🌺 01 🌺
"Aku serius, Kin." Pria itu tiba-tiba merubah mimik wajahnya dari yang semula kalem menjadi superserius, seperti yang baru saja terlontar dari bibirnya. Soegi melayangkan tatapan intens ke arahku. Bola matanya bening, dalam, dan paling teduh. Aku menemukan kesan seperti itu hanya darinya.
Namun, anehnya bibirku masih saja mengembangkan senyum tipis yang mengesankan aku masih tidak memercayai ucapan Soegi. Bahkan ketika pria itu meraih genggaman tanganku dan menariknya ke dada, aku masih saja belum sepenuhnya percaya dengan perkataannya.
"Aku serius ingin menikah denganmu, Kin," bisik pria itu mengulangi ucapannya saat tatap mata kami saling bertemu dan jarak di antara kami kian terkikis.
Perlahan senyum di bibirku memudar demi melihat kesungguhan yang tercermin dalam mata dan gestur pria itu.
Aku dan Soegi saling mencintai. Kami menjalin hubungan spesial selama setahun terakhir. Aku mengenal separuh dirinya, begitu juga dengan Soegi. Kami berbagi banyak hal, tapi tidak semua. Aku memang berpikir akan menikah dengan Soegi, tapi tidak dalam waktu dekat. Mungkin tiga atau dua tahun lagi, di saat aku telah mengenal Soegi setidaknya dua per tiga dari dirinya.
"Apa ini tidak terlalu cepat?"
Soegi malah mengurai senyum.
"Memangnya butuh berapa lama lagi? Kita sudah menjalaninya selama setahun, Kin."
Setahun memang bukan waktu yang singkat. Dan selama setahun itu tidak pernah ada masalah, imbuhku dalam hati. Soegi jauh lebih baik dari ekspektasiku. Pria beralis tebal dan memiliki hidung mancung itu telah berhasil memikat seluruh perhatianku. Ia memang bukan pria pertama yang singgah dalam hatiku, tapi Soegi adalah pria terbaik yang pernah kukenal. Semestinya tidak ada keraguan menyergap ketika ia menyatakan ingin menikahiku.
"Bukan begitu, Mas." Aku menarik pandanganku darinya.
"Lalu apa, Kinanti?"
"Menikah kan butuh banyak persiapan... "
"Aku tahu maksudmu." Dengan cepat Soegi memotong ucapanku. "Kalau kamu setuju, aku akan membawamu ke rumah untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kalau kamu mau, hari ini atau besok kita ke sana. Terserah kamu maunya kapan."
Aku tercenung.
Soegi sudah beberapa kali ke rumah untuk menjemput atau mengantarku pulang. Pria itu dan Ibu juga saling mengenal dengan baik. Gaya pembawaan Soegi yang sopan dan ramah membuatnya cepat akrab dengan Ibu. Namun, sebaliknya aku sama sekali belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Soegi atau sanak saudaranya. Entah mengapa aku merasa belum siap untuk bertemu dengan kedua orang tua Soegi.
"Setelah kita menikah nanti, aku mau kita tinggal di rumah kita sendiri."
Perhatianku teralih ke arah Soegi setelah mendengar perkataannya. Apa maksud Soegi? Apa ia sudah mempersiapkan tempat tinggal untuk kami berdua kelak?
"Kenapa kita tidak tinggal di rumah Ibu saja, Mas?" tanyaku.
Setelah Bapak meninggal, kami tinggal bertiga; aku, Ibu, dan Sekar. Pasti sulit bagiku untuk meninggalkan mereka tinggal hanya berdua saja setelah menikah nanti.
"Lebih baik kita tinggal di rumah kita sendiri, Kin. Dengan begitu kita bisa cepat belajar hidup berumah tangga dan tidak bergantung pada orang tua," jelas Soegi bijak.
Setelah dipikir-pikir pendapat Soegi ada benarnya. Lagipula masih ada Sekar, adikku yang baru lulus SMU. Soegi pasti akan merasa canggung serumah dengan adik perempuanku. Meski aku percaya pada Soegi dan Sekar, akan lebih baik menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Belum lagi omongan tetangga yang mungkin bisa menimbulkan fitnah.
Nyatanya selain pintar, Soegi juga bijak. Ia jauh lebih dewasa dari usianya. Terkadang aku merasa Soegi lebih seperti kakak untukku karena sifatnya yang mengayomi.
"Memangnya Mas sudah punya rumah sendiri?" tanyaku hati-hati. Soegi memiliki usaha di bidang kuliner, tapi pria itu tak pernah bercerita tentang rumah pribadi dan harta benda lain yang dimilikinya.
"Kalau rumah kecil-kecilan sudah ada. Lokasinya tidak jauh dari restoran. Kapan-kapan kita bisa pergi ke sana untuk melihat-lihat. Kebetulan rumah itu baru jadi sebulan yang lalu, jadi masih belum ada perabotannya. Nanti kita beli perabotannya sama-sama, ya? Sekalian aku ingin saran dari kamu sebagai calon istriku."
Ternyata Soegi jauh lebih siap dari yang kubayangkan. Tanpa sepengetahuanku ia telah mempersiapkan rumah untuk kami tempati kelak setelah menikah.
"Kamu tidak keberatan kan tinggal di rumah yang sedikit kecil, Kin?"
"Tidak, Mas," gelengku berkali-kali. "Aku tidak keberatan, kok. Mas kan tahu aku bukan wanita materialistis."
Soegi tertawa seraya mengacak puncak kepalaku.
"Syukurlah. Aku tidak salah pilih calon istri," ucapnya masih dengan gelak tawa.
"Sepertinya akulah yang beruntung mendapatkan calon suami Mas Soegi," timpalku tak mau kalah.
"Kamu bisa saja, Kin."
"Aku serius, Mas."
"Benarkah? Jadi, kamu serius siap menjadi Nyonya Dimas Soegibrata?"
Satu, dua, tiga. Aku berpikir secepat gerakan jarum jam, lantas menganggukkan kepala. Untuk pria sebaik Soegi, aku tak pantas memberinya keraguan. Ia telah memilihku dan mempercayakan cinta dan masa depannya padaku. Tidak adil jika aku justru meragukan ketulusan dan kesungguhan pria itu. Yang benar adalah aku memberinya kepercayaan dan ketulusan yang sama. Itu baru adil.
"Benar kamu mau menikah denganku, Kin?"
"Iya, Mas. Aku mau," ucapku berusaha membuat pria itu yakin dengan jawabanku.
Senyum di bibir Soegi kian melebar dan memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang berbaris rapi. Pria itu tak mampu menutupi rasa bahagia yang membuncah ruah di dalam dadanya.
"Terima kasih sudah mau menikah denganku, Kinanti," bisiknya penuh haru.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top