🌺23🌺

Beberapa hari belakangan aku terus merenungkan perkataan Soegi. Jika Bu Ratmi tidak pernah mau memberikan restunya pada kami, jalan satu-satunya hanyalah menikah tanpa restu dari wanita itu. Restu dari ayah Soegi sudah cukup bagi kami untuk melenggang ke jenjang pernikahan. Kupikir mungkin itu jalan keluar yang mesti aku dan Soegi tempuh. Karena kami tak mungkin memilih untuk berpisah. Namun, yang masih mengganjal pikiran adalah kejadian demi kejadian yang keluarga kami alami. Katakanlah itu semua rekayasa Bu Ratmi, apa ia tidak akan gelap mata seandainya aku dan Soegi nekat menikah meski tak pernah mendapat restunya?

Sungguh, ini pilihan yang sulit.

Suara jam dinding yang berdentang di kejauhan menyadarkanku jika saat ini sudah pukul satu dini hari. Aku masih terjaga dengan sebuah buku dalam genggaman, akan tetapi sebenarnya pikiranku merambah ke kejauhan.

Kedua mataku belum disergap rasa kantuk, tapi sesulit apapun aku harus tetap mencoba untuk tidur. Toh, tidak ada yang bisa kulakukan malam-malam begini. Besok aku juga harus pergi mengajar seperti biasa.

Aku baru saja membenahi letak selimut dan memejamkan mata, ketika tiba-tiba terdengar sebuah teriakan. Asalnya dari arah dapur. Dan aku sangat yakin jika yang kudengar itu adalah suara Ibu.

"Tolong! Tolong! Kebakaran!"

Dengan gerakan cepat aku menendang ujung selimut dan bergegas turun dari atas tempat tidur, lantas berlari ke arah dapur. Suara Ibu yang meminta tolong membuatku panik setengah mati. 

Area dapur tampak dipenuhi dengan kepulan asap berwarna hitam. Aroma hangus dengan cepat memenuhi segenap penjuru rumah.

"Dapur kita terbakar, Kin," beritahu Ibu yang tampak kebingungan di depan dapur. Wajahnya terlihat ketakutan dan sepasang matanya basah.

"Ada apa, Mbak Kin?"

Aku belum sempat melakukan sesuatu sekalipun itu hanya untuk memperingatkan Ibu agar menjauh dari area dapur saat Sekar mendadak muncul di samping tubuhku.

"Cepat kamu telepon damkar, Kar," suruhku pada Sekar.

"Ya, ya, Mbak." Sekar membalik tubuh dan berlari ke kamarnya. Selang tak lama kemudian Sekar keluar dengan membawa ponsel di tangan.

"Aku sudah telepon damkar, Mbak," lapornya.

"Ya."

Hal pertama yang mesti kulakukan adalah menyelamatkan Ibu. Wanita itu yang paling tampak panik dan syok melihat api kian membesar melahap semua yang ada di dapur. Aku khawatir kalau tabung gas yang ada di dapur ikut meledak. Jika tim damkar tidak cepat datang, maka rumah kami akan habis dilalap si jago merah. 

"Bawa Ibu keluar, Kar!" Aku berteriak nyalang pada Sekar. "Aku akan coba memadamkan apinya. Kamu coba cari bantuan ke tetangga."

"Ya, Mbak." Sekar langsung mematuhi perintahku dan bergegas menarik tangan Ibu. Sementara aku buru-buru pergi ke kamar mandi untuk mengambil seember air. Semoga masih ada waktu sebelum api menyambar tabung gas, harapku dalam hati.

**

Aku, Ibu, dan Sekar hanya bisa terduduk lemas di atas tanah seraya menerawang kosong ke arah rumah kami. Syukurlah, Tuhan masih menyelamatkan kami bertiga. Masalah rumah, hanya sebagian ruangan dapur yang terbakar. Sementara ruang lain tidak tersentuh api sama sekali.

Setelah Ibu dan Sekar berlari keluar rumah, tidak selang lama, para tetangga berdatangan ke rumah kami untuk membantu memadamkan api. Sekar dan Ibu yang sudah memanggil mereka untuk meminta bantuan. Dan berkat mereka api bisa segera dipadamkan dalam waktu tidak kurang dari 15 menit. Api juga belum sampai menyambar tabung gas yang biasa ditaruh di bagian sudut dapur.

Kulihat air mata Ibu merembes keluar dari ujung matanya. Wanita itu tampak berduka setelah apa yang menimpa rumah kami. Begitu juga dengan Sekar. Ia tampak sedih, tapi gadis itu tidak menitikkan air mata sama sekali. Sekar jauh lebih kuat menerima kenyataan ketimbang Ibu.

"Apa kalian baik-baik saja? Apa ada yang terluka?

Tim damkar juga telah tiba dan selesai melakukan penyiraman ulang guna mengantisipasi api yang mungkin saja bisa muncul lagi. Mereka tiba sesaat setelah api berhasil dipadamkan oleh warga sekitar. Salah seorang dari mereka menegur kami.

"Uhmm... Apa Ibu terluka?" Sekar mengulangi pertanyaan dari salah satu anggota tim damkar itu.

"Tidak. Ibu baik-baik saja."

"Mbak Kin baik-baik saja, kan?" Giliran aku yang dicecar pertanyaan oleh Sekar.

Aku mengangguk. Tanpa kata iya.

"Kami baik-baik saja," ucap Sekar pada pria berseragam khas anggota tim damkar.

"Baiklah. Kalau kalian butuh sesuatu, panggil saya atau anggota yang lain."

Pria itu melenggang pergi untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain usai memberikan kami sebuah botol air mineral.

Sementara Sekar dan Ibu terlibat perbincangan tentang peristiwa yang baru saja terjadi, aku justru tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kenapa hingga detik ini pikiranku terus tertuju pada Bu Ratmi?  Semoga kebakaran ini murni karena korsleting listrik, bukan sengaja dibakar oleh orang suruhan Bu Ratmi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top