🌺09🌺

Hingga hari ke-lima setelah kunjunganku ke rumah keluarga Soegi, masih belum ada pembicaraan lebih lanjut mengenai pernikahan kami. Soegi masih bungkam tentang rencana pernikahan kami, tapi ia tetap bersikap wajar. Komunikasi di antara kami terjalin dengan sangat baik. Sesekali Soegi bertandang ke sekolah tempatku mengajar sekadar ingin mengajakku makan mi ayam atau bakso di warung langganan kami. Padahal Soegi memiliki restoran sendiri, tapi ia lebih suka makan bersamaku di warung tak jauh dari sekolah.

Siang ini setelah aku selesai mengajar, Soegi ngotot ingin mengajakku jalan-jalan. Aku terpaksa menitipkan motor kesayanganku di salah satu rumah yang paling dekat dengan sekolah. Kalaupun harus pulang lebih dulu, akan membuang waktu dan menurutku kurang praktis.

"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku setelah mengetahui mobil yang dikemudikan Soegi mengarah menuju ke pusat kota.

Masyarakat di sekitar tempat tinggal kami biasa memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan membeli barang-barang di pasar atau toko. Dan mereka hanya akan pergi ke pusat kota untuk berbelanja pakaian atau sekadar jalan-jalan melepas penat.

"Kita akan membeli perabotan untuk rumah baru kita, Kin. Waktu itu kan aku sudah bilang ingin minta pendapat kamu soal memilih perabotan."

"Tapi Mas... " Kalimat yang ingin kuucapkan justru tertelan kembali ke tenggorokan.

Soegi pasti tahu apa yang tersendat di tenggorokanku. Aku tidak perlu mengutarakannya panjang lebar di depan pria itu.

"Kita tetap akan menikah walau apapun yang terjadi," tandas Soegi penuh ketegasan. Namun, sepasang matanya terus menatap ke depan. Pria itu sangat percaya diri dengan ucapannya.

Apa itu berarti Soegi akan menentang ibunya? Apa aku harus bertanya langsung padanya?

"Aku pernah bilang kan, kalau aku tidak akan menyerah?" Soegi menoleh imbas kediamanku. "Aku akan terus berjuang untuk mendapatkan restu dari Ibu."

"Bagaimana kalau Ibu tetap tidak merestui kita, Mas?" Akhirnya aku memuntahkan kekhawatiran yang beberapa hari terakhir terus mendera pikiran. Bahkan aku masih belum punya keberanian untuk menceritakan permasalahan ini pada Ibu karena takut ia akan sedih.

"Aku akan terus mencari cara untuk meluluhkan hatinya."

Aku diam. Tak ingin bertanya lagi atau mendesaknya dengan pertanyaan yang menyudutkan. Soegi percaya dengan kemampuannya untuk meluluhkan hati ibunya, sedang aku terus saja berkubang dalam kebimbangan. Sejujurnya sampai detik ini aku masih tidak yakin Bu Ratmi akan melunakkan hatinya. Wanita seperti itu sangat keras kepala. Rasanya mustahil untuk mencairkan es batu di dalam hatinya.

Mobil yang dikendarai Soegi membelok ke arah sebuah toko yang menjual berbagai perabotan rumah tangga. Meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya tampak memenuhi ruangan di dalam toko. Tempat itu sangat luas dan barang yang ditawarkan lumayan lengkap. Harga yang ditawarkan juga cukup bersaing. Untuk produk tertentu ada potongan harga dan gratis pengiriman.

Pria itu langsung menuju ke tempat set sofa ruang tamu setiba di dalam toko. Sementara aku hanya mengekor langkah Soegi.

Ketertarikan Soegi jatuh pada set sofa berwarna hijau tanah. Aku bisa menafsirkannya dengan mudah karena pandangan Soegi tampak antusias ketika pertama kali melihat set sofa itu.

"Bagaimana pendapatmu, Kin? Apa kamu suka sofanya?" Pria itu menepuk-nepuk punggung salah satu sofa berwarna hijau tanah itu.

"Itu bagus," sahutku tak banyak berkomentar. Masalah sofa aku tidak akan pilih-pilih. Warna gelap justru akan menguntungkan karena saat ia kotor tidak akan terlihat dengan jelas.

"Benarkah? Kalau kamu tidak suka warnanya, bilang saja. Aku bisa pilih yang lain, kok."

"Aku suka yang Mas pilih, kok. Warnanya tidak terlalu mencolok. Nanti kita bisa memasang gorden dengan warna terang di ruang tamu," ucapku memberi pendapat. Karena Soegi tidak akan percaya jika aku tidak menambahi beberapa kalimat.

"Ya, kamu benar. Nanti kamu saja yang pilih gordennya."

Selain membeli set sofa ruang tamu, Soegi juga membeli set meja makan, dan tempat tidur. Sementara hanya itu. Sofa untuk ruang tengah menyusul kemudian. Perabotan untuk dapur juga sama. Soegi masih harus mengumpulkan uang terlebih dulu agar bisa membeli semua itu.

"Kita membeli perabotan lain kapan-kapan ya, Kin? Tidak apa-apa, kan?" Soegi menanyakan keikhlasanku setelah pria itu membayar belanjaan kami. Sementara barang-barang yang ia beli masih dalam proses pengangkutan ke atas mobil pick up sebelum akhirnya dikirim ke alamat rumah baru Soegi.

"Tidak apa-apa, Mas. Kita bisa membelinya lain kali," sahutku bersungguh-sungguh. Melihat perjuangan Soegi saja sudah membuatku terharu sekaligus sangat bersyukur. Ternyata pria itu sebegitu seriusnya ingin membangun rumah tangga denganku.

"Oh, ya. Aku punya sesuatu untuk kamu," ucap Soegi. Pria itu merogoh dompetnya dari dalam saku belakang celana jins yang ia kenakan, lantas mengeluarkan sebuah kartu berwarna biru.

"Apa ini, Mas?" Spontan aku bertanya ketika Soegi menyodorkan kartu itu ke tanganku.

"Kemarin aku membuka rekening tabungan untuk kita berdua. Isinya memang masih belum seberapa.  Nanti kalau kamu butuh sesuatu, pakai saja. Nomor Pin-nya tanggal lahir kamu," beritahu Soegi memaksakan tanganku menerima kartu ATM itu darinya.

"Tapi, Mas... "

"Tidak apa-apa, Kin. Kamu kan calon istriku. Kelak kamu akan jadi tanggung jawabku, kan?"

Soegi memang benar. Pada akhirnya hal-hal semacam ini akan terjadi pada pasangan suami istri. Soegi saja yang terlalu cepat memberikan kepercayaan padaku dan mengambil tanggung jawab yang sebenarnya belum wajib ia pikul.

"Bagaimana kalau kita mampir ke swalayan dulu sebelum pulang?" tawar Soegi usai memeriksa perabotan yang masih dalam proses dinaikkan ke atas pick up.

"Terserah Mas saja." Aku tidak menampik jika aku menyukai kegiatan berbelanja, apalagi bersama calon suamiku. Kelak kami akan lebih sering melakukan hal-hal seperti ini berdua.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top