7
Di sinilah Nina sekarang, bersandar di jok mobil Dolores sembari membuat napasnya teratur. Di genggamannya terdapat sebuah ampula dengan stok butir pil yang penuh.
Dolores memandang gadis itu dengan ekspresi yang campur aduk, sedikit kecewa atau sedih karena Nina dan obat yang ia genggam. Gadis punk itu tadi menemani Nina yang segera kelabakan keluar dari mobil padahal mobil itu masih belum berhenti sempurna. Kemudian menggedor pintu apotek yang tertempel tulisan "Tutup" di balik kacanya.
"Hei, Pak Tua! Buka!"
"Tunggu dulu, Nina, tenangkan dirimu!" Dolores meraih bahu Nina yang tak henti-hentinya menggedor pintu kaca setebal satu sentimeter itu.
"Hoi! Aku punya uang untuk membeli lagi obat itu, Tua Bangka! Buka pintunya sekarang!"
Kemudian, seorang pria tua di umur enam puluhan datang tergopoh menuju pintu terali besi sambil sibuk memilah kunci dari gantungan. Dolores masih menenangkan Nina yang terus menggedor pintu kaca hingga ia berhenti karena kunci pintu kaca berhasil dibuka.
"Kau tidak lihat bahwa tokonya tutup? Atau kau tidak bisa membaca, dasar gadis sialan!"
"Aku tidak peduli! Aku hanya ingin pil itu lagi!" ujar Nina sambil memelesat masuk ke balik konter kasir.
"Hei! Biar aku ambilkan, kau mengacaukan semuanya!" Pak Tua yang sepertinya pemilik apotek itu kini menghampiri Nina yang mengobrak-abrik isi rak. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk datang ke sini dalam keadaan tidak sakau?" Pak Tua itu masih mengomel.
"Bukankah aku juga sudah bilang bahwa aku tidak peduli?" Nina bertanya balik sambil memeluk tubuhnya yang menggigil karena jarum-jarum yang tanpa henti menghujaninya.
"Ini." Pak Tua itu meletakkan--lebih seperti memukul--ampula plastik di atas etalase kaca.
"Dan, ini untukmu!" Nina juga memukul etalase kaca dengan beberapa lembar uang kertas sebelum meraih ampula itu dan memelesat keluar.
Dolores memandangi Nina yang sudah berada di luar sambil meraup sebutir pil sebelum masuk ke dalam mobil.
"Kau masih ada keperluan untuk 'mengacak-acak' apotekku atau tidak? Karena ya sesungguhnya hari ini, apotek tua milik 'Pak Tua Bangka' ini tutup." Pak Tua itu menggeram pada Dolores.
"Tidak, maaf, terimakasih," ujar Dolores.
Pak Tua itu kembali menutup seluruh pintu apotek tepat saat Dolores sudah ada di dalam mobil, dan berakhir memandangi Nina. Cewek dengan poni disemit itu lalu menatap jauh ke depan, ke luar dari kaca akrilik melengkung milik mobilnya, menembus lapisan filmnya yang mengelupas di pinggir-pinggir dan pojokannya--bagian tengahnya menggelembung terisi udara.
Melihat Nina hari ini seperti melihat cerminan dirinya dulu.
"Memangnya kau yang dulu kenapa?"
Dolores berpaling dari kaca mobil, menatap Nina heran yang dibaca Nina sebagai "apakah kau punya kemampuan membaca pikiran atau apa?". Nina terkekeh geli dan mengungkap suatu kebenaran yang membuat Dolores malu.
"Kau mengungkapkannya keras-keras. Tidak terlalu keras sih, setidaknya Pak Tua yang sedang gelisah itu tidak mendengarnya." Nina menunjuk apotek, Dolores mengikuti arahan telunjuk Nina.
Pak Tua itu, di balik pintu kaca dan pintu geser berterali besi, sedang gelisah mondar-mandir. Tangannya yang memegang ponsel terangkat ke telinga, sesekali menurunkannya hanya untuk menelepon lagi.
Tanpa mendengar jawaban.
Dolores kembali ke depan mobil.
"Kau bertanya aku yang dulu seperti apa?"
Nina bergeming, Dolores terus melanjutkan.
"Dulu aku bukan anak asli dari Dawson Pass, aku lahir di kota tetangga--yang setidaknya tidak sekuno kota ini. Nyonya Eva DeCusso, ibu angkatku adalah salah satu dari anggota relawan yang kerap mengunjungi panti asuhan.
"Di sanalah kami bertemu. Seorang ibu rumah tangga anggota relawan bertemu dengan seorang remaja sakau yang telah mengonsumsi obat-obata sejak 2 tahun."
"Tunggu, kapan itu terjadi?" potong Nina.
"Dua tahun lalu, saat itu ya ... Dua tahun berjalan menuju tiga tahun aku menjadi pecandu. Nyonya Eva berbeda dengan para suster di panti. Dia mengusulkan sebuah rehabilitasi yang manusiawi meski itu sama-sama menyakitkan.
"Kau tahu, begitulah obat-obatan, mereka menyiksa tubuh kita."
"Tapi mereka tidak membunuh kita," tambah Nina.
"Belum, suatu saat pasti."
Yah, tak masalah, mati adalah cita-citaku.
"Lanjutkan," ujar Nina.
"Yah, dia membentuk sebuah kelompok untuk melakukan hal-hal positif. Seperti menemukan bakat, membantu orang, berkarya dan lain sebagainya. Ketika aku sakau maka dia akan memelukku erat-erat dan bernyanyi sampai ... badanku lemas dan capek sendiri.
"Namun, daripada apa yang suster lakukan padaku sebelumnya, kurasa itu lebih manusiawi. Biasanya Suster akan membalut tubuhku dengan kain, mengikatnya, lalu menyiram tubuhku dengan pancuran. Di musim panas, kadang mereka menggunakan danau untuk mencelupkan wajahku lalu diangkat dan dicelupkan lagi.
"Saat itu aku merasa, hangat. Akhirnya seorang wanita memelukku, menenangkanku tanpa menyakitiku seperti obat-obat sialan itu. Kau sekarang pasti geli ya, cewek rocker sepertiku ini, malah punya cerita seperti ini." Dolores dan Nina terkekeh pelan.
"Setelah aku benar-benar lepas dari obat-obatan itu, yah kau bisa tebak apa yang terjadi selanjutnya."
"Kau diadopsi." Jawaban Nina membuat Dolores mengangguk.
Hening kembali menggantung di antara mereka selama beberapa detik.
"Kau tahu, kupikir kita bisa bersahabat." Dolores kembali membuka percakapan.
"Apa alasannya kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" tanya Nina.
"Karena aku akan melakukan misi besar."
Nina mengernyit dan tertawa pelan. "Apa?"
"Membantumu lepas dari obat-obatan sialan itu."
Nina terbahak-bahak. "Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Kau harus mau," ujar Dolores dengan menekankan setiap katanya, "karena obat-obatan itu menyiksamu, 'kan?"
"Ya." Tapi karena itu mauku. "Kau tahu, Dolores ...." Nina menelengkan kepalanya.
Dolores hanya membalas dengan gumaman.
"Kubilang tadi, obat-obatan itu tidak membunuhmu, tapi sahabat mungkin berpotensi membunuhmu."
"Kubilang tadi, bahwa aku tidak menerima penolakan," jawab Dolores, singkat.
Sebuah bola salju tiba-tiba saja memukul jendela pintu di sebelah Dolores. Gadis itu menurunkan kaca dan menatap Pak Tua pemilik apotek dengan memicingkan mata, Pak Tua itu berteriak menyuruh mereka untuk segera pergi dari pekarangan.
Dolores menaikkan kacanya sedikit, mengeluarkan tangannya hanya untuk memberikan jari tengah, lalu menaikkannya hingga udara dingin tak masuk ke mobil.
"Kita mau ke mana? Ke sekolah? Atau berputar-putar menghabiskan bahan bakar sebelum makan siang? Atau pulang?"
"Pilihan kedua," jawab Nina yang diamini oleh Dolores.
Gadis itu menyalakan starter, mengatur perseneling dan membawa mobil itu pergi dari apotek Pak Tua Judes--Dolores akan menambahkan itu di Kamus Panggilan untuk Orang-Orang Dawson Pass.
"Omong-omong, harusnya kita sekelas ya? Karena hanya ada satu sekolah di Dawson Pass."
Dolores mengangguk.
"Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu?" Nina bertanya heran.
Dolores terkekeh, "Kau hanya belum menyadarinya, Sayang. Belum."
Mobil itu terus berderum di jalanan penuh salju.
*
Apa aku sudah pernah bilang soal rencana berapa banyak bab di buku ini? Di kedua buku ini lebih tepatnya.
Hm, yang pasti tidak akan boros kuota sih, dan setelah bab 7 ini, harusnya akan ada "kejutan" lagi yang mengantar Nina menelisik jauh lebih dalam.
Ke mana?
Masih ingat siapa mayatnya di sini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top