🌺26🌺

Sejujurnya aku tidak siap untuk kehilangan Soegi. Sekarang atau nanti, aku tidak akan pernah merasa siap untuk berpisah dari pria yang sangat kucintai itu. Namun, bayangan Bu Ratmi dan ancamannya terus berkelebat di dalam kepalaku. Aku tidak bisa mengorbankan Ibu dan Sekar hanya demi kesenanganku sendiri. Bahkan jika aku bersikeras menikah dengan Soegi, bukan hanya Ibu dan Sekar, tapi aku juga akan terkena imbasnya. Bu Ratmi tidak akan segan untuk melakukan hal yang lebih kejam dari sebelumnya.

"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Mas," ucapku tak ingin memberinya kesempatan lebih dulu untuk bicara.

Kening Soegi mengerut. Ia tampak heran karena aku tidak pernah bersikap seserius ini. Biasanya aku akan langsung bicara tanpa perlu meminta izin seperti sekarang.

"Bicara apa, Kin?" tanya pria itu seusai mencicipi cappucino pesanannya.

Setelah selesai mengajar aku sengaja mengajak Soegi pergi ke kafe bambu. Kupikir ini adalah saatnya untuk mengakhiri hubungan kami. Meski sulit, aku dan Soegi tidak bisa menghindar. Toh, percuma kami mempertahankan hubungan kalau Bu Ratmi sudah bertekad tidak akan pernah merestui hubungan kami.

Awalnya aku merasa ragu karena Soegi pasti akan sangat kaget dengan keputusanku. Tapi, aku tak punya pilihan lain.

Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lantas menaruhnya di atas meja persis di depan Soegi.

"Apa maksud semua ini, Kin?" tanya Soegi dengan mata terbelalak seusai melihat benda-benda yang kutaruh di atas meja di hadapannya, cincin dan selembar kartu ATM yang pernah diberikannya padaku beberapa waktu lalu.

"Maafkan aku, Mas." Tenggorokanku tersendat. Rasanya cukup sulit mengatakan hal ini pada pria yang kucintai. Sepasang mataku juga mulai berkaca-kaca. Kupikir Soegi paham hanya dengan melihat gestur tubuhku.

"Kinanti," desis Soegi. Mimik kecewa terlihat jelas di wajah pria itu. "Kenapa kamu seperti ini, hah? Apa semua ini karena Ibu? Apa Ibu datang menemui kamu? Apa yang dia katakan padamu?" desak pria itu bertubi-tubi.

"Ibu tidak pernah merestui kita, Mas. Sampai kapanpun Ibu tidak akan memberikan restunya pada kita.... "

"Jadi, karena itu kamu menyerah begitu saja? Kamu lebih memilih untuk mundur sebelum berjuang habis-habisan?" tukas Soegi kesal. Sikap Soegi membuatku menyesal telah membawanya ke kafe bambu. Mungkin lebih baik kami mengobrol di dalam mobil atau di tepi jalan yang sepi tanpa perlu ada yang mendengar percakapan kami. "Kin, kamu tahu? Aku sedang berjuang keras untuk meluluhkan hati Ibu. Memang, aku belum berhasil memenangkan restunya. Tapi, tidak seharusnya kamu menyerah segampang ini. Setidaknya kamu bisa bertahan beberapa saat lagi sampai kita menemukan jalan keluar. Putus bukan solusi yang sama-sama kita inginkan. Kamu tahu betul itu, Kin."

"Bukannya aku tidak mau berjuang, Mas. Tapi, aku tidak mau orang-orang yang kucintai terluka. Kumohon kamu bisa mengerti, Mas," pintaku penuh harap.

Semestinya Soegi paham jika aku berada di posisi yang sulit. Jalan satu-satunya hanyalah berpisah. Karena hanya itu cara untuk menyelamatkan Ibu dan Sekar. Meskipun aku dan Soegi akan terluka nantinya.

"Pasti ada cara lain, Kin." Pria itu masih memiliki keyakinan yang sama. Soegi belum menyerah hingga akhir. Namun, aku tidak sependapat dengannya.

"Cara apa? Tidak ada, Mas. Kalaupun ada, pasti akan ada salah satu dari kita yang terluka. Entah itu kita atau keluarga kita. Dan aku tidak mau menyakiti keluargaku, Mas. Cukup aku saja yang terluka, jangan mereka," tandasku dengan suara nyaris goyah. Tangisku hampir saja pecah.

Soegi terdiam cukup lama. Isi benaknya tidak bisa terbaca olehku, tapi aku bisa menebak.

"Kita kawin lari saja. Bagaimana?"

Mataku terbelalak mendengar ide gila Soegi.

"Mas!" Aku spontan berseru saking kagetnya. Tak peduli pengunjung kafe bambu yang lain menatap ke arahku.

"Kita tidak punya cara lain, Kin. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Kinanti. Aku bahkan sudah mempersiapkan rumah untuk kita tinggali nanti."

"Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan, Mas. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu Mas Soegi sudah berjanji tidak akan pernah memberikan restunya pada kita. Dan aku tidak mau melawan kehendak orang tua, Mas," ucapku dengan menahan desakan air mata yang terus berusaha menembus bendungan yang kubangun. "Kalau kita memang berjodoh, kelak pasti kita dipertemukan kembali, Mas. Entah itu kapan, berapa tahun lagi, Tuhan pasti menunjukkan jalan untuk kita. Jika memang kita tidak berjodoh satu sama lain, kuharap Mas bertemu dengan wanita yang baik dan mencintai Mas dengan tulus."

"Jangan bicara omong kosong, Kin. Aku tidak suka kamu bicara hal-hal seperti itu. Ayo, kuantar pulang," ucap Soegi yang lekas berdiri dan bersiap hendak pergi dari meja kami. Padahal aku belum sempat menyentuh cangkir cappucino milikku.

Aku tahu Soegi sangat kecewa dengan keputusanku. Aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Kuharap Soegi akan mengerti.

Selama dalam perjalanan pergi dari kafe bambu sama sekali tidak ada percakapan yang terjadi di antara aku dan Soegi .

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top