🌺06🌺
Suasana berubah menjadi kondusif setelah kami berempat beralih ke meja makan. Bu Ratmi tak lagi mencecarku dengan pertanyaan yang memojokkan dan lebih cenderung berdiam diri, menikmati makan malamnya. Obrolan yang terjadi hanya seputar hal-hal ringan dan Pak Brata berusaha menampilkan sikap yang baik di hadapanku. Begitu juga aku, berupaya keras menunjukkan keramahan dan ketulusan yang kupunya. Meski sebenarnya batinku sedikit tertekan, aku menyembunyikannya sebaik mungkin. Sikap kurang menyenangkan yang ditunjukkan Bu Ratmi tadi masih tertancap kuat di pikiranku. Belum terlupakan satupun.
Kunjunganku ke rumah Soegi tidak lama, seusai acara makan malam selesai aku undur diri. Kulihat Soegi menerima situasiku dan ia tampak tidak keberatan dengan permintaanku. Pria itu mengantarku pulang beberapa menit setelah jam delapan malam.
"Maafkan sikap Ibu tadi, Kin."
Soegi membuka percakapan lima menit setelah mobil yang kami kendarai keluar dari halaman rumahnya yang kental dengan nuansa Jawa klasik. Mungkin aku butuh waktu cukup lama untuk menyesuaikan diri seandainya kelak aku tinggal di rumah itu. Namun, agaknya itu tidak akan terjadi. Kecil kemungkinannya aku akan menempati rumah lawas itu.
Soegi tak menoleh padahal ia sedang bicara padaku. Entah karena Soegi terlalu malu atau fokusnya tak ingin ia bagi dengan hal lain selain menyetir.
"Tidak apa-apa, Mas," jawabku sambil berusaha tersenyum tegar, meski Soegi tidak melihatnya.
"Ibu sudah keterlaluan tadi... "
"Namanya juga orang tua, Mas. Wajar kalau Ibu bertanya hal-hal seperti itu. Pikiran orang tua kadang kolot, kan?" Aku berusaha bersikap netral, tak ingin larut dalam sikap Bu Ratmi yang menyebalkan itu. Bagaimanapun juga wanita itu sudah melahirkan Soegi. Aku harus menghormatinya, bukan?
"Benar kamu tidak apa-apa, Kin?" Barulah Soegi mengarahkan tatapan padaku.
"Aku baik-baik saja, kok, Mas."
"Aku akan bicara pada Ibu dan memintanya agar memperlakukanmu dengan baik."
"Tidak perlu sampai seperti itu, Mas. Aku takut Ibu akan marah nanti," cegahku.
"Bagaimanapun juga kamu adalah calon istriku, Kin. Aku tidak mau ada kesalahpahaman antara kamu dan Ibu. Paling tidak Ibu bisa sedikit menjaga ucapannya. Sejujurnya aku juga agak tersinggung tadi," ungkap Soegi yang secara tidak langsung menyatakan keberpihakannya padaku.
"Apa itu perlu, Mas? Aku malah takut Ibu dan Mas Soegi bertengkar karena aku," ucapku menyatakan kekhawatiran. Siapapun juga pasti bisa menduga jika Soegi benar-benar bicara dengan Ibunya perihal tadi, akan menimbulkan konflik baru. Firasatku mengatakan jika wanita itu tidak menyukaiku bahkan sejak pertama kali melihatku.
"Tidak, Kin. Aku akan bicara baik-baik dengan Ibu. Memang terkadang Ibu agak kasar, tapi sebenarnya hatinya lembut."
Mendengar Soegi berkata seperti itu tentang Ibunya membuatku sedikit lega. Meski sejujurnya beban mental itu masih kupikul di pundak.
"Jangan berpikir macam-macam dan cepat tidur. Tidak perlu risau soal Ibu, ya?"
Mobil Soegi berhenti di tepi jalan tak jauh dari rumah kami. Sebelum berpisah ia sempat melontarkan kalimat penenang untukku.
"Ya, Mas. Mas Soegi juga jangan sampai bertengkar dengan Ibu."
Soegi mengangguk.
"Kamu terus berdoa, ya. Semoga jalan kita menuju ke pelaminan lancar dan tanpa kendala."
"Ya, Mas. Aku akan selalu berdoa untuk kita berdua."
"Baiklah kalau begitu. Mas pergi dulu."
Aku melambaikan tangan melepas Soegi dan mobilnya yang bergerak menjauh dari tempatku berdiri. Embusan angin yang ditinggalkan mobilnya menyebarkan hawa dingin ke sekujur tubuhku.
Semestinya aku merasa lega usai bertemu dengan kedua orang tua Soegi. Tapi ini tidak. Justru hatiku merasa tak keruan. Gelisah. Seolah-olah masa depan yang buruk sedang mengintaiku. Mungkin karena sikap Bu Ratmi yang membuatku seperti ini.
"Kamu sudah pulang, Kin?"
Begitu membuka pintu depan, suara Ibu langsung menyambut kedatanganku. Wanita itu duduk di ruang tamu dan sedang mengelap lembaran-lembaran daun pisang yang sudah dipotong dengan ukuran tertentu. Aku menebak jika menu yang ia kerjakan esok hari adalah lemper.
"Iya, Bu." Aku berusaha tersenyum untuk Ibu meski pikiranku sedang kacau. "Besok ada pesanan apa?"
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Ibu malah melempar pertanyaan lain. Aku bisa memahami jika ia antusias ingin mendengar pemaparanku mengenai keluarga Soegi, terutama kedua orang tuanya. Bagaimana sikap mereka saat menyambutku dan apakah mereka menerimaku dengan baik?
"Bagaimana, Kin? Apa orang tua Soegi merestui hubungan kalian? Apa mereka bersikap baik padamu?" cecar Ibu kelihatan tidak sabar. Justru aneh kalau Ibu tidak menyinggung masalah ini. Ibu-ibu lain juga akan melakukan hal yang sama jika mereka berada di posisi Ibu sekarang.
"Ya, mereka baik. Tadi kami sempat makan malam bersama. Bapaknya Mas Soegi sangat baik, Bu," uraiku dengan penuh semangat.
"Lalu Ibunya, apa Ibu Soegi juga sebaik Bapaknya?"
Tidak ada yang pernah mengajariku berbohong, tapi aku tidak akan tega mengatakan yang sebenarnya di depan Ibu tentang sikap Bu Ratmi padaku.
"Ibu kan tahu Mas Soegi baik. Kalau anaknya saja baik, kedua orang tuanya pasti juga baik," ujarku.
"Syukurlah kalau mereka baik. Lalu, apa sudah ada pembicaraan tentang pernikahan atau acara lamaran kalian berdua?"
Dengan tegas aku menggeleng.
"Belum ada, Bu. Lagipula kami kan masih pertama kenal. Ibu juga belum bertemu dengan mereka, kan? Mungkin kalau kedua orang tua bertemu barulah membicarakan hal-hal seperti itu," ujarku.
"Iya, ya. Kamu benar. Ibu juga harus silaturahmi ke rumah mereka kapan-kapan dan membahas pernikahanmu dengan Soegi." Ibu seolah bicara pada dirinya sendiri, sementara aku hanya menunggunya sampai selesai, lantas pamit untuk pergi ke kamar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top