🌺05🌺
"Apa pekerjaanmu?"
Bu Ratmi, Ibu Soegi langsung memberondongkan pertanyaan pertama padaku. Soal pekerjaan. Wajahnya cenderung masam, tapi aku tak ingin berspekulasi macam-macam. Mungkin saja pembawaan ekspresinya seperti itu.
"Saya guru PAUD, Bu," ucapku dengan suara rendah. Berusaha sesopan mungkin.
"Oh, cuma guru PAUD?"
Aku terenyak. Cuma guru PAUD? batinku mengulang pertanyaan Bu Ratmi. Apa itu sebuah ejekan untukku? Di mana letak kesalahan seorang guru PAUD?
Ah, mungkin aku terlalu sensitif dengan ucapan Bu Ratmi.
"Memangnya kenapa kalau guru PAUD?" Pak Brata, Bapak Soegi menoleh ke arah istrinya dan menegur. Suara pria itu terdengar kalem, terkesan cenderung lebih sabar daripada Bu Ratmi. "Menjadi guru kan pekerjaan yang mulia," tandas pria itu seolah membelaku.
"Menjadi guru PAUD memang tidak salah, tapi gajinya tidak seberapa. Beda dengan gaji guru yang sudah diangkat jadi PNS," ujar Bu Ratmi seolah ingin menjatuhkan harkat dan martabatku di depan Soegi dan Pak Brata.
Sejak awal wanita itu angkat suara, aku merasa jika ia tidak menyukaiku. Kesan yang kutangkap dari ucapan dan mimik wajahnya, Bu Ratmi memandangku sebelah mata. Dan wanita itu berhasil mengikis habis rasa percaya diriku. Padahal ini masih permulaan. Kami baru saja bertemu dan berkenalan. Namun, wanita itu sudah menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.
"Nanti Soegi yang mencari nafkah, Bu. Kan kewajiban suami menafkahi istrinya?" Soegi menukas ucapan ibunya dengan suara lembut.
"Soegi benar. Mencari nafkah memang sudah menjadi kewajiban laki-laki." Pak Brata turut menambahi ucapan putranya.
"Kalau ibumu, apa pekerjaannya?" Bu Ratmi ganti menyoal pekerjaan ibu. Kurasa Soegi sudah menceritakan perihal Bapak pada kedua orangtuanya.
"Ibu memiliki usaha katering kecil-kecilan." Aku merasa pesimis jawabanku akan memuaskan Bu Ratmi.
"Oh, jualan kue?"
Aku terpaksa mengangguk. Anggaplah menerima pesanan katering dan jualan kue itu sama. Tidak perlu ada penjelasan terlalu detail.
"Lalu, apa keluarga kalian punya lahan? Maksudnya sawah atau kebun yang bisa digarap?" Bu Ratmi terus mendesak mempertanyakan harta benda yang kami miliki.
"Bu." Pak Brata menegur istrinya. Pria itu terlihat malu dengan tingkah Bu Ratmi. "Kenapa Ibu mesti bertanya hal-hal seperti itu?"
"Ibu cuma bertanya, Pak. Memangnya tidak boleh? Ibu salah kalau bertanya?" Bu Ratmi ngotot. Wanita berparas ayu itu siap berdebat dengan suaminya.
"Ibu tidak salah, tapi jangan bertanya hal-hal semacam itu."
"Kenapa tidak boleh, Pak? Dia kan calon menantu kita. Apa salahnya mengetahui hal-hal pribadi keluarganya? Nanti setelah mereka menikah, kita juga akan menjadi keluarganya, kan?"
"Keluarga kami tidak punya lahan untuk digarap," ucapku melerai perdebatan itu. Jangan hanya karena orang sepertiku, Pak Brata dan Bu Ratmi jadi bertengkar.
"Benarkah?" Bu Ratmi membelalakkan matanya, sementara Pak Brata menatapku kasihan. "Kalau begitu, jika kalian menikah nanti, apa yang akan kamu bawa ke rumah ini?"
"Bu!" Soegi berteriak kaget. Pak Brata juga tercekat, sama sepertiku, tapi tak punya kesempatan untuk melampiaskan keterkejutannya. "Maksud Ibu apa dengan bertanya seperti itu pada Kinanti?"
"Gi, seorang wanita yang akan menikahi seorang laki-laki, setidaknya harus membawa sesuatu ke rumah suaminya. Istri Mas-mu dulu juga membawa perhiasan waktu datang ke rumah ini. Jangan sampai calon istri kamu datang kemari dengan tangan kosong," ujar Bu Ratmi.
"Bu. Ibu ini apa-apaan?" sentak Pak Brata. Mukanya telah berubah merah padam. Ia malu, marah, dan kesal pada istrinya. "Tidak seharusnya Ibu bicara seperti itu di depan calon istri Soegi."
"Setelah menikah kami tidak akan tinggal di sini. Soegi sudah punya rumah baru," ungkap Soegi mengejutkan kedua orang tuanya.
"Rumah? Maksud kamu apa, Gi?"
"Soegi membangun sebuah rumah, Pak. Soegi berencana akan tinggal di sana setelah menikah."
"Kamu akan keluar dari rumah ini?" Ibu Soegi terlihat panik.
"Ya, Bu."
"Tapi, Mas-mu sudah tinggal di Jakarta, kamu yang nantinya menempati rumah ini. Kamu tidak boleh keluar dari rumah ini, Gi," ujar Bu Ratmi.
"Bukannya masih ada Anjani, Bu? Biar dia yang tinggal di rumah ini."
"Tidak bisa. Anjani akan ikut suaminya setelah menikah nanti. Dia tidak akan mau tinggal di rumah ini."
Perbincangan ini justru berujung pada rumah yang mereka tempati sekarang. Agaknya Bu Ratmi khawatir jika salah satu anaknya tidak ada yang bersedia menempati rumah bernuansa Jawa kuno yang mereka tinggali sekarang.
"Ibu kan belum bicara dengan Anjani. Nanti biar Soegi yang bicara dengan Anjani," tawar Soegi berusaha meredam kekhawatiran ibunya.
"Sudah, sudah." Pak Brata berusaha menetralkan suasana yang sempat menegang. "Kita membahas soal ini lain kali. Bagaimana kalau kita makan sekarang? Kalian sudah lapar, kan?"
Sebenarnya perutku tidak terlalu lapar. Sebagian isi lambungku kenyang dengan ucapan Ibu Soegi yang seolah ingin menjatuhkan harga diriku. Namun, ketika Soegi mengisyaratkan agar aku ikut beranjak ke meja makan bersama keluarganya, aku tidak bisa menolak.
Anggap saja ini sebuah ujian kecil menuju ke tangga pelaminan. Restu kedua orang tua Soegi merupakan hal yang paling sakral dan mesti kami raih. Tanpa restu mereka, tidak akan pernah ada pernikahan antara Soegi dan aku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top