1. This Holiday is Killing Me
Jika ada yang bisa kusyukuri saat ini, itu adalah terlahir sebagai bagian dari keluarga von Dille yang kaya raya. Ketika aku benar-benar butuh hiburan, Kakek mengajak kami sekeluarga besar liburan ke Miami menggunakan kapal pesiar super mewah. Yah, walau semua ini pasti hanya kebetulan.
Harusnya liburan kali ini akan menyenangkan dan menjadi pelepas penat, tapi suasana hati yang terlalu buruk membuatku berakhir di tempat Gym. Sudah jauh-jauh dari Jerman naik kapal pesiar, ujung-ujungnya ke tempat ini juga.
Napasku memburu, bersamaan dengan bulir keringat yang membanjiri wajah dan tubuh. Aku memang sedang melakukan pelampiasan untuk menenangkan pikiran dan hati yang sedang panas karena ulah seseorang. Mengingat namanya saja membuat darahku mendidih. Maka ketika imajinasiku mengubah samsak tinju menyerupai wajahnya, pukulan terkuatku melayang dengan sempurna.
Tanganku meraih ponsel dalam loker untuk memeriksa jam, masih ada waktu sebelum makan malam. Notifikasi mengganggu dari grub kampus tidak berhenti bergetar, beberapa pesan terbaca tanpa niat untuk aku lihat.
Sebenarnya semua masalah ini terjadi karena satu orang. Dia menghancurkan segalanya termasuk nama baikku. Untung saja aku dapat bertahan sampai lulus dan pergi dari kampus yang menyimpan ribuan kenangan kelam itu. Akan tetapi, gosip masih tersebar, seolah waktu enam bulan tidak cukup untuk menguburnya.
Aku berhenti sejenak saat sampai di deck, pemandangan laut luas mengunci perhatianku. Langit cerah dan angin lembut yang menerbangkan anak rambut memberikan sensasi menenangkan. Terima kasih untuk Kakek yang mengadakan liburan ini.
Suara gemerincing samar terdengar, membuatku tersentak. Menoleh ke sekeliling tapi tidak ada siapa pun. Dari mana suara itu berasal?
Menghela napas dalam dan mengembuskannya dengan mulut, aku meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke kabin Agatha, adikku-si anak kelima. Tanpa perlu bertanya, aku sudah bisa menebak kalau dia pasti sedang menyendiri, mengurung diri di tempat yang dijadikannya sebagai teritori.
Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya sebab dia lebih tertarik pada kakak laki-laki kami, Ciel. Namun, kali ini ada masalah yang harus kuperjelas dengannya.
"Hai, adikku yang manis!" sapaku setelah membuka pintu seenaknya tanpa mengetuk. "Ternyata benar kau ada di sini!" Aku tersenyum dan berusaha seramah mungkin tapi dia hanya menatap seolah jengkel.
Aku menghambur ke tempat tidur di belakangnya. Mengamati gadis yang sibuk bermain game. "Padahal kita sedang liburan di atas kapal yang punya banyak tempat untuk dijelajahi dan kau lebih memilih bermain game di kamar?"
Dia mengabaikanku. Kebiasan. Yah, walau saat ini keadaan kami tidak jauh berbeda. Aku juga sedang tidak berminat menjelajah dan malah berakhir di tempat Gym. Sesuatu yang bisa dan biasa kulakukan meski tidak di atas kapal mewah.
"Kau tahu kenapa aku ke sini, kan?"
"Tenang saja, aku tak akan mengatakannya pada siapa pun!" Dia bersuara walau terkesan seadanya. Tatapannya masih terpaku ke layar besar yang memperlihatkan adegan tembak-tembakan.
Sebenarnya, aku mendatanginya karena sebelum kami berangkat-tepatnya saat masih di rumah, dia melihat isi chat grub di ponselku secara tidak sengaja karena bodohnya aku meninggalkan ponsel yang masih menyala saat ke kamar kecil.
Ketika kembali, aku mendapati Agatha sedang menatap layar ponselku. Dia melempar pandangan yang tidak dapat diartikan. Entah kasihan atau mengejek, yang jelas kami sama-sama terdiam beberapa saat, lalu dia memberikan ponsel itu seraya berkata, 'Kakek dan yang lain sudah menunggu di bawah'. Hanya itu. Aku juga tidak tahu harus merespon seperti apa. Mau marah juga rasanya percuma. Aku tidak mau membuat keributan yang nantinya akan menarik perhatian Kakek.
"Kalau begitu, kau punya game yang cocok untuk situasiku saat ini?"
Hening sejenak, kupikir aku akan diabaikan lagi, tapi dia menghentikan permainannya dan meraih PSP putih yang tergeletak di samping, mengutak-atiknya sebentar, lalu memberikannya padaku.
"Permainan otome!" ucapnya.
"Otome?" ulangku, tidak mengerti. Di layar PSP itu ada gambar kartun-sekumpulan pria tampan dengan berbagai warna rambut.
"Sejenis dating game. Kau akan memikat lelaki yang ada di sana. Tinggal pilih dan ikuti ceritanya. Nanti akan ada good dan bad ending." Sepertinya dia telah berusaha keras menjelaskannya dengan sesederhana mungkin, terlihat jelas dari helaan napas dan tatapan malas itu.
"Menarik." Setidaknya jika di game, percintaanku tak akan sebusuk di dunia nyata, kan?
"Kau tak mau bertanya cerita lengkapnya?" tanyaku, memecah keheningan.
"Tidak."
Sungguh tidak manis. Padahal aku ingin menjelaskan banyak hal, tentang kenapa aku dicap sebagai wanita murahan yang merebut pacar orang lain, sampai dicap sebagai pick me girl untuk alasan yang tidak jelas.Gosip memang akan terus berkembang semakin aneh jika kau sudah terjerat sekali sebagai target. "Kalau begitu kau harus bersum-"
"Tak akan. Memangnya pada siapa aku akan bercerita?" potongnya.
"Pada Ciel?" Aku tahu dia lebih terbuka pada Ciel. Bisa saja dia menggosipkanku. Membayangkannya saja membuatku langsung bergidik, Ciel pasti langsung menghampiriku dan mengatakan hal menyebalkan seperti, 'Bodoh sekali. Bisa-bisanya kau cuma diam!', atau 'Jangan bikin malu, deh!'
"Aku tidak seidiot itu untuk membahas orang lain ketika bersamanya."
"Pokoknya awas saja kalau kau mengatakannya. Kubakar playstasion di kamarmu!"
"Terserah kalau tidak percaya!"
Aku menghela napas dan kembali fokus pada permainan di tanganku, sebentar lagi tamat dan ... BAD ENDING? Sontak kulempar PSP itu ke kasur dan segera berdiri. Bahkan di game pun aku semengenaskan itu.
"Sudahlah. Aku hanya ingin memastikan itu." Aku merenggangkan tubuh, bersiap pergi, tapi tatapanku teralihkan pada jendela bulat di kabin itu. Dari sana terlihat langit yang semula cerah, berubah mendung. Akan ada badai malam ini.
Agatha menghentikan permainannya dan berkata, "Kenapa diam saja?"
"Maksudmu?"
"Kalau kau tidak melakukannya, kenapa diam saja?" Ia kembali melanjutkan permainannya. "Dulu saat Avery mengatakan hal jahat padamu, kau juga diam dan pasrah."
"Aku sudah mencoba menjelaskan tapi mereka tidak percaya. Jika bersikeras, nanti terdengar hingga ke telinga Kakek."
"Apa salahnya?"
"Aku tidak mau cacat di mata Kakek." Usai mengatakan itu, aku pergi, meninggalkan ruangan. Agatha juga tidak mengatakan apa pun atau mencegahku.
Anak kecil itu tidak akan paham-ah, bukan hanya dia, tapi semua orang tidak akan mengerti tentangku. Hidup sebagai Lunara von Dille, anak ketiga dari enam bersaudara bukan hal yang spesial. Menjadi terlupakan dan harus mengalah adalah kewajiban. Apalagi sejak Mama meninggal dunia. Aku tidak boleh menyusahkan Papa dengan berlaku egois dan membuat saudaraku yang lain tidak nyaman.
Selain itu, pandangan Kakek adalah segalanya bagiku. Sebab beliau satu-satunya orang yang memberikan perhatian lebih. Maksudku bukan menjadi cucu yang mendapat perlakuan spesial, tapi karena ketika semua orang rentan melupakan keberadaanku, Kakek selalu melihat ke arahku dan mengajak bicara, bahkan dulu beliau yang menawari untuk belajar ilmu beladiri karena aku sering dijahili di sekolah. Hanya perhatian seperti itu saja sudah membuatku senang. Makanya aku tidak mau membuat Kakek kecewa.
Aku menghela napas kesekian kalinya hari ini. Sebentar lagi makan malam dan aku harus kembali ke kamar untuk bersiap dan mengenakan pakaian yang lebih formal, tapi entah mengapa ayunan kapal terasa lebih kencang, tidak seperti sebelumnya. Tanganku menggapai untuk berpegangan ketika guncangannya membuat tubuh oleng hingga susah untuk berdiri. "Ada apa ini?"
Suara gemerincing kembali terdengar. Seperti berasal tepat di belakang tapi hanya aku sendiri di sini. Di lantai juga tidak ada benda yang sekiranya memiliki bunyi seperti itu. Namun, apa peduliku pada suara itu, keadaan saat ini lebih mengkhawatirkan.
Semuanya terasa semakin parah. Suara benda berjatuhan dan jeritan orang-orang memperburuk keadaan. Kali ini rasanya kapal hendak terbalik. Benar-benar mengerikan. Untung saja aku menggunakan celana dan sepatu converse hingga memudahkan untuk bergerak dan menahan tubuh agar tidak terguling.
Lama-kelamaan keadaan seperti ini membuat kepalaku pusing. Ayunannya tidak melambat, malah semakin kuat. Gemuruh terdengar dari luar, badai benar-benar datang. Apa itu yang menyebabkan kapal terguncang? Apa kami akan baik-baik saja?
Ketika bersusah payah menahan tubuh agar tidak terjatuh, sebuah cahaya putih menyilaukan datang dari ujung koridor. Kupikir itu seseorang yang membawa senter, tapi cahayanya mendekat dan membuat mataku perih. Guncangan menghentak terjadi dan peganganku terlepas.
"Luna!" Itu suara Agatha tapi aku tidak punya kesempatan menoleh untuk melihat atau menyahutnya.Tubuhku terguling dan menghantam dinding. Bagian kanan bahuku terbentur keras.
"Luna, kau baik-baik saja?"
Agatha sudah duduk di sampingku dengan wajah pucat. Cahaya putih membuat kami sama-sama memejamkan mata dan akhirnya saling merangkul kala tubuh kembali terseret akibat ayunan kuat dari kapal. Belum selesai di sana aku merasa tubuhku tersedot sesuatu. Gemuruh dan teriakan orang-orang terdengar semakin samar lalu hening.
"Kakek!" teriakku, sementara masih terpejam karena cahaya menyilaukan yang menyakitkan mata.
Apa aku akan mati?
Tidak. Jangan dulu, aku ... belum mau mati. "Papa!"
Cahaya putih bersinar begitu terang, menyilaukan. Tubuhku terasa limbung, tidak menapak, rangkulan Agatha juga tidak lagi terasa. Mungkinkah ini jalan menuju akhirat? Aku memejamkan mata akibat pusing dari yang menyerang. Suara gemuruh berubah hening, lalu terdengar keributan dan sorakan.
Apakah aku belum mati?
Semoga saja memang belum, sebab masih ada banyak hal yang ingin kulakukan. Padahal nama baikku belum dipulihkan, akan sangat memalukan ketika upacara pemakaman ada yang datang sambil berbisik bahwa ini adalah karma bagi wanita murahan yang berlagak.
Ketika mencoba membuka mata, rasa sakit menghujam perutku. Seperti ditusuk sesuatu. Begitu dalam. Napas hangat seseorang menampar tengkukku. Dia memeluk seraya mendorongkan sesuatu. Awalnya samar, tapi sekarang semua terlihat. Seorang lelaki yang wajahnya sangat familier berdiri tepat di depanku, memeluk, dan menusukku dengan pedang. Apa lagi ini?
"Tunggulah aku di neraka!" bisiknya, lalu menusukkan pedang lebih dalam. Aku yakin pasti tembus hingga ke punggungku.
Sial.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top