🌺18🌺
Usaha katering Ibu benar-benar di ambang kebangkrutan. Aku menyimpulkan seperti itu setelah jangka waktu seminggu tidak ada pesanan masuk. Meskipun hanya kue-kue sedehana dan jumlahnya hanya beberapa puluh saja, pesanan selalu saja datang. Entah itu dua atau tiga hari sekali. Tapi ini sudah seminggu dan menurutku aneh.
Agaknya Ibu masih berpikiran positif mengenai sepinya pesanan katering kami. Sementara Sekar lebih suka menghubung-hubungkan masalah ini dengan hal mistis. Beberapa kali aku memergoki Sekar menonton video tentang hal-hal gaib di internet. Gadis itu masih memercayai dugaannya soal guna-guna. Sedangkan aku, belum menemukan kesimpulan yang tepat untuk masalah ini. Tak seperti Sekar, aku tidak ingin menghubungkan soal ini dengan hal-hal mistis.
"Mbak Kin!"
Lamunanku goyah saat telingaku menangkap suara panik Sekar. Gadis itu mendadak menerobos masuk ke dalam kamarku yang hanya kututup begitu saja tanpa kukunci sebelumnya.
Hari sudah sore saat Sekar menghampiri tempat dudukku dengan wajah tegang. Aku belum mandi dan tampaknya Sekar juga. Di rumah ini ia yang suka mandi paling akhir.
"Ada apa, Kar?" Aku menutup buku di depanku begitu menyadari kedatangan Sekar. Sebenarnya aku sudah tidak membaca sejak beberapa menit yang lalu karena tiba-tiba pikiranku penuh dengan lamunan.
"Ada Ibunya Mas Soegi, Mbak," beritahu gadis itu dengan suara rendah. Ia sedikit menyondongkan tubuh ke arahku.
Bu Ratmi?
Aku terenyak. Pertanyaan-pertanyaan seputar wanita itu berkelebatan satu per satu di benakku.
Bu Ratmi pernah datang ke rumah kami sebelumnya dan ini merupakan kunjungan keduanya.
Sebelum bangkit dari tempat dudukku, aku menghirup napas dalam-dalam demi mengumpulkan segenap keberanian dan energi untuk menghadapi wanita itu. Firasatku sungguh buruk kali ini.
Setelah merasa cukup percaya diri dan mental yang lebih siap, aku berjalan keluar kamar untuk bertemu dengan wanita itu.
Bu Ratmi masih tampak elegan seperti yang pernah kulihat. Rambutnya disanggul dengan model sederhana. Pakaian yang melekat di tubuhnya merupakan setelan berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga. Bahan pakaian yang ia kenakan terlihat mahal. Sepatunya berhak 2 sentimeter dan bermerk. Sedangkan tas yang ia bawa kali ini berbeda. Padahal kalau hanya untuk ke rumah kami ia tak perlu membawa-bawa tas sebagus itu. Nanti malah kotor dan turun kelas karena pemiliknya membawa tas mahal ke rumah orang miskin seperti kami.
Dengan perasaan campur aduk aku berjalan mendekat ke kursi ruang tamu.
"Bukankah aku sudah peringatkan supaya kamu menjauhi putraku?" Bu Ratmi tampak tak ingin berbasa-basi. Kedua matanya menyorot sekilas ke arah jari manisku yang terisi cincin pemberian Soegi. Aku lupa untuk menyembunyikan benda itu dari tatapan Bu Ratmi. "Apa Soegi sudah melamarmu?"
Meski aku sadar sudah terlambat untuk menyembunyikan cincin bermata satu itu dari pandangan Bu Ratmi, anehnya aku masih berniat untuk menutupi cincin pemberian Soegi itu dengan jari jemariku yang lain. Tatapanku jatuh ke bawah seolah rasa bersalah tiba-tiba menyergap perasaan.
"Apa aku harus mengulangi ucapanku tempo hari?" hardik Bu Ratmi kembali. Wanita itu semakin gencar mengintimidasi. Sementara Ibu tidak ada di sana. Ibu sedang mengikuti pengajian dan baru kembali beberapa saat lagi.
Maksudnya ucapan tentang aku dan Soegi yang dipisahkan tembok kokoh bernama perbedaan? Darah kami yang tak sejenis? Aku yang hanya rakyat biasa, sementara Soegi keturunan ningrat. Aku tak pantas bersanding dengan Soegi.
"Sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian berdua. Meskipun kamu dan Soegi kawin lari, itu tidak akan membuatku memberikan restu untuk kalian berdua. Sebaiknya kamu lebih sadar diri."
Untuk kesekian kali aku merasa harga diriku terinjak. Bukan hanya terinjak, tapi terenggut paksa. Aku seperti orang hina yang tidak punya harga diri di mata Ibu Soegi.
"Kami saling mencintai, Bu. Apa Ibu tidak ingin melihat putra Ibu bahagia?"Suaraku pasti terdengar seperti rengekan pengemis yang meminta belas kasih setelah dua hari tak makan.
"Ya, tentu saja. Tapi aku ingin putraku bahagia bersama dengan orang yang sepadan dengan dia."
"Bagaimana kalau saya bisa membuat putra Ibu bahagia?" tanyaku sok berani. Padahal di dalam dadaku sama sekali tak bersisa harapan secuil pun.
"Apa kamu merasa sepercaya diri itu?"
Sebenarnya tidak. Aku bahkan telah kehilangan rasa percaya diri sejak diberitahu bahwa wanita itu datang ke rumah kami.
"Kalau kamu tidak percaya diri, sebaiknya kamu hentikan niat kamu. Atau...apa kamu ingin kuhentikan dengan paksa?" Senyum sinis tersungging di bibir tipis milik Bu Ratmi yang terpoles lipstik berwarna merah marun.
Apa Bu Ratmi akan bertindak sejauh itu? Memangnya apa yang akan dilakukan wanita itu padaku?
Sampai sejauh ini bibirku masih bungkam. Ternyata benar, uang bisa membeli rasa percaya diri. Seandainya aku memiliki kekayaan melimpah, saat ini aku tidak akan merasa kehilangan nyali di depan Bu Ratmi.
"Ingat baik-baik, Kinanti." Akhirnya wanita itu bangkit dari kursi. Agaknya kebisuanku telah membuatnya merasa bosan menunggu. "Kalau aku masih mendengar kamu bertemu dengan Soegi lagi, lihat saja. Aku akan membuat hidupmu hancur. Camkan itu," ucap Bu Ratmi terang-terangan mengancamku.
Aku masih terpaku ketika wanita itu lewat di hadapanku dan berjalan menuju ke arah pintu keluar.
Saat melihat punggung Bu Ratmi bergerak menjauh, yang terlintas di pikiranku hanyalah tentang cerita sinetron di televisi. Agaknya kejadian nyata seperti yang baru kualami bisa menginspirasi seseorang untuk menulis sebuah cerita.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top