🌺04🌺
Ini bahkan jauh lebih menegangkan ketimbang pertama kali aku berdiri di depan kelas. Meskipun hanya mengajar anak-anak PAUD, tetap saja kala itu aku merasa gugup. Tapi, yang kurasakan sekarang lebih daripada itu. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan bertemu dengan kedua orang tua Soegi, calon mertuaku.
Aku juga tak lepas menatap ke dalam cermin, mencoba menemukan kesalahan dalam penampilanku. Gaya berpakaianku, mungkin saja ada yang aneh atau perpaduan warnanya kurang serasi. Riasan di wajahku sengaja kubuat senatural mungkin dan seharusnya tidak ada masalah karena menurutku cenderung sopan. Dandan terlalu menor bukanlah gayaku.
Aku sengaja memilih blus panjang berwarna krem, berpadu dengan kulot panjang longgar cokelat tua. Menurutku gaya berpakaianku sangat sopan, tapi mungkin ini terkesan kuno dan kurang modis. Entahlah. Aku tidak punya rekomendasi pakaian yang pantas untuk ditampilkan di depan calon mertua.
"Kin. Soegi sudah menunggu di depan!"
Suara Ibu terdengar dari balik pintu kamar yang berbahan triplek dan tertutup rapat. Wanita itu berhasil membuat jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Iya, Bu."
Sebelum memutuskan untuk keluar kamar, aku menarik napas panjang. Berusaha untuk mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri itu sulit. Tapi, aku sedang berupaya keras melakukannya.
Aku meminta restu Ibu sebelum pergi. Juga pada Sekar. Aku butuh tambahan semangat dan percaya diri lebih dari biasanya.
"Apa kamu siap, Kin?" Soegi menyambutku dengan seulas senyum cerah. Satu lagi semangat untuk menambah kepercayaan diriku.
"Iya, Mas." Berkat Ibu, Sekar, dan Soegi aku berhasil menumbuhkan rasa percaya diri. Aku berani bilang pada dunia bahwa aku siap bertemu dengan kedua orang tua Soegi.
"Tidak usah gugup. Bapak dan Ibu orang yang baik, kok. Mereka pasti akan menyukaimu," ucap Soegi membuat perasaanku kian membaik.
Jika Soegi saja sebaik itu, apalagi orang tuanya. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?
Tak banyak pembahasan yang kami bagi selama dalam perjalanan menuju ke rumah Soegi. Namun, pria itu sempat bercerita sedikit tentang kedua orang tuanya, kakak laki-lakinya yang kini menetap di Jakarta, dan adik perempuan Soegi yang sekarang masih duduk di bangku kuliah.
Aku merasa cukup terkejut ketika mobil yang dikemudikan Soegi membelok ke halaman sebuah rumah yang berukuran sangat luas dan banyak ditumbuhi pepohonan. Bangunan rumah itu sendiri kental dengan nuansa Jawa. Hal itu bisa terlihat dari modelnya yang berbentuk seperti rumah Joglo. Pada bagian atas daun pintu utama terpahat ukiran. Keseluruhannya terbuat dari bahan kayu jati berkualitas tinggi. Usianya juga lebih dari 60 tahun.
Yang lebih menarik lagi, di bagian samping rumah utama terdapat sebuah bangunan mirip pendopo keraton. Bangunan itu tidak berdinding, hanya disangga dengan tiang-tiang berbahan kayu jati dan diterangi oleh sebuah lampu gantung bergaya kuno. Aku justru menangkap kesan menyeramkan saat menyapukan pandangan ke sekitar tempat itu. Mungkin karena aku tidak terbiasa mendapati gaya bangunan semacam itu di era modern seperti sekarang sehingga daya imajinasiku berpendar ke mana-mana. Bagiku ini mirip dengan latar sebuah adegan dalam film horor.
"Jangan takut, Kin. Rumah ini tidak berhantu, kok. Aku tinggal di sini sejak lahir dan tidak pernah melihat hantu atau mengalami hal-hal mistis lainnya," ujar Soegi seraya menepuk punggungku. Pria itu cukup peka. Ia mampu menerka ke mana arah pikiranku mengembara.
Aku melepas tawa kecil demi mengurai ketegangan. Baru pertama tiba di rumah Soegi saja aku sudah disuguhi pemandangan tak biasa. Semoga di dalam rumah Soegi tidak lebih parah dari yang tampak di luar.
"Rumah ini peninggalan kakek," lanjut Soegi mengungkap sejarah rumah bernuansa Jawa milik keluarganya. "Bapak dan Ibu sengaja membiarkan rumah ini sama seperti aslinya. Kata mereka biar anak cucunya tahu seperti apa rumah leluhurnya."
Tapi, Soegi sendiri justru membangun sebuah rumah kecil yang berjarak cukup jauh dari rumah kedua orang tuanya, batinku.
"Bagaimana kalau kita masuk sekarang? Bapak dan Ibu pasti sudah menunggu kita," ajak Soegi setelah kami merasa cukup membuang waktu di luar rumah.
Aku menyetujui usulnya dan mulai mengayun langkah seperti yang dilakukan Soegi. Kami berjalan beriringan menuju pintu utama.
Usai pintu utama berbahan kayu jati yang berhiaskan ukiran pada bagian atasnya itu terbuka lebar, aku menemukan sepasang suami istri sedang duduk berdampingan di sebuah ruang tamu yang dihuni oleh satu set meja kursi. Bahannya masih sama, kayu jati berkualitas tinggi. Modelnya klasik dan jarang bisa ditemui pada zaman sekarang. Beberapa perabotan lain juga tampak menghuni titik-titik tertentu. Semuanya masih bernuansa kayu jati. Mengagumkan.
"Kamu sudah datang, Gi?"
Seorang pria berkumis tebal yang bisa kupastikan sebagai Bapak Soegi melempar teguran. Pria itu mengenakan sehelai kemeja batik berwarna cokelat tua dan membuat wibawanya bertambah dua kali lipat. Separuh rambutnya berwarna putih. Namun, wajahnya masih tampak menyisakan ketampanan di masa muda.
"Iya, Pak." Soegi mendekat, lantas mencium tangan Bapak dan Ibunya. "Ini Kinanti, Pak, Bu." Soegi memperkenalkanku pada mereka.
"Saya Kinanti, Pak, Bu." Dengan berucap sopan, aku memperkenalkan diri meski Soegi telah menyebutkan namaku sebelumnya. Aku ganti menghampiri keduanya, lantas menyalami dan mencium tangan mereka seperti yang dicontohkan Soegi.
Ibu Soegi terlihat sebagai wanita yang terhormat serupa priyayi, kaum bangsawan. Wajahnya ayu, bibirnya tipis. Sepasang giwang berbentuk bunga melekat di kedua telinganya, mirip bunga melinjo. Rambutnya ditata ke belakang, rapi. Meski bukan kebaya, setelan yang dikenakan wanita itu berbahan kain yang mahal. Sebuah cincin berbentuk ular melilit di salah satu jemarinya.
"Duduklah."
Dengan diliputi rasa canggung dan gugup, aku menempatkan diri di salah satu kursi kayu tak jauh dari tempat duduk Soegi. Berada di dekat Soegi mungkin bisa mengembalikan sedikit kepercayaan diriku yang sempat terkikis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top