🌺12🌺
"Mbak Kin?"
Pintu kamarku terbuka setelah diketuk dari luar sebanyak dua kali. Sekar muncul dan menegurku yang sedang duduk di kursi menghadap sebuah buku. Aku mencoba untuk fokus membaca, tapi justru pikiranku melayang-layang tak tentu arah. Sesekali pada Soegi, lantas Ibunya. Kemudian bayangan buruk tentang kehilangan pria itu melintas cukup lama di dalam benakku.
"Apa aku mengganggu?"
"Tidak, masuklah," suruhku tanpa menutup buku yang sedang kubaca.
Tidak biasanya Sekar meminta izin lebih dulu sebelum masuk ke dalam kamarku. Gadis itu tahu peristiwa sore tadi. Saat Bu Ratmi datang ke rumah kami, Sekar ada di dapur. Sekar pasti bisa mendengar suara percakapan kami di ruang tamu, meskipun ia tidak bermaksud untuk mencuri dengar.
Sekar melangkah masuk, lantas mengambil tempat duduk di tepi tempat tidurku. Sikapnya sedikit canggung, padahal Sekar bukan tipe orang seperti itu. Pembawaan gadis itu ceria dan bawel.
"Apa Mbak Kin baik-baik saja?"
Pertama kali mendengar Sekar menanyakan keadaanku, aku mengukir senyum di bibir. Sekar telah dewasa sekarang. Ia sudah bisa menunjukkan kepeduliannya pada orang lain.
"Ya, aku baik-baik saja," jawabku tak ingin membuatnya khawatir. Tadi saat makan malam aku makan cukup banyak. Mungkin karena tumis bunga pepaya buatan Ibu enak sehingga membuat nafsu makanku meningkat pesat. Mungkin juga itu salah satu pelampiasanku untuk mendamaikan perasaan setelah kejadian tadi sore. "Apa kamu khawatir padaku, Kar?"
Kepala Sekar mengangguk ragu.
"Iya, Mbak. Aku takut Mbak Kin akan sedih karena ucapan Ibunya Mas Soegi."
Selain Ibu, satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara hal-hal pribadi hanyalah Sekar. Rekan-rekan mengajarku di sekolah PAUD dan TK memang cukup akrab denganku, tapi aku tak bisa membagi kesedihanku dengan mereka. Berbagi masalah pribadi tak bisa kulakukan dengan sembarang orang.
"Apa menurutmu Ibunya Mas Soegi bisa berubah pikiran?" Aku meminta pendapat Sekar. Jika dari versi Ibu aku sudah mendapatkannya sore tadi.
Sekar bergeming. Gadis itu memutar bola matanya. Ia tampak berpikir. Tentu hal ini tidak mudah untuk dikomentari. Tak pernah ada yang tahu isi hati seseorang.
"Mungkin bisa," jawab Sekar setelah beberapa saat.
"Caranya?" Aku mulai tertarik untuk bertanya lebih lanjut. Siapa tahu Sekar memiliki ide cemerlang.
"Uhmm... Sebenarnya ini cara yang agak ekstrim," ucap Sekar.
"Agak ekstrim bagaimana maksudnya?" Sekar membuatku antusias.
"Begini, Mbak Kin. Bagaimana kalau Mbak Kin dan Mas Soegi bilang pada Ibunya Mas Soegi kalau Mbak Kin hamil?"
"Hamil?" Aku berjengit mendengar kata hamil meluncur dengan polosnya dari bibir Sekar. Gadis itu memang telah lulus SMU, tapi ia belum pernah pacaran. Memang, Sekar sering menonton sinetron bersama Ibu, tapi bagaimana mungkin ia menyarankan hal konyol itu pada kakaknya sendiri?
"Bukan hamil yang sebenarnya, Mbak Kin," ucap Sekar sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahku dengan gerakan cepat.
"Bukan hamil yang sebenarnya bagaimana?" Aku tambah bingung dibuatnya. Sebenarnya apa yang ada di dalam otak adik perempuanku itu?
"Maksudnya Mbak Kin pura-pura hamil, begitu."
Aku tercenung. Ide Sekar memang bagus dan mungkin berhasil. Namun, itu termasuk sebuah kebohongan besar. Dengan terang-terangan aku menolak ide Sekar.
"Tidak. Aku tidak mau, Kar." Aku menggeleng.
"Tapi mungkin hanya itu satu-satunya cara supaya Ibunya Mas Soegi merestui kalian, Mbak Kin."
"Aku tidak mau membohongi orang tua hanya demi mencapai keinginanku untuk menikah dengan Mas Soegi, Kar. Pernikahan kami tidak akan menjadi berkah kalau kami memulainya dengan sebuah kebohongan besar. Aku takut berdosa," ujarku.
"Maaf, Mbak Kin. Aku hanya terpikirkan cara itu. Karena aku tidak bisa memikirkan cara lain. Mbak Kin tahu sendiri kan, Mbak Kin tidak akan pernah bisa mencapai level yang diinginkan Ibunya Mas Soegi. Kecuali wanita itu membuka hatinya dan menerima Mbak Kin apa adanya."
"Mas Soegi akan bicara lagi dengan Ibunya. Dia bilang akan berjuang sampai bisa mendapatkan restu dari Ibunya," beritahuku. Mungkin hanya dengan ketulusan saja bisa meluluhkan hati Bu Ratmi.
"Aku sendiri juga heran dengan Ibunya Mas Soegi. Di zaman modern seperti sekarang masih ada saja orang yang berpikir tentang keturunan ningrat. Padahal apa gunanya menyandang status sebagai bangsawan? Toh, dia tidak punya kerajaan. Tinggalnya juga bukan di keraton. Lalu apa bedanya kita dengan mereka?" Sekar memuntahkan unek-uneknya dengan nada emosional.
Sekar hanya ingin membelaku. Makanya ia mengeluarkan kata-kata seperti itu sebagai perwakilan dari kekesalanku. Sekar telah kembali pada pembawaannya semula.
"Mas Soegi begitu baik, tapi siapa sangka dia punya Ibu kolot macam itu," ucap Sekar menggerutu. Justru ia yang tampak lebih kesal dariku. Padahal aku tak banyak bicara tentang Ibunya Mas Soegi.
"Wajar kalau seorang Ibu ingin pasangan yang terbaik untuk anaknya," tandasku kalem. Karena kekesalanku sudah terwakilkan pada Sekar.
"Tapi semestinya orang tua tidak menghalangi kebahagiaan anak-anaknya. Kalau kebahagiaan Mas Soegi adalah Mbak Kin, mereka seharusnya tidak menghalangi, bukan?"
Pembicaraan ini justru mengarah pada debat terbuka. Sekar kembali menjadi adik yang bawel dan melihatnya seperti itu cukup membuatku terhibur. Perlahan perasaanku mulai membaik, meski aku tahu esok hari aku akan kembali merasakan suasana hatiku buruk.
"Karena pemikiran orang berbeda-beda, Kar," ucapku seraya menerawangkan tatapan ke langit-langit kamar.
Aku dan Sekar telah berbaring di atas tempat tidurku yang sempit. Namun, percakapan kami masih terus berlanjut.
"Kalau aku menjadi Ibunya Mas Soegi, aku tidak akan berpikiran kolot seperti itu."
"Sayangnya kamu bukan Ibunya Mas Soegi," selorohku sembari menyentil ujung hidung Sekar.
"Ya, Mbak Kin benar." Gadis itu terkekeh pelan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top