PROLOG

Kalau aku mati, aku ingin terlahir kembali sebagai batu.

Pasti kalian sepakat, hidup sebagai manusia dengan latar belakang keluarga sebagai rakyat jelata itu sudah seperti di neraka jahanam. Apalagi kalau dikelilingi orang-orang yang hobinya menguji kesabaran. Bengong bukannya kesurupan, malah mikirin beban kehidupan.

Aku sebelumnya hidup sebagai pria lajang berusia 30 yang berprofesi sebagai pelayan rendahan di sebuah kafe milik bos galak—aku lebih senang menyebutnya sebagai hewan berkaki empat tidak waras.

Itu umpatan dalam bahasa ramah telinga, omong-omong.

Kan, aku harus terlihat memiliki attitude baik di pertemuan pertama dengan orang-orang baru.

Orang tuaku menganugerahkan nama Barthel Salvador—kumohon jangan tertawa sampai menyemburkan makanan di mulutmu. Kayak orang asing, padahal aku warga lokal. Karena nama sialan itu, aku sejak kecil selalu jadi bahan olokan paling empuk. Apalagi orang tuaku cuma warga biasa: ayah petani, ibu pekerja kebun.

Singkat cerita—karena aku tahu kalian akan bosan kalau mendengar latar belakang keluargaku yang menyedihkan—aku mendapat masalah. Hidupku belakangan makin ngenes.

Aku jomlo berkarat yang belum pernah pegang tangan cewek sekali pun, baru saja dipecat dari kerjaan cuma karena pelanggan sialan, dan sekarang tengah dikejar-kejar rentenir gila gara-gara dia berhasil mengendus kehadiranku.

Ya, aku sudah menghindarinya seminguan ini gara-gara mangkir dari pembayaran. Aku terpaksa berurusan dengan lintah darat demi memenuhi permintaan orang tuaku yang rutin minta uang.

"Mau ke mana kau, Bajingan Jelata!"

Teriakan itu bikin aku refleks mengumpat sebal. Kalau mau neriakin orang pakai panggilan yang elite dan sopan dikit, kek! Bukannya ....

"AKH!"

Aku merasakan hantaman sepenuhnya yang membuat nyawaku seperti lepas dari raga. Pandanganku berubah gelap sepersekian detik. Lalu, saat membuka mata, aku melihat langit malam yang gelap tanpa sedikit pun cahaya. Aku merasakan tubuhku melayang sebelum kembali jatuh dengan estetik.

Kejadiannya terlalu cepat, bahkan mataku tak dapat merekam dengan jelas.

Beberapa detik lalu, yang kuingat, aku tengah berlari kencang sambil mengumpati dua rentenir di belakang sana. Mereka terus mengejar dengan membabi buta bak babi gila yang tengah kehilangan kewarasan. Lalu, mungkin kedua kakiku ingin merasakan aspal jalanan, tetapi mataku tak bisa bekerja sama.

Aku lari ke tengah jalan, tanpa melihat kiri-kanan. Selanjutnya, aku hanya merasakan tubuhku dihantam sesuatu—aku yakin itu truk dengan kecepatan tinggi—sehingga rasanya sesak saat tubuh kurus kerempeng yang kubenci ini kemudian terempas kuat, sedikit melambung ke udara. Apesnya, aku melihat cahaya silau di depan. Itu mobil juga.

Aku berubah jadi bola pingpong kalau saja genre ceritanya komedi.

Sayangnya aku bukan karakter kartun yang punya seribu nyawa. Jadi, sekarang aku telentang dengan sekujur tubuh sakit luar biasa. Aku batuk berkali-kali. Bau amis. Rasanya sesak. Langit malam makin terlihat kabur, tetapi telingaku berfungsi dengan baik. Aku mendengar suara yang ramai, suara orang-orang bercampur dengan klakson kendaraan.

"Ada kecelakaan di perempatan!"

"Cepat panggil ambulans!"

"Apakah dia mati?"

"Kondisinya parah! Darahnya sampai menggenang."

"Tahan sopir truk itu!"

Mati. Aku menginginkannya sejak beberapa tahun lalu karena muak menjalani rutinitas hidup yang itu-itu saja: bangun-jadi babu-makan-tidur. Kehidupan keras di kota yang mendapat tekanan dari sana-sini.

Jadi, apa sekarang aku diizinkan menemui ajalku? Namun, rasanya kok tidak ikhlas, ya.

Tuhan kayak gak adil. Ngasih umur padaku sampai 25 tahun tetapi isinya penderitaan semua. Aku belum pernah merasakan manisnya percintaan, apalagi peluk-peluk cewek. Hidupku juga penuh konflik, tidak ada scene membahagiakan sama sekali. Bahkan, aku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga, contohnya suasana ramai di meja makan. Keluarga bagiku hanya seperti agen perbudakan.

Tuhan, kalau Engkau ada ... jangan biarkan aku mati begitu saja seperti ini. Lalu, kalau kehidupan kedua itu ada, aku hanya ingin menjalaninya sebagai batu. Sebuah batu, paham kan?

Aku memilih menutup mata saat rasa sakit pada sekujur tubuh ini makin tak tertahankan.

"Wahai, anak Adam, kukabulkan permintaan terakhirmu."

Eh? Ada suara dan di sini hening, padahal harusnya ramai karena terjadi kecelakaan.

Aku membuka mata. Harusnya sekarang masih memandangi langit malam—kalau aku masih hidup—atau bertemu malaikat maut yang sudah menunggu—kalau aku mati.

Namun, sekarang yang kulihat justru beragam warna abstrak tak konstan. Ada beragam bentuk yang terasa aneh di mataku. Ada lingkaran .... Ah, aku kenal bentuk lingkaran warna-warni dengan beragam aksara kuno dan simbol-simbol aneh. Itu pasti lingkaran sihir. Aku bisa tahu karena aku suka baca novel fantasi untuk mempertahankan kewarasanku—juga cari hiburan mata tentunya, karena MC cewek di novel fantasi tuh pasti cakep-cakep dan bohay.

Oke, skip. Ini obrolan vulgar.

Ada apa ini? Ini aku masih di dunia manusia, kan? Kok, aku bisa lihat sihir? Aku sangsi ini nyata, tetapi kalau mimpi juga rasanya tidak mungkin karena aku masih dapat merasakan tubuhku yang kesakitan.

"Kuberikan kau kesempatan kudua. Nikmatilah ...."

Lhooo? Terdengar lagi.

Itu terdengar seperti pria tua, tetapi setengah wanita juga. Suaranya terkesan dalam dan tua. Penuh misteri juga sihir.

Aku ingin menggerakkan kepalaku, tetapi tubuhku sama sekali tak bereaksi. Ah, pasti aku hanya mimpi, mimpi terakhir sebelum dijemput malaikat maut. Jadi, ya sudahlah. Aku lanjut saja membayangkan kehidupan keduaku sebagai batu. Enak kayaknya, cuma duduk bengong menikmati pemandangan dunia yang diisi manusia-manusia kotor.

Ada sesuatu yang jatuh ke kepalaku. Rasanya dingin. Lalu, ada benda lain yang menyusul; mencengkeramku. Sepertinya kaki burung.

Eh, burung?

Aku membuka mata. Pemandangan pertama yang kulihat adalah hamparan hijau, langit biru yang cerah, lalu ... pantat burung berbulu hitam.

LHO?

Kok mataku bisa melihat banyak pemandangan sekaligus? Bukankah pemandangan manusia itu terbatas, hanya sampai 200 derajat, itu pun kalau memakai dua mata.

Lalu ini? Aku bisa melihat semuanya sekaligus! Bahkan, tanah yang kuinjak.

Eh, kakiku mana? Aku hanya langsung melihat tanah yang cokelat. Harusnya kalau bisa lihat ke bawah, kan ketemu dua kaki kurus kerempengku dulu.

"Batu ini ternyata nyaman juga buat kutinggali, seenggaknya buat WC darurat."

HEH! ORANG GILA MANA YANG MAU JADIIN TUBUH ORANG LAIN SEBAGAI WC DARURAT?

Tunggu-tunggu! Apa tadi? Batu? Maksudnya?

Aku menatap ke atas, masih melihat pantat burung yang sekarang sedikit terbuka dan iuwww! Huekkk!

Dia buang kotoran lagi. Dasar burung sialan!

Aku harusnya langsung memukul burung aneh bertubuh besar dengan paruhnya yang panjang itu. Namun, saat ingin menggerakkan tangan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku tak bergerak sama sekali. Tanganku juga tak terlihat sama sekali. Padahal aku sudah mengeluarkan kekuatan ekstra untuk memukul burung itu sampai terpental ke luar angkasa.

Lalu, tiba-tiba burung itu terbang sambil berkoak. Aku bisa paham ucapannya, dia tengah menyumpah serapah pada sesuatu.

Aku menolehkan pandangan, hendak mengecek apa gerangan yang membuat burung itu terbang kalang kabut.

EH, APA LAGI INI, YA TUHAN?

Ada dua pria di depanku. Mereka berdiri dengan tubuh telanjang bulat. Orang tolol mana yang ketemu orang asing dengan tubuh telanjang seperti itu? Ya Tuhan, ini tidak akan berbau pelangi, kan?

Sepertinya tidak, deh. Soalnya mereka saling mengangguk dan mengulurkan papan besar.

Eh, mereka orang bukan, sih? Soalnya tubuh mereka gede banget. Mana papan yang kumaksud adalah batang pohon utuh. Namun, mereka mengangkatnya dengan enteng. Memang sih, tubuh mereka penuh otot yang kayaknya bisa meremukkan tubuhku dalam sekali genggam.

Mereka menyodokkan batang pohon itu ke tubuhku.

Eh, tunggu! Jangan salah paham! Ini tidak seperti yang kalian pikirkan! Bi–biar kujelaskan, ya. Tolong duduk dengan baik.

Aku bisa melihat batang pohon itu mencungkil tubuh bagian bawahku—aku masih mikir ini tubuhku bentuknya kayak gimana karena sejak tadi aku tak melihat kedua tangan dan kakiku. Lalu, kaki kedua orang di depanku—dengan kuku-kuku panjangnya yang tak terawat dan bikin jijik—mulai menginjak batang pohon.

Mereka berkali-kali melakukan adegan itu. Sampai akhirnya, aku merasakan tubuhku terangkat perlahan.

"Lebih semangat!"

Aku bisa mengerti mereka! Mereka bicara dalam bahasa aneh, tetapi aku bisa mengerti dengan baik!

"Ya, kita berhasil!"

Aku berkedip—menurutuku—kemudian tubuhku menggelinding dengan bebas. Aku melihat pemandangan di sekitarku berputar dengan cepat.

"Hati-hati! Batu itu akan menabrak dengan kecepatan tinggi!"

Aku masih dapat mendengar teriakan orang-orang tak sopan itu. Teriakan yang membuatku langsung berpikir keras.

Batu? Apakah aku batu? Lalu aku hidup di zaman apa? Kok ketemu orang aneh dan burung yang bisa bicara? Bukankah aku sekarang harusnya sedang mengantre dengan orang-orang yang sudah meninggal di akhirat untuk mempertimbangkan dosa-dosaku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top