🌺13🌺

"Apa benar Ibu datang ke rumah kamu kemarin?"

Tiba-tiba saja Soegi mencecarku dengan pertanyaan saat aku baru saja keluar dari ruang guru. Bu Linda masih ada di dalam ruangan dan sedang mengerjakan sesuatu, sementara Bu Heni telah lebih dulu meninggalkan sekolahan karena pekerjaannya sudah rampung. Anak-anak juga sudah pulang ke rumah masing-masing.

Aku tergagap. Tak menyangka jika Soegi akan menemuiku dengan cara seperti ini, maksudku dengan tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan. Aku merasa tidak enak jika Bu Linda mendengar percakapan kami.

"Bisa kita bicara di tempat lain, Mas? Bu Linda masih ada di dalam," pintaku dengan suara pelan.

"Baiklah, kita bicara di dalam mobil saja," usul Soegi yang langsung kusetujui.

Aku bergegas mengikuti langkah Soegi menuju ke mobilnya. Perasaanku campur aduk saat itu. Entah apa yang bisa kukatakan pada pria itu.

Soegi telah menempati jok supir, sedang aku duduk di jok sebelah tempat duduknya.

Sebenarnya aku hendak merahasiakan kedatangan Bu Ratmi dari Soegi. Tapi, siapa sangka ia justru telah mengetahui masalah itu. Mungkin Bu Ratmi sendiri yang buka suara perihal kedatangannya ke rumah kami.

"Apa yang Ibu katakan padamu?" tanya Soegi memecah suasana hening di dalam mobilnya. Suaranya jauh lebih tenang ketimbang tadi.

Aku hanyut dalam diam untuk beberapa lama. Bimbang. Untuk menceritakan percakapan kami secara detail pada Soegi rasanya tidak mungkin. Aku tidak akan tega melukai perasaan Soegi. Pun hatiku akan merasakan sayatan luka itu lagi jika harus mengulang kata-kata kasar yang meluncur dari bibir tipis Bu Ratmi.

"Ibu hanya bilang menentang keras hubungan kita," ucapku tak membeberkan secara rinci kata-kata yang keluar dari bibir Bu Ratmi kemarin.

Kudengar pria itu melepaskan napas berat.

"Ibu benar-benar sudah keterlaluan," desis Soegi. Kulihat tangan kirinya mengepal. Pria itu marah.

"Jangan menghadapi Ibu dengan cara yang keras, Mas," ucapku mengingatkan. "Mas tidak bisa melawan batu dengan batu. Kalau batu berbenturan dengan batu, maka kedua batu itu akan hancur.  Lawanlah batu itu dengan air. Batu yang ditetesi air terus menerus akan membuatnya terkikis. Cara itu akan meluluhkan kerasnya hati Ibu tanpa membuat perasaannya hancur."

"Mungkin saja cara itu bisa berhasil, tapi butuh waktu lama, Kin. Mungkin bertahun-tahun. Apa kamu bisa menunggu selama itu?"

Pertanyaan Soegi mengejutkan.

Pada awalnya aku memang tidak berniat menikah dengan Soegi dalam waktu dekat. Tapi, setelah melihat keseriusan dan ketulusan Soegi, pikiranku berubah. Kini aku juga menginginkan hal yang sama dengannya, menikah dalam waktu dekat.

"Aku bisa menunggu kamu, Mas," tandasku akhirnya. Jika bukan dengan Soegi, harus dengan siapa lagi aku akan menikah? Lebih baik menunggunya lebih lama daripada kehilangan Soegi. Aku hanya berpikir seperti itu sekarang.

"Tapi aku tidak, Kin." Pria itu menatapku tajam. "Aku tidak bisa menunggu kamu bertahun-tahun lamanya hanya karena menunggu restu dari Ibu. Aku tidak bisa, Kin." Ia setengah menggeleng.

"Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Mas. Aku akan tetap di sini, menunggu Mas."

Soegi terdiam. Sementara aku ikut diam menunggu respon pria itu.

"Bagaimana kalau kita menikah saja? Meski Ibu tidak memberi restu, Bapak masih bisa memberi kita restu. Ibu kamu juga merestui kita, kan?"

Semalam Sekar memberiku ide konyol untuk memuluskan jalanku dan Soegi menuju ke pelaminan. Dan sekarang Soegi justru memberiku ide konyol lain.

"Tapi, Mas... Itu sama saja kita menikah tanpa restu Ibu Mas. Sekalipun kita bahagia, tetap saja ada ganjalan yang menaungi hidup kita selamanya. Aku juga akan sangat canggung saat berkunjung ke rumah Mas," ujarku mengutarakan dampak yang akan terjadi seandainya aku dan Soegi nekad menikah tanpa restu Ibunya.

"Tapi itu jalan satu-satunya, Kin. Mungkin dengan begitu, Ibu akan pelan-pelan merestui hubungan kita. Apalagi kalau kita punya anak nanti. Ibu tidak mungkin bisa mengabaikan cucunya, kan?"

Kepalaku menggeleng usai mendengar ucapan serba tidak pasti dari Soegi. Memang, dalam kasus orang lain hal semacam itu bisa terjadi. Orang tua yang tidak merestui pernikahan anaknya, lama kelamaan meluluhkan hatinya usai melihat kelucuan cucunya. Tapi, apa mungkin itu bisa terjadi dalam kehidupan kami?

"Tidak ada jaminan untuk itu, Mas." Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Bu Ratmi kemarin bahwa ia akan menjodohkan Soegi dengan wanita lain yang sama-sama keturunan ningrat seperti keluarga mereka. Bisa jadi Bu Ratmi akan membenci cucunya karena ia tidak menyukaiku. Itu mungkin saja, bukan?

"Lalu dengan cara apa kita bisa mendapatkan restu Ibu, Kin?" tanya Soegi tampak frustrasi.

Aku tidak punya jawabannya.

"Kita berdoa saja, Mas. Semoga hati Ibu Mas bisa luluh melihat ketulusan kita," ucapku akhirnya.

Soegi tak merespon ucapanku. Pria itu larut dalam diam yang bisa kutangkap sebagai sebuah keputusasaan.

Kalau kami berjodoh, pasti ada jalan yang akan mempersatukan aku dan Soegi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top