya di air. Gue berusaha untuk nggak terus-terusan melihat ke spot tertentu. I know, and you guys also know, for sure. Dia berenang dari ujung ke ujung hingga yang terlihat hanya punggung kencangnya dan gerakan otot-otot belikat di permukaan air, lalu menyelam lama dan kembali ke permukaan cuma buat mengambil napas sebelum menyelam lagi. Dia melakukan itu beberapa kali. Antara satu selam dengan selam yang lain selalu lebih lama.

Ada kali, lima belas menitan dia di kolam. Gue masih mengawasi bahkan sampai dia handukan.

Gue tahu ini kriminal banget tapi gue nggak bisa berhenti ngintip, Ya Tuhan.

Kak Elli lantas duduk di gazebo, menyalakan rokok, meneguk minuman kaleng, lalu tangannya meraih ponsel. Sejurus kemudian dia tampak menelepon seseorang. Bibirnya tersenyum, bicaranya pelan, tampak seperti yang ditelepon adalah orang terdekatnya, atau mungkin ... pacarnya?

Begonya gue nggak mikir kemungkinan Kak Elli punya pacar. Maksud gue, dia usianya 25, udah punya bisnis, nggak pulang semalaman pas weekend, baliknya langsung nyebur ke kolam, terus teleponan sama seseorang yang kayak mesra banget senyum-senyum meski gue nggak tahu ngobrolin apa. Apa lagi kalau bukan pacar?

Why does that thought bother me so much? Kenapa pikiran itu sangat mengganggu gue?

Terus kenapa kalau dia punya pacar? Dan memangnya apa yang bakal gue lakuin kalau dia nggak punya pacar? Gue sadar kok, ego ini kayak gue yang lagi berharap banget suatu hari itu akan terjadi, antara gue dan Kak Elli.

Pria ini juga harusnya cuma seperti tamu di rumah gue, bukan orang yang akan menetap selamanya. Dan kenapa, gue tiba-tiba mikir misal dia udah nggak di rumah ini bakal ke mana? Kenapa gue nggak suka saat membayangkan itu terjadi?

Keesokannya, alarm ponsel gue berbunyi di pukul delapan pagi.

Sesil kirim pesan kalau hari ini dia bakal tes antigen karena Mba yang kerja di rumahnya positif dan kalau hasilnya negatif dia bakal langsung ke gereja, lalu pulangnya ke rumah gue. Iya, oke, sorry gue baru bangun. Gue ke gereja jam sembilanan, deh. Balas gue.

Tipikal Sesil, tanpa ngasih kode, pasti langsung telepon begitu dapat balasan. Dan gue nggak bakal angkat telepon orang yang cara mainnya kayak gitu, kecuali Sesil doang.

"Lo baru bangun beneran?"

"Iya," jawab gue serak sambil menyisir rambut di depan cermin, "lo nanti kalau hasilnya negatif, gue nitip serum buat kantung mata dong, Beb. Nanti gue ganti kalau ketemu di gereja."

"Yang apa?"

Gue memijit lingkar mata pake ujung telunjuk. "Apa aja deh. You know it better than me."

"Mata lo bengkak atau gimana? Lo abis lembur ngapain?"

Ngintip cowok cakep renang. Ya kali gue jawab gitu. "Namatin Verity sampe kantung mata gue kelihatan jelas gini. Bete banget."

Sesil tertawa. "Jadi beneran lagi baca? Gila lo, ya!"

"Maksud lo? Ya, iyalah gue baca."

"Enggak. Jadi gue semalam teleponan sama Kak Elli. Jam berapa sih gue lupa. Jam satuan deh kayaknya."

"Hah?"

"Dia bikin status WhatsApp gitu, kan. Gue bales aja iseng, kirain nomor gue nggak disimpan, Kak. Dia balas, ya, disimpan dong. Terus gue telepon, eh diangkat. Terus dia katanya baru balik gitu. Dia bilang rumah sepi palingan lo udah tidur. Terus gue jawab, Karin palingan lagi baca buku kalau malam minggu."

"Hahhh?"

"Kenapa sih hah heh hoh mulu? Bau mulut lo!"

"Lo punya nomornya Kak Elli?" tanya gue masih kaget. Serius, saat itu jantung gue deg-degan banget waktu Sesil bilang gitu. Semalam? Kak Elli teleponan sama Sesil?

"Ya punyalah, kan gue minta pas hari itu. Emangnya lo nggak punya?"

"P-punyalah!" jawab gue seakan nggak mau kalah dari Sesil. Ih, kok malah teleponan sama Sesil, sih? "Lo ngobrol apa aja emang jam segitu?"

"Cuma ngobrol santai doang sambil bercanda."

Gue memutar bola mata. Mood gue langsung berubah jelek.

"Terus, dia tiba-tiba nanyain soal kuliah coba! Dia nanya sekarang sistem pendaftaran masuk PTN tuh kayak gimana? Ada berapa PTN sekarang? Berapa kuotanya? Ya gue mana tahu yang gitu-gituan. Terus gue bilang aja kalau pertanyaan gituan lo yang lebih ngerti."

Gue langsung duduk di kursi rias. "Terus?"

"Apanya?"

"Dia jawab gimana?"

"Dia cuma jawab, oh gitu. Udah. Selesai teleponannya."

Gue agak kecewa mendengar jawaban oh gitu kata Sesil, dari Kak Elli. "Oh, ya udah sana lo antigen!"

"Kenapa lo jadi sewot gini, sih? Lo naksir Kak Elli?"

"Naksir apaan? Gue cuma kesel, dia pergi nggak bilang-bilang. Gue di rumah sendirian."

"Ya ampun! Karin, my baby bitch, lo itu sebelum Kak Elli pindah ke rumah lo, udah sering ditinggal sendirian sama Kak Ben! Kenapa ini Kak Elli yang pergi lo malah jadi kayak bayi gini?"

"Sekarang beda. Posisinya Kak Ben nggak ada karena abis celaka. Ya gue butuh temen dong di rumah?"

"Apa hubungannya? Astaga! Terus kalau Kak Elli di rumah, lo mau gimana? Minta digendong? Dikelonin? Diayun-ayun? Hih! Gue tahu kalau udah gini pasti lo naksir dia. Dan nggak usah khawatir karena gue cuma suka sama Kak Elli. Suka maksud gue ya sama kepribadiannya yang asik. Bukan suka yang gue pengin jadi pacarnya!"

"Ya lo biasa aja dong!"

"Lo yang nggak biasa aja dari tadi, gila! Udah, ini lo mau nitip yang lain lagi nggak?"

"Menu biasa!"

"Ya udah!"

Why is my aura so so so bad this morning? Rengek gue dalam benak.

Pesan dari Sesil tak lama kemudian: Gue juga sadar kali, lo pas pemotretan kemarin ngelihatin Kak Elli kayak nggak pengin kedip gitu. Sebelum gue mulai kasih dukungan buat lo, gue mau tanya. Lo serius mau mulai naksir sama dia? Orang yang baru lo kenal belum ada seminggu? Ini dia serumah sama lo. Kalau ada apa-apanya, lo siap? Maksud gue kalau nanti kalian ada konflik atau apa. Kalau Kak Ben tahu gimana? Lo bakal susah kalau beneran mau tetap naksir sama Kak Elli. Gue tahu dia muka-mukanya tipe lo banget. Serius lo bakal aman serumah sama dia terus, sementara lo masih mendem perasaan yang kayak ginian? Serius lo nggak bakal diem-diem menyelinap ke kamarnya dan nyolong sempak Kak Elli? HAHAHAHA!

PENGARUH BURUK EMANG LO! balas gue. Lalu Sesil melempar gue dengan satu ton emoji hati.

Nggak sering, tapi setiap gue naksir sama seseorang, gue selalu menatap diri gue sendiri di depan cermin.

Apakah orang yang gue sukai bakal menyukai gue balik dengan gue yang seperti ini? Apakah dia suka sama cewek yang punya ras chinesse sejelas gue? Mata sipit, tubuh kurus, lebih banyak koleksi buku daripada make up (gue suka make up tapi gue nggak pinter milih, that's why gue nyuruh Sesil buat jadi pembuat keputusan buat urusan make up gue). Gue nih, selesai sama Yudas dengan cara dia lebih milih sama cewek jalanan aja, jujur ada bagian di dalam diri gue yang merasa terintimidasi. Gue kayak bisa tergantikan oleh cewek seperti itu. Bukan sedang menjelek-jelekkan sesama cewek. All girls are beautiful in their own way. Tapi, ayolah, siapa sih yang nggak berubah jadi minder kalau pacar sendiri putar haluan ke cewek yang ... berbeda?

Dan sekarang, gue lagi naksir sama cowok, tepatnya seorang pria yang kata Sesil mirip Ryan Gosling versi Asia. Tantangan tersendiri buat keminderan gue. And I can't agree more. Ngerti nggak sih, ada sensasi excited saat ada di sekitar orang yang kalian taksir? I feel it around Kak Elli. Bahkan lebih dari sensasi ketika gue sama Yudas pas lagi terjebak di sesi saling tatap dulu, semilyar tahun yang lalu. This time hits differently. Salah nggak sih gue naksir sama yang beda usianya jauh banget? Tujuh tahun kejauahan nggak sih?

Gue turun ke bawah sambil bawa tupperware. Sumpah, benda ini berjasa banyak selama era basa-basi gue buat bisa lihat Kak Elli. Di meja tempat gue menaruh paket, Kak Elli sedang membuka paket itu dengan sebuah gunting. Dia mengenakan sweter cokelat tua yang bertudung dan celana panjang. Kepalanya mendongak saat menyadari keberadan gue yang sedang turun dan tatapan kami sempat bertemu. Tapi sebelum gue tersenyum buat menyapa, dia udah memalingkan tatapannya kembali ke sobekan kardus paket. Oh my God, ini kayak gue = nggak lebih penting buat sekadar disapa dari kardus paket.

Gue mengerjap dan berjalan cepat ke arah dapur. Muka gue panas. Gue bener-bener malu sama diri sendiri. Ya Tuhan, gue punya attitude kayak gini sejak kapan, sih? Saat itu, jalan balik ke kamar kayak mau ngelewatin sekelompok anak cowok yang lagi nongkrong di gardu gang, meanwhile ini cuma seorang Kak Elli yang lagi buka paket!

Kardio gue naik saat telapak kaki gue merasakan ada langkah seseorang yang menuju dapur. Berasa avatar pengendali bumi banget nggak sih? Gue pengin nangiiisss.

Pas Kak Elli lewat di belakang gue, angin di belakang langkahnya menyergap bersama aroma parfum prianya ke hidung gue.

Gue menoleh ke samping kanan. Kak Elli sedang berjongkok mengambil pisau di lemari pantri bawah. Kemudian berjalan keluar tanpa ada percakapan sama sekali! Udara di dapur berubah jadi berat banget.

Begitu dia pergi, gue langsung duduk di kursi sambil memegangi dada yang jantungnya berdebar hebat mempermalukan diri gue sendiri. Seumur hidup gue nggak pernah ngerasain yang seperti ini, bahkan nggak ketika bersama Yudas.

Gue berjalan cepat sambil menunduk ngelihatin lantai menuju tangga, saat Kak Elli memanggil, "Karleen." Pergelangan kaki gue nyaris tergelincir di undakan pertama.

"Iyah," jawab gue langsung menoleh seperti seorang taruna yang was-was dipanggil seniornya.

"Gimana?"

Gimana apanya anjir. "Apanya?"

"Kabarnya."

Ada dua tarikan napas sebelum gue menjawab, "I'm good." Gue benci banget sama kaki gue yang malah berjalan mendekati Kak Elli dan duduk di kursi seberangnya.

Kak Elli tersenyum santai. Tapi guenya yang nggak santai.

"Itu datang kemarin," kata gue yang nggak ditanya sama sekali.

"Iya," jawabnya sambil mengiris kardus.

"Hari ini mau ke mana-mana, nggak?"

"Kamu ngajak saya?"

"Enggak, gue nanya, hari ini lo mau ke mana-mana, nggak?"

"Ke mana-mana, ke mana?"

Please. "Ada perlu keluar nggak?"

"Oh, nggak. Kenapa?"

"Gue mau ibadah ke gereja. Pintu dikunci aja." Nggak penting banget lo ngingetin itu Kariiiin. Caci gue dalam hati.

"Oke," jawabnya sambil mengangguk dan menatap gue sebentar. Tangannya sibuk mengeluarkan setelan-setelan baju cewek dari dalam kardus.

"Oke." Canggung banget sampai telinga gue berasa seperti lilin yang terbakar.

"Kamu bisa tempelin baju-baju ini nggak ke badan kamu? Saya mau lihat ukurannya. Ini outfit remaja rilisan baru yang perlu dipotret."

Gue mengangguk tanpa pikir dua kali. Aneh, tentu saja. Tapi gue perlu berlagak normal. Gue meletakkan tupperware ke meja. Lalu mulai ngepasin baju ke badan kayak orang yang mau beli baju.

Kak Elli mengamati baju itu di badan gue berkali-kali. Lalu ganti ke baju yang lainnya hingga ke celana juga.

"Sebelumnya udah ada yang pernah bilang belum, kalau wajah kamu mirip salah satu penyanyi cilik? Siapa namanya, saya lupa," katanya.

"Penyanyi cilik?" Emangnya gue tampang bocah banget apa?

"Yang cover lagunya Maudy Ayunda, Kamu dan Kenangan."

"Siapa? Shanna Shannon?"

Telunjuk Kak Elli mematut-matut ke arah gue. "Nah, itu!"

"Itu bukan penyanyi cilik kali!"

"Lah, memang masih anak-anak. SMP, kan, dia? Itu usia anak-anak, kan? Menurut WHO, usia anak-anak itu dari usia 0-19 tahun. "

"Dan menurut Kemenkes, usia remaja itu 10-18 tahun."

"Ini bukan soal itu."

"But you mentioned the number first!"

"Oke. Tapi bukan soal itu."

"Terus maksud lo gue masih anak-anak gitu?"

"Saya bilang wajah kamu mirip. Bukan bilang kamu seperti anak-anak. Itu pujian. Artinya kamu secantik dia."

Gue langsung memutar mata. Dan usus di perut gue juga ikut berputar-putar. Kak Elli pasti melihat muka asem gue yang sebenernya lagi ngumpetin sesuatu yang nggak bisa gue ungkapkan dengan tepat untuk dia yang menyebut gue ... cantik? Beberapa menit yang lalu, gue meragukan diri sendiri. Sekarang, seseorang yang tepatnya adalah Kak Elli, memuji. Nggak bermaksud bereaksi berlebihan, tapi ini personal banget buat gue.

"Kamu mau ke gereja sama siapa?" tanyanya kemudian. Kak Elli kemudian duduk dan melipat pakaian-pakaian itu.

"Udah janjian sama Sesil."

"Janjian berangkat bareng atau janjian ketemu di gereja?"

"Ketemu di gereja."

"Motor Reuben remuk. Kamu nggak mungkin berangkat ke gereja pake motor itu. Mau saya antar atau naik taksi? Saya nggak keberatan kalau kamu pengin saya antar."

"Lo mau motret, kan?" gue jawab gitu bukan berarti gue nggak mau bahas opsi naik taksi. Tapi karena dia nawarin duluan. Stop looking at me like that guys. I know. Ok, bye.

"Bisa setelah kamu pulang beribadah."

"Kenapa harus nunggu setelah gue ibadah?"

Bibirnya kemudian menyeringai. "Karleen. Ketika saya bilang kamu mirip Shanna Shannon. Itu saya sedang berpikir kamu bakal cocok kalau jadi model untuk baju-baju ini."

"Maksud lo?" gue nyaris nyolot, "Oke, kalau lo pamrih gini, gue mending naik taksi."

"Bukan pamrih. Tapi Reuben yang bilang ke saya buat meminta kamu untuk melakukan ini. Semalam saya mampir ke rumah sakit dan kami mengobrol. Kamu bakal dibayar, tenang. Itu ide kakakmu, bukan saya."

"Gue nggak mau, entah itu dibayar atau nggak. Kenapa emangnya? Kalian nggak punya budget buat bayar model sampai harus minta gue?"

"Seller yang order jasa Blitz, mereka bayar sekaligus biaya sewa modelnya. Jadi, kamu salah kalau mikirnya kami nggak punya budget."

"Ya udah sih tinggal hubungi agensi aja kayak kemarin."

"Sudah bikin reservasi ke agensi, tapi modelnya positif covid."

"Sial banget sih bisnis kalian."

Kak Elli mengangkat kedua tangan sambil berlagak mundur. "Ow, excuse me, saya nggak memaksa. Kalau kamu nggak mau, ya, apa boleh buat."

"Good."

"Oke. It's fine," ujarnya, lalu dia kembali memasukkan semua pakaian itu ke dalam kardus. "Saya mungkin bakal menghubungi Sesil. Karena dia pasti mau. Lagian dia juga pengetahuannya cukup banyak soal modeling dan fashion. Saya memang sudah menyarankan Sesil ke Reuben lebih awal. Tapi, kakakmu minta buat nanyain kamu dulu. But, it's fine kalau kamu nggak mau. Sesil hari ini mau tes antigen, kan? Tadi dia WhastApp saya."

Oh, shit!

Shit! Shit! Shit!

Gue tiba-tiba pengin menampar mulut gue sendiri.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, gue malah balik badan dan naik ke atas. Gue nyaris membanting pintu kamar, tapi gue tahan saat beberapa senti pintu tertutup.

Gue meninju udara bertubi-tubi. Menahan buat nggak berteriak karena gue gereget dan kesel banget!

Maksud gue, gue nolak karena gue nggak jago banget buat berpose dan kalau dia beneran minta gue buat jadi model sementara, ya bilang dong kalau dia mau ngajarin atau seenggaknya ngarahin gue! I know, guys, gue yang salah, gue sendiri yang nolak di awal Kak Elli meminta dan nggak berhak buat marah ke dia kayak gini, atau bete ke Sesil karena dia ternyata beberapa langkah di depan gue soal Kak Elli. And I know this is not a rivalty. Ini bukan persaingan. Tapi gue nggak bisa aja kalau kayak gini.

Masa iya gue harus turun lagi dan bilang gue mau?

Tapi itu konyol banget!

Lalu gue melihat sesuatu yang mungkin bisa gue jadiin alat buat menarik perhatiannya. Oke, ini bener-bener gue yang kepalang panik sama situasi yang gue bikin sendiri.

Setelah siap buat berangkat, gue meraih modul yang isinya soal-soal seleksi masuk PTN. Kalian tahu tujuan gue apa, saat gue memilih benda itu. Yes, gue pengin Kak Elli tetap memerlukan bantuan gue kalau pun itu bukan tentang pemotretan. And I really want to know, dia tanya-tanya tentang seleksi masuk PTN itu buat apa? Dan untuk ini, Sesil mutlak udah nggak punya kesempatan.

Uh! Kenapa gue jadi gini banget?

Gue menuruni anak tangga sambil bawa modul yang sudah dibungkus totebag di depan dada. Sengaja judul modulnya gue biarkan terlihat. Kak Elli yang menyadari kehadiran gue langsung melihat buku yang yang gue bawa. Dia berdiri dari kursi dan berkata, "Ayo, saya antar." Gue bisa melihat matanya memperhatikan buku di pelukan gue. Here we go, ikannya terpancing umpan.

"Pamrih nggak, nih?" Nggak usah diungkit lagi wahai Karin yang bego! Rutuk gue.

Kak Elli terkekeh singkat. "Saya nggak pernah pamrih, Karleen." Wajahnya yang memelas itu. Matanya. Alisnya. Rambutnya. Sial.

"Ya udah, ayo."

"Oke. Saya ambil jaket dulu."

Gue mengangguk sambil berjalan keluar. Semua helm disimpan di rak pada foyer dekat pintu. Jadi sambil memakai helm, gue melipat bibir ke dalam buat nahan senyum. I hate what I'm doing, but I can't help my self for this man.

Kak Elli keluar. Gue menunggu dia memakai sepatu. Lalu gue perlu gerakan terakhir. Pas mau naik ke motor, gue berkata, "Gue nitip modul ini dong di depan." Well, well, well. I'm genius.

Why didn't I do this kind of move when I was with Yudas?

"Boleh," kata Kak Elli sambil menerima modul gue. Dia sempat memperhatikan modul itu sekali lagi sebelum dicantelin. "Kamu rajin juga mau ke gereja bawa modul."

"Always."

"Nanti saya tanya-tanya, ah."

Gue nggak langsung jawab. "Nanya apa?" tanya gue sambil nahan senyum.

***

Hope you like it.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top