20

Tepat pukul delapan pagi, mobil milik opsir Markus telah sampai di area parkir apartemen Nina dan Ibunya, tepat saat itu pula, salju turun.

"Semoga saja tidak akan ada badai," ujar Markus setelah masuk ke dalam apartemen.

"Aku akan ganti baju dahulu." Nina pergi ke kamarnya, meninggalkan Markus dengan Ibunya di ruang makan apartemen.

Gadis itu berbohong, setelah mengunci pintu, ia telah mengikat baju-baju dan seluruh sprei serta selimutnya, meninggalkan satu mantel dan satu syal yang sedang ia pakai.

Tulisan Gustav menuntunnya pada penyilidikan Nyonya Eva atas hilangnya suaminya, serta fakta bahwa Gustav, Eva dan Ibunya dulunya adalah teman. Sesuatu tentang skandal Ayahnya dan Nyonya Eva membuat hubungan mereka merenggang.

Namun, hari ketiga setelah suaminya menghilang, Nyonya Eva menghubungi Gustav-dengan isi yang sama pada aplikasi chat milik ibunya, tetapi jauh lebih lengkap.

Nyonya Eva telah berhasil menemukan siapa dalangnya, ia mengungkapkan sebuah alamat pada Gustav, saat itu Gustav tidak percaya karena Eva tidak memiliki bukti. Suatu hari, ia kembali ke alamat tersebut, dan sejak saat itu ia merasa tidak aman. Nyonya Eva mengatakan bahwa ia telah mempunyai bukti, tetapi setiap tindakannya terasa seperti diawasi hingga ia tidak dapat melapor pada Gustav, atau polisi, atau Ibunya.

Puncaknya adalah saat Nyonya Eva menghubungi Ibunya-mengaku bahwa ia telah diikuti oleh seseorang. Esok harinya, ia dinyatakan hilang, kemudian ditemukan kembali oleh Nina.

Gadis itu mengambil simpul-simpul kain, mengikat salah satu ujungnya pada salah satu kaki dipan, kemudian mengulurkan sisanya keluar dari jendela. Nina merasakan angin dingin yang berembus kencang, ia mengamini doa Markus-semoga tidak ada badai salju pagi ini.

Nina segera menuruni tali dari kain-kainnya. Alamat yang disebutkan Nyonya Eva sama dengan surat yang ia terima dari Deviarty.

Tempat itu ... apapun yang ada di sana, Nina harus mengumpulkan bukti yang ada, dan dia akan pergi ke tempat rehabilitasi dengan tenang. Nina tak tahu apa motivasinya, tapi rasa dikejar-kejar mimpi dari kedua mayat yang ia temui rasanya cukup-mungkin, ia harus meminjam omongan paranormal bahwa hantu-hantu itu meminta bantuannya.

Baik, itu konyol, lebih konyol lagi ketika ia hanya membawa semprotan cabai dan palu di dalam tas selempangnya. Gadis itu melompat saat titian kain habis, kemudian berlari dengan kaki pincangnya masuk ke kedalaman hutan.

Ia benar-benar tidak tahu kenapa ia melakukan ini, apakah karena statusnya yang rawan menjadi tersangka? Atau karena ... ketenangan dan kematian telah dirampas darinya?

Nina terus berlari, dan salju turun semakin kencang

*

Dalke st. 041
Belakang rumah, pintu menuju bawah tanah
Bukti-bukti ada di sana

Tidak sulit menemukannya. Daerah itu dipenuhi oleh beberapa rumah yang sepertinya bisa dihitung dengan jari-mungkin di bawah 100. Sementara itu, sisanya adalah vila-vila bangkrut yang tidak terpakai karena kalah bersaing dengan vila milik Eberhart.

Turunnya salju seperti ini sedikit mengingatkan Nina bahwa vila-vila itu bangkrut karena sering diterpa badai salju dahsyat. Atau mahalnya biaya pemeliharaan karena intensitas hujan salju yang berat sering merusak atap dan langit-langit rumah. Gadis itu agak sedikit heran kenapa masih ada saja orang yang mau tinggal di area ini, orang-orang tertutup yang menginginkan kedamaian dengan salju tebal, tetapi, bagi Nina itu agak menakutkan jika sudah turun hujan seperti pagi ini.

Rumah nomor 041 di Jalan Dalke, jika disebut spesifik seperti itu, Nina tahu bahwa rumah ini sempat disebut di dalam forum ... dan keraguan masih saja terbersit di benaknya.

Salju turun semakin lebat dan tebal, muka Nina sudah semakin pucat seiring turunnya suhu di Dawson Pass. Ia menggerakkan tangannya yang mulai bergemetar karena turunnya suhu, meraih gagang pintu besi yang miring, lalu menariknya.

Terbuka, pintu itu terbuka, memperlihatkan tangga yang mengarah ke bawah rumah. Namun, Nina segera melihat ke sekeliling, berasumsi bahwa lebatnya hujan salju yang turun membuat suara derit pintu itu tidak terdengar.

Aman. Gadis itu melangkah.

Tak lupa ia menutup pintu belakang saat sudah sampai di anak tangga terakhir, kini ia berhadapan dengan sebuah pintu besi dengan kaca kecil di bagian tengahnya-seperti pintu laboratorium. Nina menarik napas panjang, ia meraih kenop dan pintu terdorong terbuka.

Tidak dikunci, firasat Nina terasa aneh. Baru tiga langkah ia berjalan, ia mendengar suara berisik dari ruangan lain. Gadis itu segera meloncat kembali ke belakang, bersembunyi di balik pintu besi. Tangannya semakin gemetaran, suara angin dan salju di luar sana bertumpuk dengan suara gedoran jantung yang masuk di gendang telinganya, di saat-saat seperti ini, Nina berharap kalau sakaunya jangan sampai kumat.

Keributan itu rasanya sudah berhenti, ia menenangkan deru napas dan degup jantungnya sebelum kembali mendorong pintu, lalu menemukan seseorang yang membuatnya terkesiap dan degup jantungnya kembali terpacu.

Apa ... maksudnya?

"K-kau ...."

"Hei," balas lelaki jangkung di depannya dengan wajah datar.

Hanya berdua dengan laki-laki, di rubanah-bukan, tetapi di sarang terduga pembunuhan ... ini buruk, buruk sekali!

"Sial-" Nina mencoba berbalik, tetapi lengannya ditahan.

"Kau tidak akan ke mana-mana."

"Jangan menyentuhku!" Nina berbalik sambil menyentak lengannya, ia mundur bersandar di pintu besi.

Napas gadis itu memburu, matanya melihat Connor dengan rasa takut yang menguasai tubuh.

"Jaga suaramu, oke, aku tidak akan menyentuhmu." Connor meletakkan telunjuk kirinya di depan mulut dan mengarahkan kelima jari kanannya ke depan. "Kau boleh bergerak ke lemari yang ada di sana, ambil apapun yang bisa kau jadikan senjatan jika aku macam-macam."

Rasa takut Nina melunak kendati gadis itu sudah melihat lemari yang jauhnya sekitar sepuluh langkah.

"Aku, Deviarty," Connor menekankan kata-katanya, "dan, kita bertemu di sebuah insiden yang sama, 9-FreeMe."

"Bagaimana kau tahu-"

"Simpan itu untuk nanti. Yang paling penting, aku butuh bantuanmu supaya aku bisa lepas dari ... Ibuku, supaya aku bisa mengungkap segalanya! Tolong," pinta Connor dengan masih tetap menjaga volume suaranya.

"Aku tidak mengerti."

Connor mundur, tangannya menunjuk lemari.

"Silakan kau mengambil apapun yang ada di sana, gunakan itu jika aku melakukan hal aneh padamu."

Nina mengernyit, tapi ia memanfaatkan kesempatan, kakinya melangkah pelan menuju lemari dan membukanya. Ada pisau dan gunting berbagai ukuran, masing-masingnya lima buah, ada benang dan jarum jahit serta kawat yang ujungnya melingkar seperti kail. Menyimpan pertanyaannya, Nina mengambil gunting.

"Pilihan senjata yang bagus," puji Connor.

"Jelaskan!" Nina menunjuk Connor dengan ujung guntingnya.

"Oke, tapi tetap jaga suaramu dan jangan berteriak, bertanya jika aku sudah selesai." Nina mengangguk menyetujui persyaratan Connor.

"... Ibuku," ucap lelaki itu datar, "dia yang melakukannya."

Pupil mata Nina melebar mendengar perkataan Connor.

"Apa maksudmu?" tanyanya, lirih. "Ibumu yang melakukannya ...?" Gadis itu tidak jadi melanjutkan pertanyaannya, ia tidak berani menebak.

"Bukankah sudah jelas?" Suara Connor naik 1 oktaf, di tengah kebingungan dan rasa jarum yang perlahan kembali menguasainya, Nina merutuki dirinya sendiri karena sempat tersinggung dengan nada bicara Connor.

Baru saja mulut Nina terbuka, lelaki di depannya itu segera melanjutkan perkataannya.

"Deretan mayat di belakangmu, alat-alat yang kau lihat di lemari, dan rumah di daerah terpencil dekat hutan pinus yang nyaris tidak pernah disentuh siapapun ...."

Perkataan Connor rasanya membuat hujan jarum di sekujur tubuhnya memberondong semakin cepat, dan entah kenapa, suhu rubanah mulai turun, mendukung kulitnya yang berubah pucat dengan raut wajah yang menegang.

"Pembunuh Eva DeCusso... Aidan Jorg dan--"

"Dan semua orang di belakangmu."

Nina berbalik perlahan, sorot matanya menangkap dinding rubanah yang hanya diaci semen halus tanpa cat dengan permukaan mengilat diterpa lampu, di sana ada pintu yang dibuat dari susunan papan kayu. Tangannya yang gemetaran memegang kenop bundar pintu dan mendorongnya ....

Pintu itu tidak dikunci.

"Wow wow wow, tunggu." Connor segera mendekat ke arah Nina dan gadis itu dengan sigap mengacungkan gunting yang ia bawa ke depan wajahnya.

"Aku perlu memastikan, kau tidak berbohong, Connor."

Lelaki jangkung itu mendesah dan raut wajahnya tampak kesal, tetapi ia mundur dua langkah.

"Saklarnya tepat di samping pintu, nyalakan dengan tanganmu yang gemetaran itu."

Nina menurunkan gunting dan menatap Connor tajam, kendati rasa takut kini mulai menangkap tubuhnya. Pintu di depannya kini sepenuhnya terbuka, gelap dan pengap, serta dingin ... dengan aroma bunga?

Tangannya yang gemetaran meraba dinding, tubuhnya telah masuk setengah langkah.

Klak.

Barulah kali ini gemetaran di kaki Nina mulai terlihat jelas, matanya menangkap kumpulan balok es dan jerami, serta sisa-sisa daun padi, di keempat ujung ruangan terdapat sisa lilin aroma. Tentu saja, yang lebih penting dari itu adalah peti mati tepat di depan tubuhnya.

Peti kayu itu setengah badannya telah ditutup, menyisakan bagian wajah yang masih terbuka. Gadis itu berjalan dengan kaki pincangnya, mendekat ke salah satu peti yang dihuni oleh tubuh-tubuh di ruangan yang sangat dingin.

Nina paham, keberadaan balok es yang diawetkan dengan jerami dan daun padi kering, mayat-mayat di depannya ini berada dalam satu kulkas besar-dan terjaga.

"Bagaimana dia melakukannya?" Nina berhenti berjalan, sebagai gantinya, ia berbalik dan menatap Connor.

"Mumifikasi." Jawaban Connor membuat Nina mengernyit. "Mereka sekarang sedang memakai tuksedo yang mahal, dan tidur dalam peti, tidak mungkin itu semua dibeli dari hasil usaha membuka klinik kecantikan di toko sesepi Dawson Pass."

"Tunggu, jangan bilang-"

"Tepat! Ada luka di dalam tuksedo mereka, luka saat membersihkan organ dalam, lalu menjualnya. Kemudian untuk otaknya ... dia memakai cara tradisional."

Gadis itu memejamkan mata dan menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia menarik napas dan memberi isyarat untuk Connor melanjutkan perkataannya lewat sekali anggukan.

"Kau menemukan sebatang kawat ujungnya seperti kail tadi di dalam lemari? Cara kerjanya gampang, tinggal memasukkan ujung kailnya dari lubang hidung, kawat panjang itu akan terus masuk hingga ke dalam otak, lalu yang kau lakukan tinggal "mengaduknya". Maju-mundur hingga otaknya hancur dan muncul cairan dari hidung dan telinga."

Oh, astaga. Nina merasakan asam lambungnya mulai naik seiring rasa hujan jarum terus menusuk kulit-kulitnya.

"Ini adalah tempat para pria yang mati secara 'terhormat'. Jika ada yang ketahuan seperti jasad kedua yang kau temukan, maka dia termasuk 'tidak terhormat' ."

Terserah, Nina menyimpan seluruh pertanyaan dan pernyataan Connor sekarang. Ia benar-benar akan muntah, tetapi gadis itu menahannya dengan sering menarik nafas.

Langkahnya berlanjut, ia mendekat pada seorang mayat ... Nama .... Tangannya yang tadi menutupi mulutnya mulai terulur, saat hendak bersentuhan dengan kulit dingin jasad di depannya, sebuah tangan lain mencengkeram lengannya-tangan yang jauh lebih pucat dan membiru, serta kotor.

Saat gadis itu mendongak, dia menemukan Nyonya Eva dengan bibir hancur dan luka tusuk yang dalam di dadanya.

"To ... long!"

Nina berteriak saat itu juga.

"Bodoh!" Connor mengumpat.

Ia segera berlari, tanpa repot-repot menenangkan Nina, ia meraih kenop pintu dan membantingnya dengan keras. Meninggalkan Nina yang napasnya masih memburu dengan kedua tangan membekap mulutnya. Rasa hujan jarum itu perlahan menyakitkan, matanya bergerak-gerak gelisah, Nyonya Eva telah menghilang.

Lagipula, memang dia seharusnya sudah mati, bukan?

Sekarang yang lebih berbahaya adalah Diana, dan detak jantungnya kini bertempo sama dengan napasnya yang belum juga tenang. Nina ingin merutuki dirinya karena berteriak, matanya kini lurus terpaku pada pintu.

Bahaya ada di baliknya.

Malam itu, harusnya dia sudah mati-jatuh saja dari jembatan tanpa memedulikan apapun yang ada.

Harusnya aku mati saja, hidup itu mengerikan.

Kemudian pintu dibanting terbuka, Nina mundur menyeret tubuhnya, tangannya bergerak-gerak dan menemukan benda dingin yang tadi terlepas-gunting.

"Bu, ada apa?" Itu suara Connor.

"Kau juga harusnya mendengar, Connor! Suara itu sangat keras dan aku langsung yakin bahwa dia ada di sini."

"Suara?"

"Suara perempuan, anak sialan! Aku tahu, kau menyembunyikannya?"

"Tunggu, aku tidak pah-"

"Mengapa lampu di ruangan itu menyala?"

Sial. Nina mendongak, menemukan lampu yang masih menyala samar, dan ia begitu yakin bahwa cahayanya bisa melewati celah pintu. Tak lama kemudian, ia mendengar suara mengerang dan berdebum, disusul rintihan Connor, diakhiri dengan suara engsel.

"Siapa kau?"

Bahaya itu kini tepat di depannya, mewujud seorang wanita paruh baya dengan rambut lurus dengan wajah yang tirus-bahaya yang cantik, memikat, dan mematikan.

"Kau harus mati," ujar Diana dengan menekankan setiap katanya. Ia mengangkat pisau dan bersiap mengayunkannya ke Nina.

Namun, Connor segera memasukkan kedua tangannya melalui ketiak Diana, membuat lengan Diana dengan segera terkunci dan menjatuhkan pisau yang ia bawa. Lelaki jangkung itu dengan sekuat tenaga menarik Ibunya menjauh dari ambang pintu.

"Pergi! Beritahukan semuanya pada polisi!"

Nina segera bangkit, setelah Connor dan Ibunya saling berkelahi dan menjauh dari ambang, ia berlari keluar. Tangannya segera meraih kenop pintu besi dan-

"Bajingan!" Diana berteriak, ia memelintir tubuhnya.

Wanita itu lepas dari kuncian Connor, lalu menekuk lututnya 90 derajat dan menendang perut anaknya sendiri hingga terjatuh di lantai semen yang dingin.

"Kau juga harus mati! Kau sama saja seperti ayahmu dan semua laki-laki itu! Kau pembohong!" Diana duduk di atas dada Connor, kedua tangannya mencengkeram jakun lelaki yang kini ia kunci dengan kedua pahanya.

"Kau memberitahukan semuanya! Kau juga akan meninggalkanku! Tidak boleh ada lelaki yang akan meninggalkanku! Kau harus mati dan menjadi satu dengan mereka, Connor, dengan begitu, kita akan tetap bersama-sama." Diana tersenyum sembari ia mengeratkan kesepuluh jarinya sementara Connor meronta dengan napasnya yang semakin sesak.

Nina tidak bisa pergi, entah kenapa ia berpikiran demikian, Connor akan mempermudah proses penyelidikan terhadap Diana, ya 'kan?

Connor adalah aset, jadi dia harus diselamatkan.

Berpikir Nina, berpikir.

Berusaha mengalihkan rasa jarum yang terus menghujani tubuhnya, ia mengedarkan pandangan dan menemukan sekop.

Itu dia, gadis itu menarik kedua pintu besi terbuka, lalu berbalik dan mengambil sekop. Dia segera berderap dan mengayunkan ujung besi sekop itu ketika jaraknya sudah sangat dekat.

Dengan itu, ujung besi sekop segera membentur kepala Diana. Perempuan itu berguling dan mengaduh kesakitan.

"Ayo berdiri, cepat!" Tanpa menunggu napas Connor kembali normal, Nina segera menarik Connor untuk berdiri dan berlari ke luar.

Tak lupa gadis itu menutup pintu besi dan mengganjal pegangannya dengan sekop. Ia berderap, mendorong pintu terluar rubanah yang terpasang miring dan semakin dingin.

"Kau bodoh atau apa?!" Connor berteriak.

"Yang penting, ayo lari dulu!" Nina membalas dan segera menarik Connor keluar.

Mereka berlari menyusuri jalan Dalke yang sepi dan rimbunan pohon pinus lebat yang menunggu mereka di bawah, tujuan mereka kini adalah satu: ke kantor polisi dengan selamat. Sementara itu, hujan salju semakin lebat, angin semakin kencang, dan semua suara telah dilenyapkan.

***

Lima menit mereka berjalan, jarak mereka masih terlalu dekat dengan rumah Diana sementara badai salju terus turun, dan siluet seseorang yang bergerak mendekati mereka tentu saja bukan seorang penduduk biasa.

"Dia mengejar." Nina kesulitan mengatur napasnya.

"Berpencar."

"Apa?"

"Dengan kita berpencar, akan semakin cepat kita menuju kantor polisi, dan dia juga bisa terkeco-Ah!"

Ucapan Connor terputus saat sebilah pisau seukuran pisau swiss menancap di bahu kirinya.

"Cepat!"

Benar, itu pisau Diana, sial! Nina segera berlari, ia masuk ke hutan dan berusaha mencari jalan pintas. Namun, saat dia menoleh ke belakang, ekor matanya menangkap Diana mengikutinya.

Hidup itu mengerikan.

"Berhenti kau! Kau harus mati!"

Tidak, aku harus hidup!

Nina mempercepat laju larinya, ia mengambil jalur zigzag berputar dari satu pohon ke pohon lainnya demi menghindari pisau yang dilempar Diana. Masalahnya adalah, Nina tidak pernah berlarian di bawah suhu kurang dari nol dengan badai salju dan dikejar oleh seorang maniak. Oleh karenanya, gadis itu segera masuk saat menemukan sebuah kabin kecil yang dipenuhi gelondongan kayu.

Nina segera bersembunyi di balik tumpukan kayu membiarkan pintu tertutup tanpa diganjal. Wanita itu, pasti tak akan menemukannya, 'kan?

"Kau di dalam sana ya?"

Oh sial, Nina membekap mulutnya sendiri saat mendengar suara wanita itu menjadi satu dengan desir angin badai salju.

Derit pintu berbunyi, disusul langkah kaki.

"Keluarlah aku tak akan menyakitimu!"

Gadis itu masih duduk bersandar pada gelondongan kayu, rasa hujan jarum semakin menguasai tubuhnya, dan seluruh tubuhnya kini bergetar hebat.

Tidak, jangan sekarang.

"Keluarlah!" Suara gebrakan di salah satu batang kayu membuat Nina berjengit.

"Kapak ini tajam kok." Diana berujar lirih, Nina menengok dan menemukan wanita itu berjarak tiga meter darinya sekarang.

Sial, sial, sial!

"Pergi kau, dasar Sundal!" Tiba-tiba Connor mengayunkan balok kayu tepat di tengkuk Diana, membuat wanita paruh baya itu ambruk melepaskan kapaknya.

"Ambil tali, cepat!" perintah Connor.

Nina segera bangkit, matanya bergerak ke sembarang arah dan menemukan seutas tali tambang. Connor mempertemukan kedua tangan ibunya di belakang punggung, lalu menerima dan membebatkan tali tambang dari Nina. Setelah dirasa erat, ia mengangkat kedua kaki ibunya, lalu mengikat tangan dan kaki itu bersama-sama.

"Kau tak apa?"

"Sejauh ini, sakauku hampir kumat, yang lebih penting adalah lukamu," jawab Nina. "Ayo pergi ke kantor polisi, tahan lukamu sebentar, kumohon." Connor mengangguk.

Mereka meninggalkan Diana di dalam kabin, melemparkan kapak ke luar dan kembali berlari menembus salju.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top