🌺14🌺
"Kin? Kamu sedang apa?"
Aku sedang memoles bibir dengan lipstik merah muda ketika suara Ibu terdengar memanggil namaku. Tumben-tumbennya Ibu mengetuk pintu kamarku yang hanya terbuat dari triplek sepagi ini, batinku. Biarpun sarapan telah siap, Ibu tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
"Sedang dandan, Bu. Kenapa?" Aku mengeraskan suara. Kegiatanku di depan cermin belum sepenuhnya selesai. Aku masih perlu memberikan sentuhan terakhir pada wajahku dengan sapuan bedak tabur.
"Ada Soegi di depan. Dia menunggu kamu, Kin."
Soegi? batinku secara refleks langsung menolehkan kepala ke arah pintu kamar yang tertutup rapat.
Aku meletakkan kotak bedak di atas meja dan berjalan ke arah pintu, lantas menguak benda itu.
"Kenapa dia ke sini, Bu?"
"Katanya dia ingin mengantar kamu ke sekolah," beritahu Ibu yang juga menampilkan raut kurang percaya. Pasalnya Soegi tidak pernah mengantarku berangkat ke tempatku mengajar. Paling-paling kami bertemu sepulang aku mengajar. Karena Soegi juga termasuk tipe orang yang sibuk dan nyaris tak punya waktu senggang di pagi hari. Lagipula pagi hari merupakan waktu yang terlalu singkat untuk sekadar bertemu.
"Oh, iya. Sebentar lagi aku keluar."
"Sarapan dulu, Kin. Atau kamu bawa bekal saja?"
"Terserah Ibu saja," ucapku memberi kebebasan pada Ibu. Pikiranku sudah tidak fokus pada sarapan. Kedatangan Soegi benar-benar membuatku bingung.
Setelah mengambil tas dari atas meja dan menerima bekal dari Ibu, aku langsung menemui Soegi yang telah menungguku di teras rumah kami. Mobil Soegi tampak terparkir di tepi jalan depan rumah.
"Tumben menjemput aku, Mas," ucapku begitu tiba di hadapan Soegi. Pria itu langsung menegakkan tubuh begitu melihat aku muncul dari balik pintu.
"Ya, kebetulan ada yang mesti kubeli dari pasar dekat sini," ucap Soegi.
Sebagai pemilik sebuah restoran, tidak jarang Soegi turun tangan langsung membeli bahan-bahan masakan ke pasar tradisional. Selain bisa memilih sendiri kualitas bahan masakan, Soegi juga memanfaatkan kegiatan belanjanya untuk sekadar jalan-jalan.
"Oh."
"Nanti pulangnya biar kujemput kamu," ucap pria itu seolah tak ingin membuatku kerepotan masalah pulang. Padahal aku bisa menelepon Sekar dan menyuruhnya agar menjemputku di sekolah.
"Apa Mas tidak sibuk?"
"Aku masih bisa membagi waktu, kok. Lagipula kita kan akan segera menikah. Aku ingin mulai melakukan hal-hal kecil seperti ini untuk kamu, Kin."
Ucapan Soegi membuat bibirku enggan untuk bicara.
Aku dan Soegi sama-sama tahu jika Bu Ratmi belum memberikan restunya untuk kami hingga hari ini. Tapi, Soegi masih berangan-angan untuk menikah dalam waktu dekat ini. Bukan berarti aku pesimis tentang pernikahan kami, tapi aku takut jika keinginan kami untuk segera menikah malah gagal total.
"Kita berangkat sekarang?" tawarku tak ingin melanjutkan pembahasan. Bakal lama dan alot kalau kami membahas soal pernikahan lagi.
Perjalananku ke sekolah kali ini terasa sangat berbeda dari biasanya. Kalau biasanya aku mengendarai sepeda motor, kali ini aku naik mobil dan ada Soegi di sebelahku. Kalau boleh, aku ingin seperti ini selamanya. Tapi, mungkinkah harapanku bisa terwujud?
"Kamu tidak perlu khawatir soal Ibu, Kin."
Suara Soegi mengusik kebisuanku. Spontan aku menoleh ke arahnya.
"Biar aku yang mengurus soal Ibu. Meskipun sulit, aku akan terus berusaha meyakinkan Ibu," lanjutnya.
"Ya, Mas." Aku tidak punya jawaban lain selain meyakini janji Soegi. Meskipun aku tahu terlalu sulit untuk mewujudkan janji itu.
"Oh ya, semalam aku sudah memesan beberapa peralatan memasak di internet. Mungkin lusa baru tiba. Nanti kalau barangnya sudah datang, aku akan menunjukkannya padamu. Kuharap kamu menyukainya," beritahu Soegi mengangkat topik baru.
Mendengarnya bicara seperti itu membuatku merasa seolah-olah pernikahan itu nyata untuk kami berdua. Hanya tinggal menunggu hari saja.
"Bukannya Mas baru saja membeli perabotan? Apa uang Mas sebanyak itu?" tanyaku polos dan mengundang gelak tawa Soegi. Akhir-akhir ini ia selalu terlihat tegang, tapi sekarang aku melihat pria itu tertawa dengan lepas, seolah beban di pundaknya terangkat habis.
"Tidak sebanyak itu, Kin. Tapi kalau untuk membeli beberapa peralatan rumah tangga, masih cukup kok. Kalau kamu mau membeli sesuatu, pakaian atau sepatu misalnya, kamu beli saja. Pakai uang yang ada di ATM tempo hari. Beli juga untuk Sekar."
Untuk memakai uang di ATM yang Soegi berikan beberapa waktu lalu, terus terang aku masih belum berani sekalipun Soegi terus mendesakku. Kalau aku memakainya dan kami batal menikah, aku akan merasa sangat bersalah. Seperti kata Ibu, meski aku tak berharap sesuatu yang buruk terjadi, aku perlu menyiapkan mental. Aku masih belum memiliki Soegi seutuhnya. Sampai detik ini Soegi masih milik Bu Ratmi. Bisa saja aku kehilangan dirinya dengan cara yang sudah bisa kuperkirakan, bukan?
"Nanti kalau aku belum datang, hubungi aku, ya?" pesan Soegi saat kami telah sampai di depan pintu gerbang sekolah tempatku mengajar.
"Ya, Mas. Hati-hati kalau menyetir," balasku.
"Ya. Kamu juga yang sabar kalau mengajar."
Aku hanya mengulum senyum mendengar nasihat Soegi. Menjadi seorang guru memang butuh kesabaran ekstra, terlebih lagi guru PAUD dan TK.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top