🌺08🌺

Komunikasi antara aku dan Soegi berjalan dengan baik seperti sebelumnya, seolah-olah tak pernah ada kendala dalam hubungan kami. Soegi tak pernah membahas lagi tentang Ibunya dan restu yang belum ia berikan untuk kami. Aku pun tak ingin mengungkit masalah itu karena akan menimbulkan situasi yang tidak nyaman untukku dan Soegi. Kami juga tak menyinggung perihal pernikahan atau lamaran. Tanpa sadar aku dan Soegi menghindari pembahasan itu.

Memang, aku dan Soegi bisa bersikap wajar, seperti tidak pernah ada masalah. Tapi, aku tidak bisa menghindar manakala Ibu bertanya. Seperti malam ini, sembari melipat kertas snack box, Ibu mengajukan pertanyaan padaku.

"Kira-kira kapan waktu yang tepat bagi Ibu bertemu dengan orang tua Soegi, ya? Kamu kan sudah pergi ke rumah mereka. Ibu juga harus bersilaturahmi dengan keluarga Soegi  dan membahas soal pernikahan kalian. Kalau memungkinkan, Ibu ingin kalian menikah dalam waktu dekat ini. Menurut kalender Jawa, bulan depan itu bulan yang baik untuk menyelenggarakan acara pernikahan, lho."

Untung saja Ibu sedang fokus melipat kertas, jadi ia tidak melihat perubahan ekspresi wajahku.

Jelas itu tidak mungkin. Aku hanya bisa membatin kali ini. Tanpa restu Bu Ratmi, akan sulit bagiku dan Soegi untuk melangsungkan pernikahan.

"Apa itu tidak terlalu terburu-buru, Bu? Pernikahan kan butuh banyak persiapan?"

Aku masih menyembunyikan soal restu yang belum kuraih dari Ibunya Soegi.

"Kita tidak perlu mengadakan pesta besar, cukup resepsi sederhana dan mengundang beberapa orang saja. Kerabat dan tetangga, mungkin jumlahnya sekitar tujuh puluh orang. Ibu rasa seminggu sudah cukup untuk persiapan pesta sederhana seperti itu."

Bahkan Ibu sudah memperhitungkan jumlah tamu yang akan diundang dalam acara pernikahanku. Sementara aku dan Soegi masih terkendala pada restu Bu Ratmi yang belum juga kami dapatkan.

"Apa Soegi menginginkan pesta yang besar, Kin?" Ibu membangunkanku dari lamunan.

"Tidak, Bu. Mas Soegi tidak mengatakan apapun soal itu."

"Sebaiknya kamu bicara dengan Soegi. Biar nanti Ibu bisa mempersiapkan semuanya dengan baik," sahut Ibu.

"Iya, Bu."

"Oh iya, Kin." Tiba-tiba saja Ibu teringat akan sesuatu hal. "Di pasar tadi Ibu sengaja mencari tahu soal keluarga Soegi."

Aku lebih kaget lagi mendengar pengakuan Ibu yang satu ini. Mataku sampai terbelalak dibuatnya.

"Mencari tahu bagaimana maksudnya?" tanyaku.

"Iseng-iseng Ibu tanya soal keluarga Soegi pada penjual bumbu langganan Ibu di pasar. Awalnya Ibu pikir dia tidak tahu soal keluarga Soegi. Tapi ternyata rumahnya tidak jauh dari rumah Soegi," ungkap Ibu membuat nyaliku menciut.

"Lalu? Apa yang dia katakan soal keluarga Soegi?" Aku pun turut penasaran ingin mendengar cerita Ibu selanjutnya. Bagaimana jika kabar itu sampai di telinga Ibu? Bahwa Bu Ratmi tidak merestui hubungan putranya.

"Dia bilang keluarga Soegi itu kaya raya. Mereka punya tanah yang sangat luas. Putra pertama mereka menjadi dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit yang ada di Jakarta. Anak kedua mereka membuka restoran dan sukses. Lalu, anak ketiga mereka masih kuliah sekarang."

"Lalu?"

"Cuma itu saja."

"Apa penjual bumbu itu tidak bertanya kenapa Ibu tanya-tanya soal keluarga Soegi?"

"Ibu hanya bilang kenal dengan Soegi, itu saja."

Syukurlah, batinku sedikit lega. Seandainya Ibu mengatakan kalau putrinya akan menikah dengan Soegi, aku pasti akan sangat malu. Selama Bu Ratmi belum memberikan restunya, aku tidak mau menggembar-gemborkan kabar rencana pernikahan kami.

"Tapi, apa keluarga mereka tidak keberatan punya menantu anak orang miskin? Mereka kan kaya, Kin." Namaku disebut dalam pungkasan kalimat Ibu, tapi ekspresi wajah Ibu seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri. Rasa bimbang dan gelisah tergambar samar di wajahnya.

"Kenapa Ibu bicara seperti itu?" Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan Ibu.

"Ibu hanya khawatir, Kin. Ibu takut suatu saat nanti mereka mengungkit kekurangan keluarga kita. Itu saja." Sepasang mata milik Ibu menerawang ke depan. Tangannya telah berhenti melipat kertas. "Itu tidak akan terjadi, kan?" Barulah Ibu mengalihkan pandangan padaku.

"Ibu ini ada-ada saja," kibasku seraya melepaskan tawa kecil penuh keterpaksaan. "Soegi orang yang baik, Bu. Dia tidak akan seperti itu. Ibu percaya saja padaku."

Mungkin Ibu memiliki semacam firasat, pikirku. Biasanya seorang ibu punya perasaan yang lebih peka terhadap anak-anaknya.

"Kamu benar, Kin. Pikiran Ibu saja yang melantur ke mana-mana," balas Ibu. Ia mulai mengembangkan senyum ketika menyadari jika semua itu hanya ketakutan yang belum terjadi. Tangannya mulai bergerak melanjutkan kembali aktivitas melipat kertas snack box. "Ibu kebanyakan nonton sinetron akhir-akhir ini. Pantas saja pikiran Ibu penuh drama," gurau wanita itu mulai menampilkan sikap rileks.

"Ibu doakan saja biar semuanya berjalan lancar."

"Pasti. Ibu tidak pernah lupa berdoa untuk anak-anak Ibu. Semoga kalian sukses dan bahagia."

"Aamiin," sahutku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top