🌺20🌺
"Apa ada seseorang yang kamu curigai, Kin? Semisal orang yang tinggal di sekitar sekolah atau penduduk di sana. Bisa saja kan pelakunya orang terdekat?" ucap Soegi usai mendengarkan penuturanku tentang sekolah kami yang sengaja dirusak oleh seseorang semalam.
Aku menggeleng. Kepalaku benar-benar kosong. Tanpa ide. Hubunganku dan Soegi yang tak kunjung mendapatkan restu dari Bu Ratmi sudah cukup membebani pikiran. Belum lagi soal katering Ibu yang terus-terusan sepi. Lalu sekolah kami yang sengaja dirusak oleh orang yang tak dikenal.
"Tidak ada, Mas. Sepengetahuanku tidak ada orang yang mencurigakan. Tetangga sekitar juga orangnya baik-baik. Aku tidak yakin jika pelakunya orang dekat," ujarku seraya mengaduk isi mangkuk. Mi ayam milikku masih tersisa setengah, tapi aku telah kehilangan selera makan. Padahal mi ayam di sana enak dan kami sudah langganan beberapa bulan terakhir.
"Mungkin dia pencuri spesialis sekolahan."
"Ya, bisa jadi. Tapi untungnya kami tidak pernah menyimpan uang di sekolah. Jadi kami tidak kehilangan apapun. Hanya beberapa bangku dan barang milik anak-anak yang rusak."
"Tapi kalian sudah lapor polisi, kan?"
"Sudah, Mas."
"Semoga pelakunya cepat tertangkap. Aku penasaran siapa orang itu," kata Soegi terkesan antusias dengan kasus perusakan di tempatku mengajar.
Sejak tadi Soegi sama sekali tidak menyinggung soal Ibunya. Mungkinkah Soegi tidak tahu kedatangan Ibunya tempo hari ke rumah kami?
"Bagaimana dengan Ibu, Mas?" Dengan penuh hati-hati aku mulai menyinggung soal Bu Ratmi. Meski sebenarnya aku sudah bisa menebak kalau situasinya masih sama, mengingat ancaman Bu Ratmi yang ditujukan padaku saat ia datang ke rumah kami. Mustahil ada perubahan menuju ke arah yang lebih baik setelah wanita itu mengatakan akan menghancurkan hidupku. Orang tidak akan berubah segampang itu
Soegi tidak langsung menyahut. Pria itu tampak susah payah menelan makanannya.
"Ibu masih seperti itu, Kin. Kamu yang sabar, ya."
Aku mengembangkan senyum tipis.
"Ya, Mas," balasku meskipun sesungguhnya batinku gamang. Aku mulai tidak percaya diri dan keraguan merayap perlahan ke dalam dadaku. Bersanding dengan Soegi di atas pelaminan seolah kian jauh dari angan-angan. Namun, selain bersabar, apa ada hal lain yang bisa kulakukan? Kurasa sekarang bukan saatnya untuk menyerah.
"Setelah ini kita mau ke mana? Kamu mau jalan-jalan? Atau kita pergi ke toko mebel yang waktu itu kita datangi? Kita masih belum membeli tempat tidur, lemari, ... " tawar Soegi yang telah berhasil menandaskan mi ayamnya lebih dulu.
"Maaf, Mas." Aku terpaksa memotong ucapan Soegi. "Aku sangat capek hari ini. Mas kan tahu kalau sekolah kami diacak-acak. Aku dan guru-guru lain tadi habis kerja bakti membereskan semuanya," ucapku memberi pengertian agar Soegi tidak merasa kecewa karena penawarannya telah kutolak.
"Oh, iya. Maaf, aku lupa." Soegi menepuk jidatnya seperti orang linglung. Kemudian pria itu melepaskan tawa renyah. "Akhir-akhir ini aku sedikit pikun. Maaf ya, Kin."
"Tidak apa-apa, Mas."
Soegi juga pasti banyak beban di pikirannya. Pertentangan dengan Ibunya merupakan sebuah masalah pelik yang belum terpecahkan, bahkan nyaris tanpa solusi yang tepat. Pasti akan ada pihak yang tersakiti apapun penyelesaiannya.
"Kita pulang sekarang?"
"Terserah Mas saja." Aku juga ingin cepat-cepat mengistirahatkan tubuhku setelah kerja keras hari ini.
"Tapi kita mampir dulu beli gorengan ya, Kin. Tadi Anjani titip gorengan. Sekalian kita beli buat Ibu kamu dan Sekar."
"Ya, Mas."
Begitulah Soegi. Tiap kali ia mengajakku keluar untuk makan atau sekadar jalan-jalan, pria itu tak pernah lupa untuk membelikan Ibu dan Sekar makanan. Sekalipun aku sudah melarangnya karena di rumah kami juga banyak makanan sisa katering, Soegi tetap ngotot untuk membelikan Ibu dan Sekar makanan. Tapi, hampir dua minggu ini tidak ada makanan sisa katering seperti yang sudah-sudah. Sekar pasti senang dibawakan gorengan.
Setelah membeli gorengan, mobil yang kami tumpangi melaju ke arah sekolah tempatku mengajar. Tadi motorku kutitipkan pada pemilik rumah yang letaknya bersebelahan dengan sekolah.
"Nanti kalau sudah sampai di rumah kabari aku ya, Kin."
"Ya, Mas. Hati-hati nyetirnya."
"Kamu juga."
Mobil yang dikendarai Soegi meluncur menjauh, berlawanan dengan arah menuju ke rumah kami. Setidaknya pergi bersama Soegi sudah banyak mengurangi beban hari ini. Perasaanku sedikit lebih baik sekarang.
Aku tiba di rumah sekitar jam dua siang. Matahari masih di atas kepala dan sinarnya seterik dua jam lalu. Membuatku ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur.
"Kamu baru pulang, Kin?" tegur Ibu begitu melihatku memasuki ruang tamu. Sementara ia sendiri tampak keluar dari kamar Sekar dengan membawa sebuah gelas kosong. Wajahnya terlihat letih dan tak bersemangat. Padahal Ibu selalu berpikiran positif sekalipun usaha kateringnya sepi.
"Apa terjadi sesuatu dengan Sekar, Bu? Apa dia sakit?" Aku langsung memberondong Ibu dengan pertanyaan. Pasalnya apa yang dilakukan Ibu sekarang tak pernah ia lakukan sebelumnya, kecuali saat Sekar sedang sakit dan tak bisa bangun dari atas tempat tidur. Sekar tidak akan pernah menyuruh Ibu hanya untuk mengambilkan air minum.
Ibu mengambil napas sejenak.
"Sekar jatuh dari motor," ungkap Ibu seketika membuatku berjengit.
"Apa?!" Aku bergegas mengambil langkah menuju ke dalam kamar Sekar.
Sekar kecelakaan? Padahal selama ini Sekar sangat lihai menaiki motor. Ia lebih jago ketimbang aku, tapi kok bisa Sekar jatuh dari motor?
Sekar terlihat berbaring di atas tempat tidur dengan mata terbuka. Wajahnya terlihat baik-baik saja, tanpa goresan luka sedikitpun. Tapi, tangan kanan Sekar tampak diperban.
"Apa yang terjadi, Kar?" Aku menghambur ke arah Sekar dengan panik.
"Mbak Kin?" Sekar kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba.
"Mana lagi yang terluka?" tanyaku seraya memeriksa kedua kaki Sekar, lantas berpindah ke bagian lain. "Apa itu sakit?" Aku menunjuk tangan Sekar yang terbalut perban.
"Tanganku yang terluka, Mbak Kin." Gadis itu mengangkat tangan kirinya untuk menunjukkan lukanya padaku. "Lainnya cuma goresan kecil, kok. Mbak Kin tidak usah cemas." Sekar memamerkan barisan giginya demi menenangkan perasaanku.
"Bagaimana kamu bisa jatuh, Kar? Apa ada lubang di jalan?" cecarku ingin mengetahui kronologi kejadian yang sebenarnya.
Bukankah belum lama ini pemerintah daerah telah memperbaiki jalan-jalan rusak di kawasan tempat tinggal kami? Semestinya tidak ada lagi jalan berlubang yang bisa membahayakan pengguna jalan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top