6
Alarm Nina yang berbunyi kencang dari ponselnya mau tak mau membuat kepala gadis itu pusing.
Dia baru tidur sekitar tiga jam, pasca sang ibu menjemputnya tanpa satupun dialog interaksi di antara mereka. Nina tak tahu harus bersyukur atau kesal, ini seolah ibunya tak memedulikannya--tapi memang sudah sejak lama--atau ia harus bersyukur bahwa ia tak harus mengarang alasan lagi.
Kakinya melangkah menuju kamar mandi, lalu menyalakan pancuran untuk membilas tubuhnya yang dingin setelah berguling-guling di atas salju tebal. Nina berusaha menjauhkan perban dan kain kasa dari luka di kepalanya, supaya tidak terasa sakit karena itu luka baru.
Rencana bunuh dirinya batal, dengan kejadian mengerikan yang terpaksa menyeretnya semakin jauh dari kematian. Ia sudah lelah dengan kehidupan, siapapun dia, di mata Nina, kehidupan hanyalah seorang lelaki tampan flamboyan dengan mawar di mulutnya yang menggoda wanita dan mempermainkannya.
Mempermainkan hidupnya.
Segera setelah memakai setelan baru hari ini, ia keluar kamar dan baru menyadari bahwa ibunya berada di sana, berdiri di belakang meja konter dengan kedua tangan tertangkup di atas permukaannya yang kokoh dan licin.
"Sarapan, sayang." Nina memandang ibunya dengan heran, sorot matanya turun melihat dua buah piring dengan dua tangkup roti bakar selai di masing-masing piring.
Gadis itu melangkah ke depan piring, mengambil setangkup roti bakar tanpa ragu. Ibunya tersenyum dan ikut sarapan bersama Nina, dan entah kenapa gadis itu merasakan hangat yang dibawa dari senyum ibunya ke dalam apartemen--meski tidak ada interaksi di antara mereka.
Setelah selesai dengan sarapan, seketika kehangatan itu runtuh dengan satu pertanyaan.
"Jadi, Putri kecilku, kenapa kau keluar malam-malam?"
Nina merasa, bahwa perutnya memanas dan bergolak di dalam sana.
"Tak perlu menjawab dengan kebohongan, sayang."
Nina bungkam.
"Ambil tasmu, kau harus sekolah, dan kau akan kuantar dan kujemput, tidak ada protes! Dan aku yang akan memegang kunci apartemen."
"Yang benar saja, Ma?!" Nina berteriak.
"Tidak ada protes, Nina." Ibunya menekankan setiap kata yang ia keluarkan. "Ibu melakukannya selama ini demi melindungimu, melindungimu dari keparat sialan itu! Memasukkannya ke penjara, pindah apartemen dan bekerja hanya demi dirimu! Dan kau kabur." Ibunya terkekeh.
"Ma ...."
"Kau kabur dari malaikat pelindungmu, Nina!" Ibunya memukul meja konter hingga Nina berjengit. "Bagaimana jika ada laki-laki yang memperlakukanmu seperti dulu, Nina." Ia melangkah keluar konter dan mendekati Nina perlahan.
"Ma ... cukup--"
"Bagaimana!" Ibunya jatuh terduduk dengan kedua tangan bertumpu--meremas--bahu Nina.
Nina meringis kesakitan.
"Mama lalai, ya, Mama lalai. Kali ini Mama akan menjagamu dengan baik, kau harus pergi ke sekolah, agar teman-temanmu menghiburmu--"
Tapi aku tidak punya teman.
"lalu, ya, Mama akan membawamu kembali pulang dan kau akan aman di sini selama Mama bekerja, oke?" Nina memandang sorot mata ibunya yang memelas meminta persetujuan.
Gadis itu tidak bisa menolak.
"Anak pintar, sekarang ambil tasmu, kutunggu di luar."
Semua berjalan dengan cepat, Nina menyambar tasnya, keluar apartemen dan menaiki mobil menuju ke sekolah bersama ibunya. Namun, ia tidak ingin pergi ke sana sekarang, sejujurnya. Suasana hatinya sedang karut marut, rencananya yang gagal, sesosok mayat, dan statusnya.
"Waw, sekolahmu ramai," ujar ibunya.
Nina memandang ke arah halaman sekolahnya. Ya, banyak orang, dan kamera ....
"Sialan!"
"Hei, mulutmu."
Nina menutup rapat mulutnya, itu para wartawan. Gadis itu tak mau terlalu percaya diri, tapi setidaknya, dia tahu apa yang terjadi. Apakah berita tentang dia yang menemukan mayat sudah menyebar?
Menarik tudung jaketnya ke depan, ia membuka pintu saat mobil sudah berhenti sempurna. Nina masih di saja, memastikan mobil ibunya pergi, sambil berpikir ia harus memasuki sekolah atau--
"Permisi, bolehkah kami tanya sesu--"
"Tidak!" Nina mengambil langkah seribu dan teriakan seorang reporter wanita menanyakan keberadaan Nina bergaung samar di telinganya yang tertutup tudung tebal.
Gadis itu membiarkan kakinya berlari menginjak lapisan salju, membawa tubuhnya entah ke mana, hingga ia terhenti setelah hampir terpeleset. Pandangannya mendongak dan ia edarkan ke sekelilingnya.
Jembatan, dan plang nama Dawson Pass yang berkarat. Kaki bodoh miliknya membawanya ke tujuan awal yang gagal. Nina duduk di atas salju dan mengatur napasnya sampai normal, sembari ia membuka forum iso-avant.net dan masuk ke akun 9-FreeMe hanya untuk mengecek berita tentang mayat semalam.
Sekaligus berita tentangnya.
6scary8me: Eva DeCusso, 40 tahun, lebam dan luka tipis di sekujur tubuh. Sayatan dalam dari tengah payudara hingga ke bawah pusar. Bibir disayat hingga tidak beraturan. Di temukan ketika tubuh sudah agak tertimbun salju, tidak berbusana, mata terbuka menampilkan hanya bagian putihnya. Foto diambil di rumah sakit setempat. Eva meninggalkan suami dan anaknya yang masih berusia remaja. #DeCussoMoment
DawsonPassSucks: Foto dari TKP #uncensored #DeCussoMoment
LauVius: Seorang pengguna dari pihak kepolisian sudah membeberkan infonya. #Boom #Mayat #DeCusso #ItuNyata
EdgyBoy@theEdge: BERHENTI MENYEBARKAN FOTO IBUKU, BANGSAT! HENTIKAN TAGAR KONYOL KALIAN! #SitusIniKacau
Ibu?
Jempolnya menggulir halaman ke bawah lagi.
Deviarty: Siapa yang menemukan mayat Eva DeCusso?
Jantung Nina berhenti saat itu juga. Ia mengabaikan topik itu, menggulir lagi hanya untuk mengetahui bahwa berita seorang saksi menemukan dan foto-foto buramnya diambil secara tidak bertanggung jawab oleh para wartawan.
ThirstyofLust: Wanita ini sepertinya terlalu beruntung karena menemukan mayat di tengah malam #HalloweenDatangTerlambat #DeCussoMoment
NoelSkyyy: Mungkin dia punya akun di sini, jadi aku akan menaruh ini di saja #DiaSaksi #Siapa #Namanya #DeCussoMoment
"Kau pengguna situs itu juga?"
Nina menoleh dengan wajah terkejut dan napasnya semakin memburu.
"Kalem, sayang, aku 'nggak mau melakukan apapun padamu. Mau rokok?"
"Tidak," balas Nina.
Perempuan di sampingnya ikut duduk. Suaranya sedikit berat, itu membuat Nina takut karena ia kira dia laki-laki. Rambutnya yang dipotong sangat pendek dengan poni lempar yang disemir biru navi, serta tindik dan setidaknya buah dadanya meyakinkan Nina bahwa dia hanyalah gadis punk biasa yang sering nongkrong di bar dengan beberapa sloki minuman beralkohol.
"Bukankah kita seumuran? Kau harusnya ada di sekolah kan? Atau anak-anak sekolah mampir ke pemakaman?"
"Pemakaman?" Nina bertanya balik.
"Kau tahu, yang terjadi semalam .... Pemakaman ibuku pagi ini, bukan ibu kandung sih."
Ibuku?
"Nyonya Eva DeCusso, itu jika kau masih bingung." Ia melanjutkan ucapannya setelah mengembuskan asap tembakau. "Aku anaknya--anak angkatnya--yang yah ... sempat ada masalah pribadi di antara kami sebelum ia hilang. Lalu kejadiannya begitu cepat hingga aku meledak di forum itu, menyuruh mereka berhenti menyebarkan foto ibuku--menurutku itu tidak manusiawi."
Nina mengangguk. "Kau benar."
"Ya, 'kan? Memang dasarnya situs berisi anak-anak idiot, termasuk aku." Lalu dia tertawa-tawa, mau tak mau membuat Nina tersenyum.
Yah, Nina juga idiot.
"Dolores," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Nina." Tangan mereka saling menjabat.
"Oh ya, nama akunku TheBoy@TheEdge, ikuti saja jika tidak keberatan."
Oh, jadi dia.
Tiba-tiba saja, Nina menjatuhkan ponselnya dan membungkuk, rasa hujan jarum itu kembali menyerangnya.
Keparat.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
"Bisa kau antarkan aku ke suatu tempat?" Nina tak menjawab pertanyaan Doloreas, tapi gadis itu mengangguk, ternyata dia membawa mobil, ia mengambil ponsel Nina dan membopongnya ke dalam mobil.
"Ke mana?" tanya Dolores sembari mesin mobil dihidupkan.
"satu-satunya apotek di sini."
Mobil pun melaju.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top