🌺02🌺
"Bu." Aku meletakkan sendok di atas piring dan menatap ke arah Ibu. Sementara Sekar yang duduk di seberang kursiku masih asyik menikmati makan malamnya. Kebetulan menu kali ini kesukaan Sekar; cah sawi putih dan tempe goreng.
"Kenapa, Kin? Kamu mau tambah nasinya?"
"Bukan, Bu," tukasku. Semenjak sore tadi aku telah menimbang baik-baik dan kurasa ini saat yang tepat untuk bicara pada Ibu soal rencana pernikahanku. Kebetulan ada Sekar juga, jadi tak perlu repot-repot memberitahunya. "Aku dan Mas Soegi mau menikah," ucapku setengah ragu. Suaraku lebih rendah dari sebelumnya karena terganjal beban. Bagaimana kalau Ibu tidak memberi restu pada kami?
Ibu tampak terkejut. Begitu juga dengan Sekar. Gadis 19 tahun itu turut menatapku.
"Mbak Kin dan Mas Soegi mau menikah?"
Aku tak menggubris pertanyaan Sekar dan masih fokus pada Ibu. Aku sedang menunggunya memberi reaksi.
Ekspresi wajah Ibu masih terlihat tenang. Membuatku sulit untuk mengartikan apa yang sedang dipikirkan wanita itu.
"Benar itu, Kin?" tanya Ibu akhirnya.
"Iya, Bu. Itu pun kalau Ibu memberi restu pada kami," ucapku.
"Astaga, Kin. Kenapa Ibu tidak memberi restu pada kalian? Tentu saja Ibu merestui pernikahanmu dengan Soegi. Kamu kan putri Ibu, Kinanti," ujar Ibu seketika membuat napasku lega. Ekspresi wajah Ibu yang cenderung datar sama sekali tak mengesankan jika ia tidak merestui pernikahanku dengan Soegi. Mungkin Ibu hanya terkejut selama beberapa saat tadi. "Apa tadi Soegi melamar kamu?"
"Ya, Bu," anggukku malu-malu.
"Kalau Mas Soegi melamar Mbak Kin, mana cincinnya?" Sekar menarik tangan kiriku untuk menagih bukti.
"Tidak ada."
"Kok tidak ada?"
"Dia belum beli," sahutku masih sabar meladeni pertanyaan Sekar.
"Kok belum beli?"
"Nanti dia beli kalau mau melamar Mbak secara resmi," jelasku masih bersabar dengan kebawelan Sekar. Soegi sempat menyinggung masalah itu saat dalam perjalanan mengantarku pulang. Meski sesungguhnya aku tidak terlalu peduli dengan cincin atau semacamnya. Itu hanya sebatas simbol belaka. Yang terpenting adalah niat dan ketulusan hati Soegi.
"Rencananya kapan kalian mau menikah?" Ibu menengahi percakapanku dan Sekar.
"Kami masih belum tahu, Bu. Mas Soegi akan memperkenalkan aku pada orang tuanya lebih dulu, tapi kami belum merencanakan kapan pergi ke rumahnya," uraiku.
"Kenapa tidak akhir pekan ini saja? Kamu kan libur, Kin?" Ibu memberi usul.
Aku memang libur mengajar pada hari Minggu, tapi justru Soegi yang sibuk karena pada akhir pekan restorannya ramai pengunjung. Aku agak khawatir Soegi tidak bisa menyisihkan waktunya pada akhir pekan.
"Nanti aku bicara pada Mas Soegi," tandasku. "Oh, ya, Bu."
Ucapanku menarik perhatian Ibu. Wanita itu kembali menatapku.
"Apa lagi, Kin?"
"Mas Soegi bilang ingin tinggal di rumah baru setelah menikah," ucapku hati-hati.
"Rumah baru?" Kening Ibu mengerut. "Apa Soegi sudah punya rumah baru untuk kalian tempati setelah menikah?"
"Ya, tapi kata Mas Soegi rumah kecil-kecilan."
"Kecil-kecilan asal rumah sendiri tidak masalah, justru itu bagus," komentar Ibu lagi-lagi membuat dadaku bertambah lega. Tadinya aku sempat berprasangka Ibu tidak akan menyetujui rencana Soegi mengingat nantinya ia akan tinggal hanya berdua saja dengan Sekar kalau aku keluar dari rumah kami setelah menikah. Ternyata Ibu tidak sekaku itu.
"Apa Ibu dan Sekar tidak apa-apa seandainya aku tidak tinggal di rumah ini lagi?"
Ibu mengembangkan senyum bijak.
"Tidak apa-apa, Kin. Kamu tidak harus tinggal bersama kami selamanya. Kami akan baik-baik saja. Soegi ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kamu. Tentu saja Ibu dan Sekar akan mendukung kalian berdua. Yang paling penting kalian bahagia dan satu lagi, kalian harus cepat-cepat memberikan Ibu cucu. Setuju?"
Aku terperangah mendengar syarat yang baru diajukan Ibu. Sementara reaksi Sekar berbeda denganku. Gadis yang rencananya akan kuliah tahun depan itu melepaskan tawa yang cukup keras sampai-sampai bahunya ikut terguncang.
"Dengar itu, Mbak. Ibu sudah tidak sabar ingin jadi nenek. Mbak Kin sudah siap memberi Ibu cucu, kan?" goda Sekar sengaja ingin membuatku malu di depan Ibu.
"Kamu ini... " Aku berpura-pura kesal. Tapi, sayangnya aku tak bisa berakting dengan baik. Mana bisa aku marah di saat hatiku sedang berbunga-bunga? Justru yang ada wajahku kian menghangat.
"Kamu tidak usah memikirkan Ibu dan Sekar, Kin. Pikirkan saja tentang kebahagiaan kamu. Masalah Sekar, biar Ibu yang urus. Setahun ke depan Ibu akan menabung untuk biaya kuliah Sekar. Kamu tahu sendiri kan, pesanan katering kita lumayan akhir-akhir ini. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."
"Iya, Mbak Kin. Aku akan membantu Ibu dengan sangat rajin. Mbak Kin tidak usah khawatir. Biar aku yang menjaga Ibu," imbuh Sekar sok bijak. Meski usianya sudah menginjak 19 tahun, tapi di mataku ia masih anak kecil yang manja dan bawel. Terlalu sulit untuk menghilangkan cap kanak-kanak itu dari Sekar. Mungkin itu alasan terbesarku tidak tega meninggalkan mereka hanya berdua saja di rumah ini.
"Nanti kalau kami sudah menikah, aku akan sering-sering menjenguk kalian," ucapku.
"Tidak perlu memaksakan diri untuk sering berkunjung, Kin. Kamu bisa menelepon Ibu kapan saja kamu mau."
"Iya, Bu."
Ini seperti makan malam bersama terakhir kami. Terbersit sebaris kalimat perpisahan dalam percakapan kami, meski aku sendiri tidak tahu kapan akan beranjak pergi dari rumah ini. Tapi, kuharap aku masih punya waktu sedikit lebih lama menikmati momen-momen seperti ini bersama Ibu dan Sekar sebelum aku memulai kehidupanku yang baru.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top