🌺15🌺
Sejak pagi itu Soegi mulai kerap mengantar jemput aku ke sekolah. Meski aku merasa senang bisa pulang dan pergi mengajar diantar Soegi, tapi masih ada ganjalan di hatiku. Apa lagi kalau bukan Bu Ratmi? Rasanya kami butuh keajaiban untuk menaklukkan kerasnya hati wanita itu.
Soegi juga semakin rajin membeli peralatan rumah tangga lewat internet demi melengkapi isi rumah baru yang kelak akan kami tempati berdua. Itupun jika kami benar-benar menikah. Pilihan Soegi selalu yang terbaik. Aku merasa cocok dengan apapun yang dipilih pria itu. Seleranya tinggi. Meski sebenarnya aku tidak ada masalah menggunakan barang-barang berkualitas rendah. Keluarga kami terbiasa memakai barang-barang yang dijual di pasar atau toko dekat rumah. Bu Ratmi benar, aku dan Soegi berbeda. Aku jadi lebih sering menyadarinya akhir-akhir ini. Tapi, perbedaan semestinya bukan menjadi penghalang bagi dua orang yang saling mencintai, bukan?
"Maaf agak lama, Mas. Tadi aku bicara sebentar dengan Bu Heni dan Bu Linda soal anak-anak," ucapku begitu masuk ke dalam mobil dan menempati jok di sebelah tempat duduk supir.
Seperti yang sudah-sudah, Soegi menjemputku lagi. Dan aku telah terbiasa menjalani hari-hari semacam ini.
"Tak apa, Kin. Aku juga tidak sibuk hari ini." Soegi tak keberatan menungguku sedikit lebih lama dari biasanya.
Syukurlah, batinku seraya memasang sabuk pengaman.
"Kita pergi ke kafe, yuk. Sudah lama kita tidak ngopi bareng," ajak Soegi setelah beberapa menit mobil yang kami kendarai melaju perlahan di jalanan aspal yang masih baru. Pembangunan infrastruktur terutama jalan mulai digalakkan beberapa bulan terakhir di daerah kami.
"Ngopi?" Aku berpikir sejenak. Sejujurnya aku bukan pecinta kopi. Tapi, aku juga bukan orang yang memiliki masalah dengan lambung. Segelas kopi tidak akan membuat lambungku bermasalah.
"Ya. Kafe bambu?"
"Boleh."
Aku dan Soegi pernah mengunjungi kafe bambu. Tapi, itu sudah agak lama. Beberapa bulan lalu. Soegi lebih suka mengajakku pergi ke warung mi ayam atau bakso ketimbang sekadar menikmati secangkir kopi yang tidak mengenyangkan perut. Memang ada kudapan yang biasa kami makan selama menikmati secangkir kopi, semisal pisang goreng atau roti bakar, tapi itu tidak cukup membuat perut kenyang.
Kafe bambu siang ini agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang tampak mengisi meja-meja yang telah disediakan. Mayoritas anak muda yang sibuk dengan gadget di tangan masing-masing. Sedang sebagian kecil benar-benar menikmati waktu ngopi sembari ngobrol dengan sesekali diselingi tawa lepas.
Kami menempati sebuah meja yang terletak di dekat jendela yang terbuka. Tanpa kaca. Sehingga udara bisa leluasa keluar masuk tanpa ada penghalang. Pemandangannya juga sangat bagus. Karena kafe itu berada di pinggiran, maka pemandangan yang bisa ditangkap adalah hamparan sawah dan siluet pegunungan nun jauh di sana. Semua serba hijau. Sedang langitnya berwarna biru terang dengan hiasan gumpalan awan putih yang berarak mengikuti arah angin. Jelas aku sangat menyukai posisi meja yang dipilih Soegi. Pria itu benar-benar tahu cara membuatku senang.
"Kamu mau pesan apa, Kin?" tanya Soegi saat seorang pelayan datang mendekat ke arah kami.
"Terserah Mas saja." Karena aku terlanjur menyukai apapun yang dipilihkan Soegi untukku, maka aku tidak punya alasan untuk tidak memercayakan semuanya pada pria itu. Sekalipun itu hanya tentang minuman.
Soegi memesan dua cappucino untuk kami berdua. Juga seporsi kentang goreng saus mayo. Ia tidak terlalu menyukai kudapan semacam itu, jadi Soegi sengaja hanya memesan satu porsi.
"Aku punya sesuatu untuk kamu, Kin." Setelah pelayan kafe pergi, Soegi memulai percakapan. Pria itu merogoh saku jaketnya, lantas mengeluarkan sesuatu berbentuk kubus. Warnanya merah menyala dan berbahan beludru.
Soegi membuka kotak itu persis di depan mataku.
"Aku ingin kamu menjadi calon ibu untuk anak-anakku kelak, Kin."
Sebuah cincin bermata satu tampak menyembul dari dalam kotak ketika benda itu terkuak.
Aku terperangah.
Bagaimana bisa Soegi melamarku sementara ia tahu betul jika Ibunya tidak memberikan restunya untuk kami? Apa pria itu sudah kehilangan akalnya? Atau ia benar-benar nekad ingin menikahiku tanpa menghiraukan Ibunya?
"Apa ini sebuah lamaran?" tanyaku penuh keragu-raguan. Soegi pasti tahu apa yang sedang mengganjal di benakku. Bukan benakku saja, tapi benak Soegi juga tentunya.
"Ya."
"Tapi Mas sendiri kan tahu kalau... "
"Ibuku tidak merestui kita?" tukas pria itu tegas. Dan aku hanya mengangguk lemah. "Aku sudah pernah bilang kan kalau kita tetap akan menikah bagaimanapun caranya. Kalau aku ngotot ingin menikah dengan kamu, maka Ibu tidak akan punya pilihan selain memberikan restunya pada kita. Aku akan bicara lagi dengan Ibu soal pernikahan kita. Kamu tenang saja dan terus berdoa ya, Kin? Kita kan punya niat yang baik. Tuhan pasti akan membantu kita," ujar Soegi mencoba meyakinkanku entah untuk ke berapa kalinya.
"Apa Mas yakin soal ini?" Jika belum mendengar sendiri dari bibir tipis Bu Ratmi, aku tidak bisa memercayai siapapun, sekalipun itu Soegi. Harus Bu Ratmi sendiri yang mengatakan padaku kalau ia merestui pernikahanku dengan putranya.
"Aku akan meminta bantuan Bapak. Kalau Bapak sudah memberi restu, Ibu pasti akan memberikan restunya."
"Sekalipun itu terpaksa?"
"Kita tidak punya pilihan lain, Kin. Meskipun terpaksa, yang paling penting Ibu memberikan restunya. Nanti pelan-pelan kita sama-sama berusaha meluluhkan hati Ibu."
Aku tercenung mendengar rencana Soegi yang kemungkinan berhasilnya hanya 50 persen. Itu menurutku. Mungkin menurut Soegi tingkat keberhasilannya di atas angka 80 persen.
"Semoga Ibu merestui kita ya, Mas?"
"Ya. Kamu banyak-banyak berdoa ya, Kin?"
"Iya, Mas."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top