14
Darwin Chevalier. Informasi yang Nina kumpulkan tentang pria itu adalah bahwa pria itu pernah menjadi sherif, kemudian ... dia mengelola Kafe Northern Star. Nina mengerjakan semua tugasnya dengan cepat, rasanya ia ingin segera mengakhiri kelas—jangan tanya apakah jawabannya tadi betul semua atau tidak.
Setelah otak sialannya berbunyi bahwa mungkin saja ibunya adalah pembunuh, tangannya segera membuka laptop dan tersambung kembali dengan internet. Hanya untuk memastikan bahwa ia benar-benar tidak akan bisa tenang sampai hari ini selesai.
Kadang, gadis itu berpikir, ada baiknya kalau dia ternyata dari dulu adalah orang gila. Dia sekarang mendekam di Rumah Sakit Jiwa bernama Dawson Pass, tangannya yang gemetaran adalah efek dari konsumsi obat keras—dan mungkin kejadian itu juga—sementara kaki pincangnya adalah bekas luka bertemu dengan pembunuh yang sebenarnya karena dia dulu benar-benar terlibat dalam kasus yang sama seperti sekarang. Lalu dia akan tertawa dengan tembok putih dingin dan lantai linoleum karena delusinya sangat bagus untuk sekadar dijadikan film buatan Shyamalan.
Nina bisa saja mencopot otaknya karena tak henti-hentinya memikirkan kemungkinan terburuk, bahkan spekulasi absurd semacam "delusi orang gila yang tak sadar dengan kegilaannya". Dia menyesal merayakan halloween dengan film-film semacam itu. Dolores sebenarnya sempat menanyakan apakah ia baik-baik saja, tetapi, Nina tentu saja menjawab bahwa ia baik-baik saja.
"Kau tahu, kau seharusnya bisa menceritakan apapun padaku. Aku akan membiasakan diri supaya kau bisa berbagi beban."
Nina hanya mendesah, dia hanya tak tega mengatakan bahwa Dolores terlalu mengganggu. Namun, akhirnya dia hanya tersenyum dan mengatakan terimakasih singkat. Hari bersalju itu pun berlalu dengan biasanya, sakau dan obat, lalu belajar lagi dan membohongi ibunya dengan potret bersama. Nina sedikit melirik Connor yang rasanya mulai muak dengan kegiatan sehari-harinya yang jadi aneh gara-gara Nina, sekaligus entah kenapa seperti terbersit perasaan tidak nyaman, sementara Dolores tetap pada pandangannya yang khawatir.
Menyeret kaki pincangnya untuk berlari, ia segera menuju sebuah rumah di mana tidak jauh dari kafe tempat ibunya bekerja, wanita itu sedang ada di apartemen, kafe Northern Star buka sampai pagi jam 5, lalu jam operasionalnya sendiri adalah saat siang hari. Ibunya kedapatan bekerja pada sif malam sampai pagi, tapi sejak Nina ditemukan sendirian bersama mayat Nyonya Eva, ibunya selalu pulang tepat waktu (biasanya, Nina berangkat tanpa masakan ibunya).
Tetap saja, dia jadi harus berderap, siapa tahu ada pegawai yang melihatnya dan melapor pada ibunya, itu akan membuatnya jadi kesusahan.
Darwin Chevalier, rumahnya adalah rumah satu lantai yang mulai meninggalkan susunan papan kayu, Nina melihat bahwa waktu bagi rumah itu terlihat bergerak maju daripada kebanyakan rumah di Dawson Pass yang membuat seolah-olah, waktu telah berhenti. Rumah itu mulai memakai bata seperti apartemennya, satu-satunya yang masih bertahan adalah atap runcing dan cerobong asap, di halaman rumah tanpa pagar itu dipasang penanda:
Rumah dan Tanah Dijual! Hubungi: Chevalier—
"Jadi, mereka benar," gumam Nina. Rumah itu sudah kosong.
"Mereka pindah." Seorang lelaki menyahutnya dari beranda, dengan segelas minuman yang tampak mengepul.
Lelaki itu tampak seumuran dengannya, tidak ada yang istimewa, tetapi Nina merasakan sebaliknya. Lingkungan Chevalier sepi, Nina benci sepi jika ada seorang lelaki di dekatnya, itu mengingatkannya ....
"Duduklah di sini, kau bisa bebas menelepon Chevalier soal pembelian rumah daripada kelelahan berdiri." Cowok itu menunjuk kursi sebelahnya dengan dagu.
Nina mematung. Cowok itu tersenyum.
"Wajahmu sempat ada di koran rasanya, yang menemukan Nyonya Eva. Bukan begitu?" tanya cowok itu sebelum menyesap minumannya.
"Dan kalau kau 9-FreeMe ...," Nina terperenyak, "aku akan memberimu informasi seputar Chevalier dan orang hilang keempat. Masuklah." Cowok itu berujar sambil masuk ke dalam rumah.
Kaki Nina sedikit lemas, dia merasa lega sejenak, lalu kembali panik. Cowok itu punya informasi soal Chevalier dan orang hilang keempat, tetapi ... dia tidak akan masuk jika mereka hanya berdua, cukup ... kejadian itu tidak akan berulang lagi. Nina mengecek bahwa ia sudah memakai sepatu bot yang berat, sepertinya cukup untuk dijadikan senjata. Gadis itu melangkah ke rumah tetangga, berdiri di antara ambang kusen pintu depan.
"Masuklah, mau kopi?"
"Tidak bisakah kita berbicara di luar?" tanya Nina.
Cowok itu mengedikkan bahunya. "Di luar dingin, dan tenang saja ... kita tidak berdua, ada ibuku, dan aku tidak akan macam-macam." Ia tersenyum.
Sepatu bot, Nina harap itu cukup, jadi dia melangkah masuk. Gadis itu melewati lorong ruang antara yang cukup panjang, sekitar tujuh meter, mungkin di kanan dan kirinya adalah kamar. Lalu di paling belakang ruangan adalah ruang berkumpul dengan ruang makan dan dapur serta perapian, dengan pemandangan luar pada danau yang membeku.
Pemandangan yang kemungkinan besar sama jika ia masuk ke dalan rumah Chevalier. Nina melihat seorang wanita kurus dengan rambut mengembang sedang menggenggam minuman beralkohol, duduk di dekat perapian dan memandangi danau.
Cowok itu mengambil botol yang sudah habis dan berdiri di belakang meja konter.
"Hanya informasi singkat, setelah Chevalier menghilang, istrinya terpuruk dan stress, lalu meninggal karena sakit yang merupakan dampak hilangnya suaminya. Anaknya langsung terbang dari Los Angeles, membawa mayat ibunya dan memutuskan menjual rumah. Chevalier hilang, tidak kembali dari kafe, kau sudah membaca itu di koran?"
Maksudnya adalah koran yang memuat berita itu, berarti tentu saja mungkin antara sehari setelah Tuan Chevalier menghilang. Tentu saja, Nina belum membaca sampai situ, jadi, dia menggeleng.
"Kopi dengan krim atau gula?"
Nina menggeleng.
"Teh?"
Gelengan lagi, cowok itu gusar.
"Yah terserah, duduklah di sofa, aku mau menambah kopi."
Nina duduk, memandangi sepatu botnya,lalu beralih ke wanita itu yang kini bergumam tidak jelas, masih memandangi putihnya danau di luar. Lalu dengan seenaknya saja, cowok itu duduk di samping Nina. Degup jantung Nina kini menggedor-gedor gendang telinga, berefek pada getaran tangan dan napasnya.
Kenapa, padahal ada dua orang perempuan di sini, bukan hanya laki-laki itu sendiri. Kenapa? Apakah kejadian itu akan terulang lagi?
"Arthur Horatius," sementara Nina menata degup jantung sambil memandangi sepatu botnya, cowok itu berujar, ia bersyukur belum melepas sepatu itu, "nama Ayahku, dia juga ikut hilang, lenyap! Tanpa entah apa yang bisa kami gunakan sebagai praduga. Tuan Chevalier hilang di kafe, sementara Ayahku, hilang saat melakukan perjalanan bisnisnya."
Nina berusaha mendengarkan sambil merasakan kegelisahan yang terus memuncak. Apakah cowok itu mendekatkan duduknya?
"Dia bekerja sebagai seorang ... karyawan yang bertugas di pemasaran, yah ... bidang properti yang aku tak terlalu paham. Kadang ia menjadi makelar tanah, menawarkan tanah itu untuk dibuat "investasi". Pelanggan pertamanya adalah Andreas Eberhart, yang membeli tanah itu lalu membangun vila, dan satu aset kamar apartemen di luar Dawson Pass. Ayahku juga menjadi makelar tanah untuk membuka toko serta produksi Anggur Tuan Charles Wain di Dawson Pass atau di luar Dawson Pass. Tidakkah menurutmu semua ini saling berhubungan, Nine?"
Yang dipanggil Nine hanya bisa diam.
"Intinya, suatu hari," cowok itu bergeser mendekat, "Ayahku berkata bahwa ia akan pulang telat dari kantornya yang ada di luar Dawson Pass, karena harus bertemu dengan klien untuk menawarkan properti lagi. Tak kusangka, pulang telat itu maksudnya setelat ini. " Cowok itu terkekeh.
Nina masih mematung, dan cowok itu mulai duduk menempel.
"Ibuku terlalu percaya bahwa ia selingkuh, terutama setelah mendengar kesaksian tambahan Nyonya Eberhart soal wanita berambut panjang. Lalu, dia jadi seperti itu." Tunjuknya dengan dagu sambil meletakkan kopinya di meja.
Nina hanya bisa melirik si ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri dari duduknya. Ini ... ia merasakan firasat buruk, rasanya ia harus—
"Jadi, apakah informasi ini cukup untukmu?" tanya cowok itu dengan menurunkan nadanya satu oktaf sekaligus berbicara lebih dekat.
Bagi Nina, suaranya bertumpuk dengan suara ayahnya di hari itu.
"Kau tahu, Nine, tidak ada informasi yang gra-tis." Nina bisa merasakan cowok itu menyeringai.
Ia harus pergi. Namun, cowok itu segera memegang tangan Nina yang gemetaran, meraih dagu dan memutar wajah Nina. Nyatanya, sepatu botnya tak bisa ia gunakan ....
"Namaku gh0st, jadi, mari kita lakukan pembayarannya," ujarnya. Wajahnya yang tersenyum kini saling bertumpuk dengan wajah ayahnya.
Sial, apakah hari itu akan terulang sekarang?
Tubuh Nina kaku, sementara tubuh cowok itu mendekat, tubuhnya mulai ditidurkan di sofa. Tidak, tidak, tidak, ia tidak mau hari di mana tangannga mulai bergetar dan kakinya mulai pincang terulang lagi.
Cukup.
"Cukup." Itu bukan suara Nina.
Melainkan, Nyonya Horatius yang tiba-tiba berdiri di sampingnya, ia mengayunkan sebotol minuman alkohol ke kepala anaknya. Nina segera menutup mata sebelum pecahan kaca dan isi minuman itu masuk ke matanya.
"Kau laki-laki keparat," ujarnya dingin, "wanita berambut panjang." Wanita itu kini tertawa menyeramkan.
Nina membuka matanya, napasnya masih belum lega, tubuh cowok itu masih telungkup di atasnya, membuatnya tak bisa bergerak.
"Aku, akan membunuh wanita itu, membunuhmu." Nyonya Horatio terkekeh pada Nina, ia pergi ke belakang meja konter dan mengambil pisau daging.
Oh, sial.
Nina mengembalikan kekuatannya, ia berusaha membalik tubuh cowok itu, hingga jatuh berdebam di karpet. Cowok itu tak mengaduh, masih pingsan akibat efek dipukul dengan botol kaca. Nyonya Horatio berada di belakang sofa, mengangkat tinggi pisau dagingnya, lalu menghujam.
Gadis itu segera berguling, jatuh di atas tubuh anak dari Nyonya Horatio. Ia menumpu pada meja dan mengangkat tubuhnya, bersitatap dengan Nyonya Horatio yang tersenyum aneh.
"Susah mati, ya." Nyonya Horatio berjalan pelan menyusuri sofa.
Nina berjalan pelan ke arah kanan, berkebalikan dengan arah Nyonya Horatio, setelah itu ia berlari kencang menuju pintu utama. Nyonya Horatio berteriak dan mengangkat pisau dagingnya, Nina segera memutar kenop, menarik pintu dan berdiri di ambang. Tepat saat Nyonya Horatio sudah dekat dengannya, ia membanting daun pintu menutup. Gadis itu mendengar suara benturan, ia berjalan mundur, tak berani menebak apakah Nyonya Horatio terbentur pintu dan pingsan ....
Atau tidak ....
Nina segera berlari, menjauh, dengan air mata yang baru bisa turun bersamaan dengan salju.
*
Heyoo, bab ini hit 1,5K kata :") semoga tidak kecapekan. Sedikit hint buat masa lalu Nina 'dah kutaruh di sini. Oh, bab berikutnya aku mau rilis tepat tanggal 31 Oktober, akan kuusahakan bab depan semengerikan mungkin :) let's do the halloween party with Nina.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top