🌺17🌺
Setelah kejadian hari itu, usaha katering yang dijalankan Ibu dan Sekar mulai mengalami penurunan yang cukup signifikan. Selama tiga hari berturut-turut tidak ada pesanan yang masuk, padahal biasanya setiap hari ada saja orang yang memesan makanan pada Ibu, entah itu kue atau sekadar nasi kuning untuk acara syukuran. Beberapa pesanan yang masuk jauh-jauh hari juga dibatalkan sepihak tanpa alasan yang jelas. Bagiku ini aneh. Seolah-olah pintu rezeki Ibu tiba-tiba tertutup begitu saja.
Kue buatan Ibu rasanya enak. Kualitasnya bagus. Kebersihannya juga terjamin. Ibu tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan pekerjaan apalagi ini soal makanan. Jangan sampai ada dampak buruk bagi orang yang memakan makanan buatan Ibu. Dan lagi selama ini tidak pernah ada komplain soal katering kami. Pelanggan Ibu sudah puluhan banyaknya. Dan mereka selalu merasa puas memesan di katering kami. Kalau tiba-tiba tidak ada orang yang memesan katering kami, bukankah itu aneh?
"Aneh apanya, Kin?" Ibu menoleh ke arahku sebentar, lalu melanjutkan aktivitasnya mencuci piring. "Kalau tidak ada orang yang memesan katering kita, mungkin memang belum ada orang yang membutuhkan jasa kita."
Ibu selalu suka menyalahkan diri sendiri. Aku sudah hafal itu.
"Tapi ini sudah tiga hari, Bu. Biasanya tidak seperti ini, kan?"
"Namanya juga belum rezeki, Kin. Kita tidak boleh berprasangka buruk pada Tuhan. Mungkin memang belum rezeki kita," ujar Ibu. Wanita itu berpikiran positif dan aku sebaliknya.
"Aku bukan berprasangka buruk, Bu. Aku cuma bilang ini aneh saja," kilahku tak ingin Ibu salah paham.
"Mbak Kin benar, Bu." Mendadak Sekar muncul dan menimpal ucapanku. Suara percakapan antara aku dan Ibu pasti sampai ke kamar Sekar. Sehingga memancing gadis itu keluar dari 'sarangnya'. "Aku juga merasa ada yang tidak beres. Semenjak pesanan kita dibatalkan waktu itu, aku merasa orang-orang sudah tidak mau lagi memesan katering kita."
"Menurutmu kenapa bisa seperti itu, Kar?" Aku cukup antusias untuk mencari tahu apa yang dipikirkan Sekar.
Sekar diam beberapa saat. Ia melirik ke arah punggung Ibu yang sedang membelakangi kami.
"Aku tidak tahu pastinya, Mbak. Tapi, satu-satunya yang terpikirkan olehku hanyalah... "
Gadis itu terdiam, sengaja memutus kalimatnya dan membuatku harus menunggu. Ibu yang sejak tadi sibuk mencuci piring, turut menoleh ke arah Sekar. Agaknya adik perempuanku itu berhasil memancing rasa ingin tahu Ibu.
"Apa?" Aku tak sabar menunggu Sekar mengeluarkan apa yang bersarang di kepalanya.
Sedang Ibu masih diam, tapi ekspresi wajahnya mengatakan 'cepat katakan, Sekar'.
"Bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat pada kita?" Pertama-tama Sekar menatapku, karena aku yang paling tampak antusias ingin mendengar pendapatnya. Lantas gadis itu beralih pada Ibu. Meskipun diam, Ibu juga menunggu Sekar bicara.
"Bermaksud jahat bagaimana?"
"Mbak Kin pernah dengar soal guna-guna?"
"Ya." Aku mengangguk. Cerita-cerita mistis tentang hantu, santet, pesugihan, dan guna-guna sudah banyak kudengar dari berbagai media. Dan aku yakin semua orang di negeri ini sudah pernah mendengar cerita-cerita serupa. Hanya saja ada beberapa yang percaya dan sebagian lagi meragukan kebenaran hal-hal semacam itu. Aku sendiri belum pernah mengalami pengalaman gaib, tapi aku percaya ada dimensi lain selain dunia yang kita tinggali. Dan sesekali penduduk dimensi lain menyeberang ke dunia kita. "Apa kamu menduga seseorang mengirim guna-guna supaya katering kita sepi?" tebakku setelah merenung sesaat.
"Tepat." Sekar menjentikkan jarinya ke udara. "Bisa saja kan, seseorang merasa iri melihat katering kita ramai, lalu dia mengirim guna-guna supaya katering kita tidak laku. Biasanya orang yang melakukan hal itu punya bisnis yang sama dengan kita. Intinya kita adalah saingan yang harus mereka singkirkan. Begitu," ulas Sekar.
"Hush! Bicara apa kamu ini, Kar. Jangan suka berprasangka buruk pada orang lain. Kalau usaha kita sepi, mestinya kita berdoa, bukan berpikiran ngawur seperti itu," bentak Ibu tampak marah.
"Aku cuma menyampaikan pendapat, Bu," bela Sekar.
"Pendapat kamu tidak bisa dibuktikan, bukan?"
"Memang, tapi... "
"Sudah, sudah. Tidak usah dibahas lagi. Lagipula siapa yang membuka usaha katering seperti kita di daerah sini? Tidak ada, kan?" Ibu menimpal berusaha menyudahi perdebatan kami bertiga.
"Memang sekarang tidak ada. Tapi, siapa tahu orang itu menunggu sampai kita bangkrut dulu, barulah dia membuka usaha yang sama." Sekar masih berusaha mendebat Ibu, sementara aku memilih untuk menyimak percakapan mereka.
"Jangan berpikiran negatif pada orang lain, Kar. Ibu tidak pernah mengajari kalian hal-hal semacam itu, kan?"
Sekar nyengir. Kalau Ibu sudah bicara seperti itu, ia tak punya kata-kata untuk menandingi ucapan Ibu. Sekar malah melempar kode ke arahku. Lebih jelasnya meminta dukungan moril.
Sejurus kemudian aku meminta izin untuk pergi ke kamar. Ada sesuatu yang mesti kukerjakan dan itu berkaitan dengan profesiku sebagai seorang guru PAUD.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top