🌺21🌺
Tangan kiri Sekar ternyata retak. Aku tahu itu sakit, tapi Sekar masih bisa menyembunyikan rasa sakitnya dengan tersenyum.
Aku telah duduk di atas kursi kayu dan siap mendengarkan penuturan Sekar.
"Tadi saat aku mau pergi ke pasar, motorku diserempet mobil dari samping, Mbak Kin." Sekar mulai menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpanya.
"Kok bisa? Apa kamu naik motornya terlalu ke tengah?" cecarku.
"Tidak, Mbak."
"Terus? Apa jalannya berlubang?"
"Tidak. Jalannya mulus."
"Terus?" Pasti ada sesuatu alasan yang membuat mobil itu menyerempet motor Sekar.
Sekar terdiam sejenak.
"Mobil itu jalan terlalu ke kiri, Mbak. Jadinya aku keserempet."
"Lalu pemilik mobil itu? Apa dia berhenti untuk menolong kamu?"
Kepala Sekar menggeleng dengan tegas.
"Tidak. Dia kabur. Setelah aku jatuh, pemilik mobil itu malah tancap gas."
"Kabur?"
Pertanyaanku dibalas dengan satu anggukan kecil.
"Entah kenapa aku merasa mobil itu sengaja ingin menabrakku, Mbak Kin. Padahal situasi jalan saat itu sepi. Seharusnya mobil itu menyalipku dan pergi. Tapi mobil itu justru berjalan pelan di belakang motorku seolah menunggu momen yang tepat untuk menabrakku. Sepertinya dia sudah merencanakan dari awal untuk mencelakaiku," papar Sekar mengutarakan pengamatannya.
Pemaparan Sekar membuatku tercenung.
Belakangan ini terjadi beberapa peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam kehidupan kami. Pertama; katering yang sepi tanpa pesanan masuk. Kedua; perusakan sekolah tempatku mengajar. Ketiga; seseorang telah menyerempetkan mobilnya pada motor Sekar dengan sengaja. Ketiga peristiwa itu berhubungan langsung denganku, tapi aku masih tidak yakin jika ada orang yang dengan sengaja melakukan hal-hal itu. Mungkin dalam film hal itu bisa terjadi. Seseorang yang bisa merekayasa kejadian demi kejadian hanya untuk meneror orang lain. Tapi, dalam kehidupan nyata, apa mungkin bisa?
"Mbak Kin mencurigai seseorang?"
Pertanyaan Sekar mengusik renunganku.
"Tidak. Kamu?" Aku balas bertanya padanya.
"Aku tidak tahu siapa orangnya, tapi ... "
"Tapi apa?" Sekar seperti sedang melempar kuis ketika ia dengan sengaja menggantung kalimat.
"Aku rasa, ini ada hubungannya dengan katering kita."
"Apa itu mungkin?"
"Menurutku mungkin. Siapapun orang itu, dia punya rencana jahat pada kita. Pertama, dia ingin membuat usaha kita bangkrut. Dan yang kedua, dia ingin mencelakai keluarga kita. Bisa jadi dia akan melakukan hal lain setelah ini," ujar Sekar.
Jika dipikir-pikir ucapan Sekar masuk akal juga. Semua itu mungkin saja benar.
"Sebenarnya sekolah tempat aku mengajar juga diacak-acak orang, Kar." Aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan tentang masalah sekolah kami. Barangkali ini merupakan sebuah petunjuk yang berkaitan dengan peristiwa yang menimpa keluarga kami.
"Maksud Mbak Kin ada pencuri masuk ke sekolah?"
"Aku tidak yakin kalau orang itu berniat untuk mencuri. Karena tidak ada barang yang hilang. Tapi yang pasti orang itu telah mengacak-acak ruang kelas dan ruang guru," tuturku.
"Ya, ampun," desis Sekar menunjukkan rasa empatinya.
"Apa menurutmu ini juga ada hubungannya dengan keluarga kita?" tanyaku meminta pendapat Sekar. Meskipun pendapatnya belum tentu akurat 100 persen. Tapi paling tidak aku punya gambaran tentang masalah ini.
"Bisa jadi, Mbak Kin."
Benarkah? Jika memang benar ada orang yang ingin berbuat jahat pada keluarga kami, itu artinya kami harus ekstra berhati-hati.
"Tapi kira-kira siapa orang itu, Kar?"
"Aku tidak tahu, Mbak Kin."
Padahal aku berharap Sekar menyebutkan satu nama, sekalipun itu hanya asal tebak.
"Apa Mbak Kin tidak mencurigai seseorang? Apa Mbak Kin pernah ada masalah dengan seseorang?" tanya Sekar.
Dengan gerakan ragu aku menggelengkan kepala. Rasanya aku tidak pernah punya masalah dengan orang lain, kecuali ...
"Apa mungkin... "
"Apa, Mbak?" Sekar langsung mencecarku.
Rasa ragu tiba-tiba saja menyergap pikiranku. Pertanyaan Sekar menuntunku pada kecurigaan yang mengarah pada Ibunya Soegi. Tapi mungkinkah itu? Pasalnya satu-satunya orang yang dengan terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya padaku hanyalah Bu Ratmi. Wanita itu bahkan mengancam akan menghancurkan hidupku.
"Mbak Kin... " Tangan kanan Sekar menyentuh lenganku.
"Aku merasa tidak punya masalah dengan orang lain. Mungkin kejadian ini hanya kebetulan saja," tandasku tak ingin menggiring Sekar pada dugaan-dugaan negatif tentang Bu Ratmi. Kalaupun itu tidak benar, kecurigaan kami hanya akan berujung pada fitnah.
"Kebetulan bagaimana, Mbak? Aku jelas-jelas melihat mobil itu sengaja menyerempet motorku. Sayangnya tidak ada saksi mata saat peristiwa itu terjadi."
"Sudahlah, Kar. Tidak perlu dipikirkan lagi. Sebaiknya kamu istirahat."
"Mbak Kin mengetahui sesuatu, kan?"
"Hah?" Aku batal mengangkat tubuh dari atas kursi kayu yang biasa dipakai Sekar untuk belajar.
"Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan Ibunya Mas Soegi tempo hari?"
Aku bergeming. Sekar lebih pintar dari yang kukira. Firasatnya cukup bagus. Tapi, aku tidak mau membiarkan adik perempuanku itu memiliki pikiran negatif dalam dirinya, terlebih lagi tidak ada bukti sama sekali yang mengarah pada pelaku.
"Tidak ada bukti tentang itu."
"Tapi bisa saja dia membayar seseorang untuk melakukan itu, Mbak Kin."
"Entahlah." Aku menarik napas panjang dan mengangkat tubuh. "Aku mau ke kamar dulu. Aku capek," pamitku bermaksud menyudahi obrolan kami.
Jauh di dalam hatiku berharap semoga dugaanku salah. Semoga bukan Bu Ratmi dalang di balik semua peristiwa itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top