[02] Jejak di Bawah Sakura

Langit pagi Tokyo membentang jernih, diselimuti semburat pucat musim semi yang baru menggeliat dari tidurnya. Di tengah gemerlap Shibuya, sebuah studio fotografi tampak sunyi meskipun sibuk. Kubota Hidetoshi berdiri tegak di balik kameranya, tatapannya tajam dan penuh konsentrasi. Lensa kamera berfokus pada seorang model yang mengenakan gaun elegan berwarna gading, kilauan berlian di lehernya memantulkan cahaya yang jatuh tepat dari jendela besar di sudut ruangan.

“Angkat dagumu sedikit,” ucap Toshi, suaranya pelan tapi tegas—nyaris tanpa emosi.

Model itu menurut. Posisinya berubah hanya sedikit, tetapi cukup untuk menyesuaikan komposisi yang diinginkan. Toshi mendekatkan wajahnya ke kamera, jari-jarinya menekan shutter. Klik. Klik. Suara itu berulang beberapa kali, berirama dengan keheningan yang mendominasi ruangan. Namun, Toshi tiba-tiba berhenti.

“Cahaya dari kiri masih terlalu kuat.” Dia menurunkan kameranya, nada suaranya datar, tetapi semua kru tahu teguran itu adalah peringatan. Mata Toshi menyapu ke arah asisten lighting, membuat pria muda itu tersentak panik. “Kurangi intensitasnya. Aku butuh lebih lembut di sisi bayangan.”

Perintah itu segera ditindaklanjuti. Beberapa kru bergerak cepat, menggeser lampu, mengatur ulang filter cahaya, dan berusaha memastikan semuanya sempurna. Tidak ada yang berani berbicara banyak di studio itu ketika Toshi sedang bekerja. Meskipun dikenal sebagai fotografer brilian dengan hasil karya yang memukau, pria itu juga memiliki reputasi sebagai perfeksionis yang sulit dipuaskan.

Model itu mencoba tersenyum, walau sedikit gugup, dan kembali ke posisi awal. Kali ini, Toshi mengangkat kameranya lagi. Klik. Klik. Klik. Tatapannya seperti burung elang yang siap menangkap setiap detail, memeriksa sudut, garis, dan pantulan cahaya dengan ketelitian luar biasa. Hingga akhirnya, ia menurunkan kamera.

“Cukup,” ucapnya singkat, lalu melangkah mundur. Asistennya buru-buru menghampiri untuk mengambil kamera dari tangannya.

“Pemotretan selesai, Kubota-san?” tanya asisten itu dengan hati-hati.

Toshi melepas sarung tangannya, mengangguk tanpa melihat ke arah pria itu. “Ya. Siapkan file-nya dan kirim ke klien. Aku ingin semuanya selesai sebelum malam ini.”

Pria itu tampak ragu. “Tapi…Kubota-san, minggu depan kita ada jadwal pemotretan dengan—”

“Aku akan cuti dua minggu,” potong Toshi tajam, tanpa memberinya kesempatan untuk selesai berbicara. Suaranya dingin, hampir tak terbantahkan. “Pastikan semua pekerjaanku beres sebelum aku pergi.”

“Dua minggu?” tanya asistennya dengan nada panik. “Tapi ini—”

Toshi menoleh, memandang asistennya dengan tatapan yang membuat pria itu langsung bungkam. “Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku bukan mesin.”

Tak ada lagi yang berani protes. Suasana di studio kembali senyap, hanya terdengar bunyi langkah kaki Toshi yang semakin menjauh. Dengan tenang, ia mengambil jaketnya yang tergantung di sisi pintu, lalu keluar dari ruangan tanpa menoleh ke belakang.

Di luar studio, udara Tokyo terasa lebih segar. Kelopak sakura berguguran perlahan, menciptakan kontras indah dengan aspal hitam di bawahnya. Toshi berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di ujung jalan. Sesaat sebelum ia membuka pintu, ia mendongak menatap langit—langit yang sama, namun entah kenapa terasa jauh dan hampa.

Di dalam dadanya, ada sesuatu yang ia tahan. Perasaan itu sudah lama ia abaikan, tetapi hari ini, suara kecil itu terasa lebih nyaring: keinginan untuk mencari sesuatu—atau seseorang—yang bisa mengisi kehampaan itu. Sesuatu yang bahkan tak bisa ia beri nama.

***

Toshi membuka pintu mobilnya yang terparkir di basement, lalu masuk ke dalam. Suara pintu tertutup bergema samar di antara beton-beton kosong. Tangannya yang terbiasa memegang kamera kini menggenggam setir. Ia menarik napas panjang sebelum menyalakan mesin, deru mobil memenuhi ruang hening yang dingin.

Toshi sempat diam sejenak, kedua tangannya bertumpu pada lingkar setir, pandangannya kosong menatap dasbor. Ada kelelahan yang tak sepenuhnya fisik, sesuatu yang bersarang di pikirannya, membuat pagi ini terasa lebih berat dari biasanya.

Namun, baru saja ia akan menekan pedal gas, ketukan cepat di kaca samping membuatnya mengernyit. Toshi menoleh dan menemukan sosok wanita dengan tangan terlipat, berdiri dengan ekspresi tidak sabar. Ruri.

Ia mengetuk kaca lagi, lebih keras kali ini. “Toshi-san, buka!”

Toshi menghela napas panjang, lalu menurunkan kaca jendela dengan gerakan malas. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada datar.

Ruri menyandarkan satu tangannya pada atap mobil, rok pendek dan sepatu hak tingginya mencolok di tengah suramnya basement. “Aku mencarimu. Kau mau ke mana?”

“Bukan urusanmu,” jawab Toshi singkat, matanya kembali menatap lurus ke depan.

“Apa? Kau mau pergi dua minggu dan tidak bilang apa-apa padaku?” Ruri mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, tatapannya tajam. “Aku ikut. Kau tidak bisa pergi begitu saja.”

“Ruri…” Toshi menatapnya datar, jelas-jelas malas meladeni. “Aku tidak butuh teman perjalanan.”

“Aku tidak peduli.” Ruri tersenyum kecil, nada suaranya melunak sedikit, namun tetap penuh tekad. “Kau tidak bisa menyingkirkanku semudah itu, Toshi.”

Toshi menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya menyerah. “Masuk.”

Ruri langsung membuka pintu samping dan duduk di kursi penumpang dengan penuh kemenangan. “Aku tahu kau tidak bisa menolak,” katanya sambil membetulkan posisi duduknya.

Toshi tidak menanggapi. Mobil perlahan keluar dari parkiran basement, cahaya pagi menjelang siang itu menyilaukan menyambut mereka ketika akhirnya sampai di jalan raya. Langit Tokyo dipenuhi warna lembut musim semi, kelopak sakura berguguran terbawa angin di sepanjang trotoar. Jalanan sudah mulai sibuk, tetapi Toshi menyetir dengan tenang, membiarkan deretan mobil lain mendahuluinya.

“Jadi, ke mana kita pergi?” tanya Ruri sambil memoles lipstiknya di kaca spion kecil di depannya.

“Hino,” jawab Toshi tanpa melihat ke arahnya.

Ruri mendengus kecil. “Serius? Museum Hijikata Toshizou? Kau mau ke tempat itu lagi?”

Toshi mengangkat bahu. “Kalau kau tidak suka, kau bisa turun di sini.”

“Ah, sudahlah. Aku sudah terlanjur ikut.” Ruri mendesah dramatis sambil menyandarkan kepalanya ke jok mobil. “Aku hanya tidak mengerti, Toshi-san. Kau ini pria modern. Kau punya segalanya—mobil mahal, pekerjaan keren, pesona yang membuat wanita-wanita jatuh hati. Tapi entah kenapa, kau malah terobsesi dengan pria tua dari zaman Edo.”

Toshi tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetuk setir dengan pelan, sementara matanya tetap fokus ke jalan di hadapannya. Suara musik klasik mengalun lembut dari speaker mobil, seakan menenggelamkan kata-kata Ruri.

“Hijikata Toshizou bukan sekadar pria tua dari zaman Edo,” katanya akhirnya, suaranya datar tapi sarat dengan sesuatu yang lebih dalam.

Ruri menatapnya, alisnya terangkat. “Oh, sekarang kau jadi penggemar fanatik, ya? Pria itu terkenal sebagai wakil komandan iblis. Kau tahu itu? Dia mengorbankan seluruh hidupnya demi pertempuran yang bahkan tidak bisa ia menangkan.”

Toshi tetap diam. Hanya Ruri yang terus melanjutkan, mencoba memancing reaksi. “Dan lagi, kau tahu cerita itu? Dia mati muda, katanya sih tidak menikah seumur hidup. Tragis, bukan? Kau pikir kenapa? Katanya dia jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa ia miliki. Itu terdengar seperti sesuatu yang kau suka, ya?”

“Sudahlah, Ruri,” potong Toshi akhirnya, suaranya lebih rendah, sedikit lebih tegas. Ia tidak marah, tetapi ada garis tipis yang tak ingin ia lewati.

Ruri menyipitkan matanya, memperhatikannya sejenak. “Kau selalu aneh kalau membicarakan ini,” gumamnya, sebelum akhirnya bersandar kembali dan menatap keluar jendela.

Toshi tidak menanggapi lagi. Suasana di dalam mobil kembali sunyi, hanya ditemani musik dan suara deru mesin yang lembut. Namun, di dalam pikirannya, kata-kata Ruri tadi berputar tanpa henti. Kenapa aku terus kembali ke sana? Toshi pun bertanya pada dirinya sendiri.

Museum Hijikata Toshizou di Hino bukan sekadar destinasi baginya. Tempat itu memanggilnya—seperti sebuah rumah yang selalu ada di ujung perjalanan panjang. Sesuatu di sana memberinya perasaan aneh, perasaan yang sulit dijelaskan dengan logika sederhana. Kadang, setiap melihat potret Hijikata, setiap membaca puisinya, Toshi merasa... akrab. Dekat. Seakan-akan ia pernah mengenal pria itu jauh sebelum ia lahir.

Ia tidak pernah membicarakan hal ini pada siapa pun. Bahkan kepada Ruri. Baginya, ini adalah sesuatu yang terlalu absurd, sesuatu yang bahkan ia sendiri sulit untuk percaya. Namun, setiap kali musim semi tiba dan sakura mekar, perasaan itu kembali. Menguat.

“Apakah kau percaya pada kehidupan sebelumnya?” tiba-tiba suara Ruri memecah keheningan, nada suaranya lebih lembut.

Toshi melirik sekilas ke arahnya, terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa kau tanya begitu?”

“Aku hanya penasaran,” jawab Ruri pelan. “Orang sepertimu yang selalu menyendiri dan memikirkan hal-hal aneh, kurasa bisa saja percaya pada hal seperti itu.”

Toshi tidak menjawab. Ia hanya menekan pedal gas sedikit lebih dalam, membiarkan mobil melaju lebih cepat di jalan tol yang mulai lengang. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya mengakui sesuatu: ia sering memimpikan hal-hal aneh. Mimpi tentang medan perang yang diliputi kabut, pedang yang berlumuran darah, dan pohon sakura yang gugur di bawah langit yang suram.

Dan di tengah mimpi-mimpi itu, selalu ada sosok seorang wanita. Wajahnya kabur, tetapi suaranya—suara tangisnya—terasa begitu nyata. Setiap kali Toshi terbangun dari mimpi itu, jantungnya berdegup kencang, seolah-olah sesuatu yang penting telah hilang begitu saja.

Mungkin itulah alasan kenapa ia selalu datang ke museum itu. Mencari jawaban—atau sekadar keheningan yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih utuh.

***

Perjalanan ke Hino memakan waktu hampir dua jam. Jalanan kota Tokyo yang padat perlahan berganti menjadi pemukiman kecil dengan deretan rumah tradisional, hingga akhirnya bergeser ke kawasan yang dipenuhi nuansa sejarah. Pohon sakura berjejer di sepanjang jalan, kelopaknya berjatuhan pelan, seperti salju merah muda yang menari mengikuti hembusan angin.

Mobil Toshi melaju mulus di antara keheningan siang itu. Ruri lebih banyak diam, hanya sesekali menatap pemandangan dari jendela mobil. Musik klasik yang diputar Toshi dari speaker mengisi ruang dengan lembut, membuat suasana terasa tenang namun sedikit canggung.

Saat akhirnya mereka tiba, Toshi memarkir mobil di halaman museum yang sepi. Bangunan kayu tua bergaya Edo berdiri sederhana di tengah pekarangan kecil yang dipenuhi batu-batu alami dan pohon-pohon yang mulai bertunas. Sebuah papan kayu dengan tulisan bergaya kaligrafi memampang nama tempat itu: Museum Hijikata Toshizou.

“Tempat ini...” Ruri berhenti sejenak, matanya menyapu seluruh halaman yang kosong dan hening. “Benar-benar sunyi. Seperti tidak ada siapa pun yang datang ke sini.”

“Itulah yang aku suka,” jawab Toshi tanpa menoleh, suaranya datar namun tegas.

Ia keluar dari mobil, menutup pintu dengan hati-hati. Ruri menyusulnya dengan langkah cepat, kedua tangannya memeluk tubuh karena udara awal musim semi yang menusuk. Mereka berjalan menuju pintu masuk museum, derap langkah mereka bergema lembut di antara keheningan yang terasa hampir sakral.

Begitu memasuki museum, aroma kayu tua menyambut mereka, bercampur dengan udara dingin yang kontras dengan sinar matahari di luar. Ruangan itu sederhana namun tertata rapi. Benda-benda bersejarah dipajang di balik kaca: katana berkilau yang masih terawat sempurna, baju zirah Shinsengumi, surat-surat tua dengan tinta yang mulai memudar, hingga lukisan-lukisan yang menggambarkan sosok Hijikata Toshizou.

Toshi berjalan pelan, matanya menyapu setiap artefak dengan seksama. Ada ketenangan dalam caranya memandang, hampir seperti seseorang yang sedang menyapa kenalan lama. Ruri mengikutinya dari belakang, sesekali berhenti untuk memandangi benda-benda itu tanpa benar-benar tertarik.

Langkah Toshi terhenti di depan sebuah bingkai kecil. Di dalamnya, selembar kertas tua memajang baris-baris puisi kematian Hijikata Toshizou. Dengan perlahan, ia membaca dalam hati:

“Meski ragaku membusuk di Pulau Ezo,
Jiwaku menjaga tuanku di Timur.”

Toshi tidak bergerak, matanya terpaku pada tulisan itu. Selalu ada sesuatu yang menusuk dadanya setiap kali ia melihatnya—perasaan yang familiar namun menyakitkan, seakan kata-kata itu adalah gema dari sesuatu yang pernah ia alami di kehidupan yang entah kapan. Jarinya bahkan sempat tergerak, seakan ingin menyentuh kaca di depannya, tetapi ia urungkan.

Mengapa kata-kata itu terasa begitu dalam? Begitu dekat? Seolah-olah ia pernah mendengar bisikan itu sebelumnya, dalam kehidupan yang tak mungkin diingat. Perasaan asing itu, rasa kehilangan yang tidak ia pahami, terus mencengkeram hatinya setiap kali ia menatap peninggalan Hijikata—seakan-akan ia terhubung pada sesuatu yang tak kasat mata, sebuah kenangan yang terkubur jauh di kedalaman jiwanya.

“Puisi yang menyedihkan,” suara Ruri tiba-tiba memecah keheningan. Ia berjalan mendekat dan berdiri di samping Toshi. “Kenapa sih kau selalu kembali ke tempat ini?”

“Karena aku suka,” jawab Toshi singkat, tanpa menoleh. Tatapannya tetap tertuju pada puisi itu.

“Kau suka atau kau merasa harus datang?” goda Ruri, bibirnya menyunggingkan senyum kecil.

Toshi menghela napas pelan, lalu beralih menuju koleksi katana yang terjajar rapi di balik kaca lainnya. Setiap pedang itu memiliki ukiran unik di gagangnya, sisa-sisa sejarah yang terlihat dingin namun hidup di tangan seorang pejuang. Ruri mengikutinya lagi, tumit sepatunya berderap lembut di lantai kayu tua.

“Kau tahu, tidak banyak pria sepertimu,” lanjut Ruri, suaranya lebih ringan sekarang. “Fotografer sukses, tampan, selalu dikejar-kejar wanita... tapi tetap keras kepala soal pernikahan.”

Toshi melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali menatap koleksi pedang. “Aku hanya tidak tertarik. Hidup sudah cukup rumit tanpa perlu menambahkan beban yang tidak perlu.”

Ruri tertawa kecil, meski suaranya terdengar setengah mengejek. “Kau bicara seperti orang tua saja. Tapi, entah kenapa, aku yakin kau akan berubah pikiran suatu hari nanti.”

“Tidak akan,” jawab Toshi cepat, nyaris memotong. Kali ini, ia menatap Ruri langsung. “Pernikahan bukan untukku.”

“Tapi hidup ini penuh kejutan, Toshi.” Ruri tersenyum miring, matanya menatapnya tajam seakan ingin menguji. “Siapa tahu, suatu hari kau akan bertemu seseorang yang cukup keras kepala untuk membuatmu jatuh cinta. Dan saat itu terjadi, kita lihat apakah kau masih bisa bicara seperti ini.”

Toshi tidak menanggapi. Ia hanya berbalik dan berjalan lebih dalam ke museum, menuju sebuah ruangan kecil di ujung lorong. Ruri menghela napas, lalu menyusulnya dengan langkah malas.

Ruangan itu lebih kecil dan redup, hanya diterangi cahaya alami dari jendela-jendela kecil di dindingnya. Sebuah baju zirah lengkap berdiri kokoh di tengah ruangan, dikelilingi oleh koleksi surat-surat kuno dan lukisan Hijikata. Toshi berdiri diam di sana, menatap zirah itu lama sekali, seakan sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.

“Kadang aku merasa kau terjebak di masa lalu,” gumam Ruri dari belakang.

Toshi tidak bereaksi. Di balik wajahnya yang tenang, pikirannya kembali melayang jauh. Ada sesuatu yang menghubungkannya dengan tempat ini, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Guguran sakura, suara pedang beradu, dan bayangan samar seorang gadis yang selalu datang dalam mimpi-mimpinya—semua itu terasa begitu nyata, seolah pernah benar-benar terjadi.

“Kau selalu mengabaikanku,” gumam Ruri dengan nada usil.

Toshi akhirnya menoleh dan menatapnya sekilas. “Ayo pergi. Kau pasti bosan berada di sini.”

“Bosan? Tidak juga.” Ruri tersenyum kecil sambil mengikuti langkahnya keluar dari ruangan. “Lagipula, tempat ini punya daya tariknya sendiri—meski sedikit aneh, sama sepertimu.”

Toshi hanya menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa. Keduanya berjalan menuju pintu keluar museum, meninggalkan jejak langkah yang samar di lantai kayu tua. Di luar, kelopak sakura terus berjatuhan, menyelimuti halaman kecil itu dengan keindahan yang terasa sendu.

Dan, sekali lagi, Toshi merasa seolah ia baru saja meninggalkan sesuatu yang penting di dalam sana—sesuatu yang menunggu untuk ditemukan kembali.

Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah rasa kosong yang entah berasal dari mana, seperti ada bagian yang hilang dalam dirinya—sebuah teka-teki yang belum terselesaikan. Dan setiap kali ia kembali ke museum itu, perasaan itu muncul lagi, semakin kuat. ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top