Bab 4

"Kamu iseng banget sih, Om!"

"Sumpah! Sekali lagi kamu panggil aku Om. Bakalan aku cium kamu disini!" Ancamku. Tetapi Tara yang kuancam bukannya takut tapi malah tertawa geli.

Si bawel yang awalnya tertawa langsung berubah serius, "Kenapa Om nggak mau nikah aja, sih?" Aku terbatuk mendengarnya. Nggak ada angin atau hujan tiba-tiba menanyakan itu.

"Kamu tahu kan nggak sopan menanyakan itu? Lagian, tahu dari mana kamu kalau Mas nggak mau nikah?" 

Nggak semua orang tahu kalau sampai sekarang aku belum ada niat untuk menikah. Mereka selalu percaya aku belum menemukan wanita yang tepat untukku. Yang mereka nggak tahu, aku nggak pernah ada niat untuk mencari. 

Sekarang ada bocah yang tiba-tiba menanyakan itu.

"Tapi bener, kan? Mas nggak mau nikah?"

"Tahu dari mana?" Tanyaku penasaran. Mbak Nika saja nggak pernah menanyakan itu. Sedangkan gadis yang rambutnya sudah diturunkan dari cepol berantakannya ini dengan santai menanyakan itu.

"Inget nggak yang waktu itu kita agak eyel-eyelan? Jawaban Mas tuh terlalu sepenuh hati, seperti menjelaskan tentang diri sendiri bukan tentang cerita lagi. Bener, kan!?" 

Saat aku ingin membantah, dia mengangkat tangannya, "aku nggak judging Mas, lho. Tadi itu hanya penasaran. Kenapa? Mas ganteng, rapi, tinggi kelihatan kalau berduit dan … dari tadi kalau ada cewek lewat dekat kita, pasti ngeliat Mas sampe 2 kali."

"Ya, kali aja dia ngeliat kamu." Meski aku tahu apa yang dia maksud, menguatkan teorinya nggak pernah jadi rencanaku.

"Iya. Dia ngeliat aku terus bilang, gila ya tuh cewek. Mau-maunya pacaran ama Bapak bapak, pasti itu sugar daddy-nya. Halah, cewek kan gampang banget nilai dan hakimi cewek lain." Jawaban lugas yang nggak kusangka akan keluar dari bibirnya membuatku tersenyum. Apalagi melihat bibir yang sampai sekarang masih ingin kucium itu mencebik seperti anak kecil.

"Emang kita kelihatan seperti pacaran?" 

"Nggak lah!" Bentaknya tidak terima.

"Biasa aja Non jawabnya. Kalau kelihatan seperti pacaran juga nggak apa-apa. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Mas itu ganteng, rapi terus apa lagi tadi?" Jawabku dengan alis naik turun yang langsung membuatnya jengkel setengah mati.

"Kalau kita kelihatan pacaran, enak di kamu nggak enak di aku dong Mas!" 

"Lah, kenapa?" Aku mengalihkan perhatianku saat tiba-tiba melihat ada seseorang yang kukenal menuju mejaku.

"Mas Surya!" Diana menyapaku dengan senyum manisnya, lalu melihat Tara dan  berkata, "pacar Mas Surya?" 

Tara yang mendapat pertanyaan dadakan itu hanya menjawab dengan senyum yang nggak kalah manisnya. "Paramitha," katanya sambil mengulurkan tangan. 

Diana menerima tangan Tara dan menyebutkan namanya. Meski ramah tapi dari sorot matanya terlihat ada sakit dan benci disana. "Hati-hati! Jangan ngabisin waktu sama lelaki yang nggak ada niat menikahimu sama sekali."

"Aduh, makasih lho warning-nya. Tenang aja Mbak, aku yang nggak mau menikah dengannya kok." Aku membatalkan rencana mengusir Diana saat melihat Tara tersenyum ke arahku. Seolah berkata , tenang aja.

"Eh, gimana?" Wajah Diana yang awalnya terlihat ramah sekarang terlihat seperti menahan malu. Kebetulan seseorang memanggilnya, "maaf sepertinya temanku memanggil. Aku tinggal dulu ya. Mas, Paramitha. Sorry."

Setelah perempuan bertubuh molek itu masuk ke bagian dalam, aku memandang Tara dengan wajah penuh tanya.

"Kenapa? Santai aja, Mas. Nggak usah bilang makasih."

"Siapa juga yang mau bilang makasih. Mas itu mau tanya, kenapa nggak koreksi kata-kata dia? Kenapa membiarkan dia berasumsi kalau kamu pacar Mas?"

Gadis ini bukannya menjawab, tapi malah tersenyum lembut padaku. "Mas, dia mantan kamu, kan? Kelihatan banget kalau dia itu masih sakit hati. Apapun yang keluar dari mulutku nggak akan bisa merubah apa yang ada di kepalanya."

"Emang apa yang ada di kepalanya?" Tanyaku heran.

"Bahwa aku ini pacar kamu, dan dia ingin kamu merasakan sakit seperti apa yang dia rasakan dengan kasih aku warning kalau kamu nggak bakalan nikahin aku. Lha memang itu kenyataannya kan. Tapi dia nggak perlu tahu, jadi iseng aja aku jawab gitu." Katanya santai. Seolah apa yang terjadi barusan adalah tegur sapa antar teman bukannya mantan pacar yang masih sakit hati. 

"Kamu tahu nggak kalau semua yang keluar dari mulut kita adalah doa. Never say never, My Dear. Siapa yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Bisa aja kamu jatuh cinta dan minta Mas untuk nikahin kamu."

Mungkin dia jengkel ngeliat aku menggodanya, menaik turunkan kedua alis mata dan tersenyum simpul  dengan melipat tangan di depan dada. Meski terlihat santai, tetapi sebenarnya membahas pernikahan selalu membuatku nggak nyaman.

"Atau …." Potongnya. "Mas yang jatuh cinta ama bocah ingusan ini dan memintaku untuk nikah sama kamu." Katanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. "Hayo … buyar deh rencana Mas untuk membujang selamanya." 

Nah kan … anak ini selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan. Setelah hari itu, aku tahu anak Mbak Nika ini cerdas. Sepertinya selain editor tersayang, Paramitha Rahayu bisa jadi teman diskusi. 

Dia nggak mungkin kemakan rayuanku. Nggak mudah baper dan sepertinya dia paling suka debat semua yang keluar dari mulutku. Cocok.

"Non. Mas punya proposal."

"Ojo aneh-aneh, Mas! Aku emoh kawin karo awakmu!" Sontak saja tawa keluar dari bibirku mendengarnya. Tara mencubit punggung tangan, memintaku untuk berhenti. "Ngisin-ngisini kowe, Mas!"

"Mangkane to, rungokno sik! Dengerin dulu, baru protes. Kebiasaan!"

"Iya iya. Mas mau ngomong apa?" Meski mukanya terlihat jengkel, tapi tetap terlihat ada senyum di bibirnya. Meski tipis, tetap saja senyum.

"Kamu tahu kan kalau Mas itu penulis yang suka berdiskusi untuk kembangin ide cerita. Biasanya Mas diskusi sama Ibumu. Maksud Mas, gimana kalau kamu jadi teman diskusi Mas, selain Ibumu."

"Wani piro?!"  Sekali lagi aku ngakak mendengarnya. Ini anak perhitungannya … aku suka. 

"Sak penjalukanmu, Nduk. Terserah Tara mau apa aja, selama Mas bisa lho ya!" Bukannya menjawab , Tara melihatku dengan mata menyipit dan jari telunjuk dia ketukan ke bibirnya. Membuat perhatianku menjadi fokus hanya ke satu titik. Bibir.

Sekian menit aku tersiksa memandangi bibir ranum itu, akhirnya dia berkata. "Oke." 

"Sekian menit kamu mikir, hanya keluar kata oke?" 

"Lha aku harus jawab apa, coba? Mas mau aku nolak proposal itu? Nggak, kan?"

Aku mencondongkan wajahku, memupus jarak diantara kami berdua hingga jarak aman. "Tahu nggak. Dari tadi, Mas ngebayangin nyium bibirmu. Sampe bibir itu bengkak dan kamu kehabisan nafas." Bisikku pelan lalu berdiri menuju meja kasir untuk membayar. Sampai aku kembali ke meja, anak gadis itu masih terdiam di posisi semula.

"Ayo, Mas antar pulang." Saat melihat Tara tetap bergeming, aku tarik tangannya sampai dia berdiri. Barulah dia tersadar apa yang sudah terjadi.

"Eh, ngapain pake gandeng-gandeng segala!" Katanya sambil mengibaskan tangannya hingga terlepas dari genggamanku dan dia berjalan keluar sambil menyapa beberapa staff pendhapa.

"Pulang naik apa?" Tanyaku saat melihatnya mengutak atik setelah melewati pintu. 

"Grab!" Jawabnya ketus.

Kutarik ponsel di tangan dan memasukkannya ke saku celana bagian depan, membuat matanya melotot karena harus berhenti berusaha mengambilnya.

"Mas antar, gratis nggak pake bayar." 

Aku meninggalkannya menuju mobil yang terparkir nggak jauh dari pintu masuk. Setelah menyalakan mesin dan memastikan AC sudah nyala, barulah Tara masuk dan membanting pintu mobilku dengan sekuat tenaga.

"Salah apa dia sampai kamu banting seperti itu!" Protesku. Ford Everest kesayanganku memang bukan mobil keluaran terbaru. Tetapi dia nggak kalah sama mobil keluaran terbaru, membuatnya menjadi mobil klasik yang sayang untuk dibanting begitu.

"Yang salah bukan mobilnya. Tapi yang punya mobil!"

"Aku salah apa lagi sih, Non?" Tanyaku geli saat ngeliat bibir cemberutnya. "Jangan cemberut gitu, aku cium beneran lho!"

Kali ini dia nggak tinggal diam, tangannya melayang dengan ringan ke lengan kiriku. Cubitannya membuat senyum geli di bibir menghilang berganti dengan teriakan kesakitan.

"Non! Sakit Non. Beneran ini, lepas dulu … bahaya tahu!" 

Yuhuuu ... Mas Sakti si mesum is baaack
🤪🤪🤪🤪

Maaf yaaaa. Mas Surya agak ngambek nih, jadi harus pelan pelan keluarinnya nih. Moga-moga nggak ngambek deh abis ini.

Diingetin, "kok sakti bukannya surya" jadi mikir, sakti itu siapa. Atau harus bikin cerita tokoh namanya sakti.

Thank you sudah diingetin

Stay safe semuanya
Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top