2. Madness
Tak tertahankan, seperti sel-sel dalam tubuhku menggelinjang, meronta bersamaan. Pertama kalinya aku merasakan sakit seperti ini.
Belum lengkap hanya menikam, dia mencabut kasar pedangnya dan demi apa pun, tolong lekas cabut nyawaku sekarang juga! Menyakitkan. Aku jatuh tersungkur, menghantam lantai marmer mengkilat. Tubuhku mulai dingin, pandangan juga semakin kabur. Aroma lavender yang semula menyengat, perlahan memudar bersama langkah sepatu hitam yang menjauh.
Ini ... di mana?
Kupikir, aku sudah mati. Semuanya gelap, tapi aku tersentak seperti usai mimpi buruk. Napas dan detak jantung memburu. Aku menunduk untuk melihat perut yang harusnya sudah berlubang dan bergelimang darah, tapi ternyata tidak ada yang terluka. Apakah yang sebelumnya adalah mimpi? Namun, belum sempat menenangkan diri, lelaki itu datang lagi. Kali ini dia sedang berjalan mendekat ke arahku.
Wajah sialan itu, aku ingin memukulnya walau hanya sekali, tapi bukan itu yang menjadi kekhawatiran saat ini. Melainkan pedang mengkilat tajam yang tergenggam di tangan kanannya. Gagang berukiran naga emas itu juga terasa familer sekarang.
Pedang yang sama saat dia menusukku sebelumnya.
Aku harus kabur, kan? Akan tetapi, tanganku tidak bisa digerakkan, terikat sangat erat. Aku menengadah untuk menatapnya yang jauh lebih tinggi. Semakin dilihat, aku semakin yakin itu dia. Lelaki yang mencampakkan dan meninggalkan gosip sialan tentangku.
"Jangan menatapku seperti itu, Quinn. Ini bukan karena dendam. Percayalah!" Usai mengatakan itu, dia menikamku untuk kedua kalinya.
Kejadian yang sama, rasa yang sama. Sakit yang tidak dapat ditolerir. Aku diambang kematian untuk ketiga kalinya.
Belum cukup sampai di situ, aku terbangun lagi. Kali ini di atas tempat tidur. Entah di mana, bukan kamarku apalagi salah satu ruangan di kapal, sebab tidak ada ayunan yang membuat perut mual. Langit-langitnya pun lebih tinggi, tidak seperti kabin yang kutempati. Aku sontak meraba perut dan tidak ada bekas luka. Padahal rasa sakitnya masih dapat terbayangkan.
Apa aku bermimpi lagi?
Belum sempat menenangkan diri, pintu kamar terbuka, rombongan orang asing masuk dan mengelilingi ranjang tempat aku berbaring.
... dan dia datang lagi. Laki-laki sialan itu.
Dia mendekat dan menarikku untuk turun dari ranjang. Begitu kasar, seperti waktu mencampakkanku demi gadis lain. Mereka menyeret, mengarakku ke luar, melewati lorong mewah berlantai karpet merah beludru. Kaki tanpa alasku seperti memijak permen kapas, lembut. Namun, cengkeraman di tanganku menyakitkan.
"Lepas!" Aku memberontak, sesuatu yang memang seharusnya dilakukan jika berada di posisi ini. "Hei, bajingan. Lepaskan aku!"
Laki-laki sial itu benar-benar berhenti, tapi bukan untuk menuruti perkataanku melainkan memperlihatkan kemarahannya. Dia marah aku katai 'bajingan'? Ya, itu memang kasar, tapi dia pantas mendapatkannya, bahkan harus lebih buruk dari itu.
"Rupanya sifat asli Anda keluar. Sudah sadar bahwa tidak ada waktu lagi, ya?"
Gila. Apa itu maksudnya dia mau menusukku lagi? Tidak mungkin, kan?
Dia melemparku ke lantai hingga tersungkur jatuh di bawah kakinya. Lalu berkata, "Ikat dan seret dia ke aula terbuka. Semua orang harus melihatnya!"
Benar dia mau membunuhku.
"Tidak. Lepas! Apa yang kalian lakukan? Kenapa?" Aku tidak mau merasakan sakit itu lagi. Kenapa ini terjadi padaku? Ini di mana? Kenapa aku ada di tempat asing ini? Apa dia menculikku? Untuk apa?
Seperti yang sudah-sudah, aku diikat dan ditusuk lagi dengan begitu bengisnya. Namun, sebelum dia membisikkan hal serupa usai menancapkan pedang itu, aku yang lebih dulu berkata, "Akan kucari kau hingga ke neraka dan kubalas semua rasa sakit ini."
Dia ... memperlihatkan ekspresi yang tidak sesuai dengan ekspektasiku. Lelaki sialan itu memasang raut sendu dan tersenyum getir. "Tak apa, setidaknya kita akan bertemu lagi di sana."
Aku tidak sempat merespon perkataannya karena rasa sakit ketika pedang itu dicabut kasar dari tubuhku. Napasku tercekat, tapi aku tidak mau menutup mata, tidak mau hilang kesadaran dan terbangun lagi dengan kondisi yang sama. Merasakan sakit ini terus-menerus bisa membuatku gila.
"Kumohon ... hentikan ...!" lirihku sebelum semuanya menjadi gelap dan tubuhku dingin seperti tercelup ke danau es.
"Hei, bangunlah. Aku tahu kau sudah sadar!" Sebuah suara lembut terdengar tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Mataku terpejam dan berat sekali untuk dibuka. Aku juga enggan membuka mata, sebab jika bangun dan harus terbunuh lagi, lebih baik aku tidur untuk selamanya.
"Maaf, tadi aku salah waktu dan kau jadi harus mati berkali-kali. Ini ketidak-sengajaan. Sungguh."
"Apa kau bilang?" Aku melotot tiba-tiba dan lelaki aneh yang sedang menatapku itu langsung terjungkal, lantas terhenyak ke belakang karena terkejut. "Tidak sengaja?" Aku bangun, duduk, lalu meraih kerah kemejanya. Kalung kerincing yang dikenakannya langsung berbunyi. "Tidak sengaja kau bilang?" sungutku.
Oh, tunggu. Bukan itu masalah yang terpentingnya, kan? Tapi tetap saja aku kesal ketika ada yang berkata tidak sengaja membuatku terbunuh berkali-kali. Rasanya sangat sakit tahu.
"Tenangkan dirimu. Aku bisa jelaskan!"
Dia menepuk-nepuk lembut tanganku. Mau tidak mau, aku melepaskannya. Ini bukan sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang keluarga von Dille yang terhormat.
"Katakan dengan singkat, padat, dan jelas atau aku akan mencolok matamu!" Aku tidak bercanda soal itu sebab aku benar-benar akan melakukannya, mencongkel mata birunya lalu kuremukkan.
Dia berdeham dan memperbaiki kerah kemeja hitamnya, kemudian duduk di hadapanku. "Perkenalkan aku Foxy." Nama aneh macam apa itu, tapi entah mengapa terdengar tidak asing. "Aku adalah penjaga dimensi yang ditugaskan membawamu ke dunia lain untuk menyelamatkan seorang gadis."
Penjaga dimensi? Dunia lain? Dia sedang mengerjaiku?
"Aku tahu kau pasti menganggapnya aneh, tapi ini nyata. Aku serius. Lihatlah sekelilingmu, ini adalah perbatasan dimensi!" jawabnya seolah membaca pikiranku.
Setelah dia mengatakan itu, aku baru tersadar tempat kami sekarang. Sebuah ruangan serba putih yang tidak ada apa-apa. Kosong, hanya ada aku dan dia. "Perbatasan dimensi?" ulangku
"Benar. Ini adalah wilayah hampa tempat aku membuka berbagai pintu menuju setiap dimensi menuju dunia yang lain."
Aku mengabaikan ucapannya, sebab semakin didengarkan malah semakin tidak dapat dipercaya. Yang harus dilakukan sekarang adalah mencari pintu keluar, tapi tidak ada.Tempat ini benar-benar kosong. Tak ada celah, jendela, ventilasi, atau apa pun.
"Keluarkan aku dari sini! Kau mau menculikku untuk uang tebusan, kan?" Ya. Itu alasan yang jauh lebih bisa diterima akal sehat. "Itu mudah, kakekku pasti akan membayarnya. Jadi mari kita buat semua ini jadi lebih mudah!"
Seharusnya itu penawaran yang bagus, tapi dia seolah tidak peduli dan malah terkekeh. "Kau benar-benar tidak berubah, ya."
Aku menatapnya lekat ketika berdiri dan mengulurkan tangan padaku, mengisyaratkan untuk ikut berdiri. Tentu saja aku menepisnya dan bangkit dengan usahaku sendiri. "Sebenarnya apa maumu?" tanyaku lagi.
Dia tertawa, lalu berkata, "Kalau begitu kita to the point saja. Aku akan membukakan pintu yang sebenarnya dan kita segera selesaikan misi ini!"
Dia berbalik dan berjalan menuju ujung ruangan. Tepatnya di depan kehampaan. Tangannya terulur dan sebuah cahaya berwarna ungu muncul dari tangan itu lalu membesar hingga membentuk lingkaran seperti langit malam yang ditaburi bintang.
"Ayo!" ajakan yang tiba-tiba membuatku terkejut. Tangannya sudah kembali terulur ke arahku. "Kita pergi ke waktu yang benar. Percayalah!"
Kakek pernah berkata, jika ada yang memaksamu percaya padanya, maka orang itulah yang paling berkemungkinan berbohong.
"Apa kau mau terkurung di sini selamanya?" ulangnya.
Mana mungkin. Meskipun mencurigakan, tapi aku juga tidak mau terkurung di ruang hampa. Aku segera menyambut ulurannya dan dia menuntunku untuk masuk ke dalam lingkaran hitam itu. Semua menjadi terang, sangat menyilaukan, seperti yang kualami ketika di kapal.
"Syukurlah, kita sampai di waktu yang tepat."
Ucapannya menyadarkanku, lantas segera membuka mata. Sekarang aku berada di dalam sebuah kamar yang rasanya tidak asing. Seperti kamar tempat terakhir kali terbangun sebelum dibunuh. Sontak rasa sakit itu terbayang, tentu saja, baru beberapa menit lalu aku merasakannya.
"Kenapa ke sini? Kau mau membunuhku lagi?" kataku seraya bangkit dari pembaringan.
"Tenang saja, jika tidak mau mati, inilah saat yang tepat untuk memulai pencegahannya!" ujarnya santai. Ia mendekatiku, mencengkeram kedua bahuku untuk menatapnya. "Kita telah kembali ke enam bulan sebelum kau ditusuk. Selama itu, mari lakukan segala cara untuk mencegah kematianmu!"
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia katakan, semua terjadi secara tiba-tiba, cepat, dan tidak masuk akal. Ada banyak pertanyaan yang berbondong ingin keluar hingga aku tidak tahu mana yang lebih dulu harus ditanyakan.
"Duduklah dulu, kau mau teh hangat?" Dia menuntunku untuk duduk di tepi ranjang empuk berseprai putih dengan renda-renda menjuntai. Aku mengangguk pelan, dia benar aku harus tenang agar dapat mencerna semua kejadian aneh ini.
"Kalau begitu panggil pelayan yang ada di luar, mereka akan membuatkannya. Jangan lupa untukku juga!" ujarnya kemudian. Ternyata bukan hanya menenangkan diri, aku juga harus bersabar untuk tidak mencekiknya saat ini juga. "Bukannya aku mau menyuruh-nyuruhmu, tapi tidak mungkin aku yang keluar. Orang-orang tidak mengenalku," lanjutnya seolah paham tatapan tak sukaku.
"Kau pikir mereka mengenalku? Aku ini juga orang asing!"
"Aku belum memberitahumu, ya? Kemari!" Dia menarikku ke depan cermin di meja rias. "Lihat!"
Alih-alih melihat wajah sendiri, cermin itu malah menampilkan sosok gadis asing berambut cokelat-gelap-sepinggang. "Siapa?" lirihku. Aku mendekat untuk lebih memastikan, menyentuh wajah yang tirus dan lembut seraya mengamati tahilalat kecil di ujung mata kirinya, mempercantik tatapan dari mata hijau yang cemerlang.
Mataku turun dan keningku semakin mengernyit kala melihat pakaian yang tengah kukenakan. Alih-alih baju kaus dan celana jeans, aku malah menggunakan gaun tipis berenda lembut warna putih gading.
"Saat ini jiwamu berada di dalam tubuh gadis bernama Quinn Eleonara Ludwig. Anak tunggal Marquess Ludwig."
Jadi maksudnya jiwaku masuk ke dalam tubuh orang lain. Ini seperti cerita fiksi yang pernah kudengar dari Agatha. Bahkan beberapa saat yang lalu aku memainkan sebuah game yang menggunakan cerita berbasis perpindahan jiwa. Lengkap sudah kegilaan ini.
"Bagaimana dengan keluargaku yang lain?" Terakhir kali dapat mengingat, kapal yang kami tumpangi mengalami gunjangan hebat, lalu Agatha menghampiriku, tapi kami malah terguling dan terseret cahaya putih yang berasal entah dari mana.
"Satu hal yang bisa kukatakan," lelaki itu menarik napas dalam dan menatap lurus ke mataku. "Syarat utama perpindahan jiwa adalah ketika dua orang yang sama-sama sedang diambang kematian memohon untuk tetap hidup." Dia diam seolah paham jika aku dapat menangkap maksudnya.
"Bukan ... hanya aku, kan?"
Dia menggeleng dan tidak mengatakan apa pun. Kalau aku berada di ambang kematian, mungkinkah malam itu kapal yang kami tumpangi mengalami kecelakaan? Kami semua ... mati?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top