🌺24🌺
Faktanya kedatangan Soegi keesokan paginya tak sepenuhnya bisa menenangkan perasaanku. Memang kami sangat bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkan aku, Ibu, dan Sekar. Akan tetapi, ganjalan dalam benakku justru kian menumpuk dengan adanya kebakaran itu. Seolah-olah keluarga kami sedang dinaungi kesialan bertubi-tubi, meski sesungguhnya aku tidak pernah memercayai hal-hal semacam itu.
Soegi terus meyakinkan jika ia akan turut membantu biaya renovasi dapur rumah kami. Pria itu juga menjanjikan akan membelikan peralatan dapur baru untuk Ibu. Padahal kami sudah menolak berkali-kali, tapi Soegi tetap saja ngotot.
Sementara itu polisi menyebutkan bahwa kebakaran dapur rumah kami bukan disebabkan oleh korsleting listrik, melainkan disebabkan oleh cairan yang mudah terbakar. Mereka menemukan sisa pembakaran yang dihasilkan oleh bensin dan juga sebuah korek api di bagian titik awal kebakaran. Sedangkan di semak-semak bagian belakang rumah ditemukan sebuah botol bekas air mineral yang disinyalir dipakai untuk wadah menyimpan bensin. Agaknya seseorang telah dengan sengaja membakar dapur rumah kami dengan tujuan tertentu.
Aku bukan berprasangka buruk pada Bu Ratmi, tapi kejadian-kejadian itu tampak disengaja. Dan hanya Bu Ratmi yang memiliki kepentingan untuk menghancurkan hidupku. Wanita itu punya seribu alasan untuk menyingkirkanku dari sisi Soegi. Apa lagi yang mesti kuragukan? Apa aku salah kalau menuduh wanita itu?
Jika ini drama, aku pasti sudah mendatangi wanita itu untuk melabraknya. Namun, ini adalah kehidupan nyata. Nyaliku tidak sebesar itu untuk mendatangi Bu Ratmi dan meminta pengakuannya. Karakterku tidak disetel untuk menjadi seorang wanita yang pemberani dan pantang menyerah. Ada kalanya sesekali aku merasa tumbang dan tak punya harapan. Namun, berkali-kali pula Soegi menumbuhkan kembali harapan itu. Berkat Soegi aku bisa bertahan sampai sejauh ini.
Malam merambat datang. Orang-orang yang tadi datang dan membantu membersihkan dapur telah kembali ke rumah masing masing sejak sore tadi. Soegi juga. Pria itu pamit sekitar jam tiga sore.
"Mbak Kin."
Suara kalem Sekar menyapa gendang telingaku. Gadis itu melangkah ke dekatku lantas mengambil tempat duduk.
Aku sedang duduk di tangga teras, menikmati udara malam dan menunggu bintang-bintang muncul menghiasi langit.
"Apa tanganmu masih sakit?" tanyaku setelah Sekar berhasil duduk di sebelahku.
"Sedikit."
"Ibu sedang apa?"
"Ibu sedang beristirahat."
Ibu pasti letih setelah semalaman tidak tidur.
"Mbak Kin?"
"Hmm?" Aku menoleh ke arah Sekar. "Ada apa, Kar?"
"Mbak Kin mengetahui sesuatu, kan?"
Keningku otomatis mengerut mendengar pertanyaan Sekar.
"Sesuatu apa?" balasku.
"Tentang kebakaran itu dan juga kejadian-kejadian sebelum ini."
Aku bergeming. Rupanya Sekar turut mencermati situasi yang terjadi belakangan ini.
"Mbak Kin tahu siapa pelakunya, kan?" Gadis itu mulai mendesakku.
"Bagaimana aku bisa tahu pelakunya, Kar?"
"Memang, Mbak Kin tidak melihat pelakunya secara langsung. Tapi, Mbak Kin bisa menduga siapa pelakunya, kan?"
"Meskipun aku bisa menebak siapa pelakunya, tapi tebakanku belum tentu tepat, kan?" Sekar perlu diingatkan bahwa tebak menebak siapa pelaku kejahatan tidak segampang itu. Sebelum ada bukti dan saksi, kita tidak boleh menuduh orang sembarangan.
"Apa Mbak Kin juga berpikiran sama denganku?"
"Maksudnya?" Sekar kembali memaksaku mengerutkan kening.
"Mbak Kin juga menduga pelakunya adalah Ibunya Mas Soegi, kan?"
Aku tercekat. Tebakan Sekar tepat sasaran.
"Kenapa kamu menduga seperti itu?" Aku berusaha untuk memancing pendapat Sekar sebelum mengakui jika tebakannya benar.
"Karena Ibunya Mas Soegi punya motif yang kuat untuk mencelakai keluarga kita. Dia bahkan datang kemari untuk memperingatkan Mbak Kin."
Saat Bu Ratmi datang ke rumah kami tempo hari, Sekar juga ada. Ia pasti mendengar semua perkataan Bu Ratmi.
"Mbak Kin." Dalam keheningan, Sekar berusaha menyentuh pundakku. "Kurasa sebaiknya Mbak Kin putus dari Mas Soegi... "
Pernyataan Sekar seketika membuatku terperanjat. Bagaimana bisa Sekar menyuruhku putus dari Soegi, sedangkan waktu itu ia memberi saran agar aku dan Soegi berbohong pada Bu Ratmi demi mendapatkan restu dari wanita itu?
"Putus bagaimana, Kar? Aku dan Mas Soegi berencana akan menikah meski Ibunya tidak memberi restu. Mas Soegi juga sudah menyiapkan rumah untuk kami tinggali setelah menikah nanti."
"Apa Mbak Kin seegois itu? Mbak Kin lihat sendiri kan, keluarga kita ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Mbak Kin sendiri juga tahu kalau Ibunya Mas Soegi melakukan semua itu untuk meneror keluarga kita, supaya Mbak Kin menjauh dari kehidupan Mas Soegi. Mbak Kin tidak mau aku dan Ibu terluka, bukan?"
Bibirku bungkam. Seolah-olah ada lem yang merekat kuat dan membuatku tak bisa membuka mulut.
"Setidaknya jangan biarkan Ibu ikut menanggung semua ini, Mbak Kin. Kasihan Ibu," imbuh Sekar berusaha menggugah perasaanku yang terdalam.
Setelah usaha katering Ibu sepi, bahkan bisa dibilang nyaris gulung tikar, Ibu kecopetan di pasar. Lalu dapur rumah kami terbakar. Bukankah itu artinya ada yang berniat ingin mematikan usaha kami? Dan di sini Ibu lah yang paling menderita.
Tapi, di sisi lain aku tidak ingin berpisah dengan Soegi. Jika bukan Soegi, lalu aku harus dengan siapa? Apakah ada pria yang sebaik dirinya? Pria yang dengan tulus mencintaiku tanpa memandang status.
Apakah tidak ada jalan tengah yang bisa kupilih dan tidak melukai siapapun?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top