Bab 2
Aku pernah jatuh cinta. Juga pernah patah hati sampai luluh lantak. Tetapi apakah itu membuatku kapok jatuh cinta? Nggak juga.
Tepat sebulan yang lalu, ditempat ini. diparkiran salah satu cafe ternama di jalan Jemursari, aku merasakan tamparan di pipi kanan. Kejadian secepat kilat itu terjadi sesaat setelah mulutku berucap kalau aku nggak akan menikahinya.
"Dari semenjak kita pacaran, aku sudah bilang kalau menikah nggak pernah ada di rencana masa depanku. Kamu protes, nggak? Nggak kan!?"
"Surya! Terus 3 tahun kita itu apa?! Buat kamu itu apa?" Gadis ramping berambut panjang bergelombang itu menarik tanganku.
"Na," panggilku. Diana yang mendengarnya hanya mendengus tanpa ada niatan untuk merubah ekspresi wajahnya. "Aku sayang kamu, tapi maaf. Aku sudah pernah bilang kalau aku nggak tertarik untuk menikah. Saat itu kamu hanya berkata iya."
"Ya … aku kira kamu bakalan berubah pikiran."
Bagaimana aku akan berubah pikiran, kalau matinya keinginan untuk menikah itu sudah muncul semenjak aku masih di bangku sekolah.
"Na, maaf. Tapi kita udahan ya, jangan ngabisin waktu berusaha untuk merubah pikiranku. Aku nggak ingin menikah. Baik itu sekarang atau di masa depan."
"Tapi, Mas …."
"Na! Please, aku nggak bisa."
Tanpa berkata apa-apa, Diana meninggalkan aku yang berdiri di tengah parkir mobil dengan pipi yang masih terasa panas. Meski terlihat anggun, Diana mempunyai tenaga yang lumayan besar berkat latihan Wushu-nya setiap seminggu sekali.
Aku berjalan menuju pintu masuk setelah sempat berhenti mengingat kejadian itu. Sialnya, begitu aku membuka pintu masuk ada serombongan orang yang berjalan ke arah pintu keluar. Dan ada 1 orang yang tanpa sengaja menabrakku. Sialnya lagi adalah dia membawa satu gelas tinggi kopi yang terasa panas di sekitar perutku begitu tabrakan itu tak bisa dielakkan.
Triple sialan!
"Ya Allah … maaf Pak. Saya nggak sengaja, maaf." Suara itu. Seperti suara yang pernah kudengar, tapi aku nggak inget dimana.
Aku masih sibuk mencoba membersihkan kaos yang kupakai saat terdengar, "Mas Surya!"
"Kamu!" Jujur saja, aku paling lemah mengingat nama orang yang baru kenal. Jadi saat dia menyebut namaku, aku tahu dia anak Mbak Nika tapi aku lupa namanya.
"Tara, Mas. Paramita Rahayu." Katanya sambil menepuk2 bajuku dibagian perut karena masih terlihat basah. "Untung saja berwarna hitam, jadi nggak terlihat kotor. Maaf ya, Mas. Karena aku keburu-buru jadi nggak hati-hati."
"Yang!" Panggil lelaki dari arah belakangku. Dilihat dari raut kaget gadis ini, itu pasti pacarnya.
"Eh, Om. Sini." Dia mengulurkan tangan melewatiku dan menarik lelaki yang memanggilnya tadi. "Sini, Om. Kenalin ini penulisnya Ibu."
"Lha … Aryo! Ardityo Gunawan, kan?" Bocah tengil 2 tingkat di bawah ini terlihat lebih dewasa dan berisi.
"Mas Surya? Beneran ini kamu, Mas?" Aku memeluknya singkat dan menepuk punggungnya, "yo opo kabare, Mas? Tambah ganteng rek?" Lalu dia ingat tentang gadis yang memandang kami berdua keheranan. "Eh, Yang. Kenalin ini Surya Pangestu Tsaqif, kakak tingkat Om dulu."
Bagai disambar petir, jadi dia keponakan Aryo. Setan! Aku udah bayangin nyium bibir keponakan temen sendiri.
"Telat. Tara udah kenal. Mas Surya ini kan …." Buru-buru aku menggelengkan kepala dan memberi kode untuk diam. Aku nggak ingin ada yang tahu bahwa aku penulis itu.
"Mas Surya kenapa, Yang?" Tanya Aryo sambil melihatku dan Tara bergantian. Aku geleng kepala, pura-pura nggak ngerti apa yang Tara maksud.
Gadis itu tersenyum kikuk, "Mas Surya ini yang buat aku lama disini. Eh, aku harusnya panggil Om ya bukan Mas."
"Mas aja jangan Om. Saya nggak mau punya keponakan kamu." Jawabku enteng. Kulihat wajah Tara sedikit kaget mendengar kata-kataku yang mungkin terdengar menyakitkan. Karena aku memang nggak mau anggap dia keponakan.
Kulihat dari kejauhan beberapa orang melambaikan tangan padaku. Teman kerja di kantor dulu sengaja ketemuan disini, jadi aku meminta waktu sebentar. "Ar, sorry. Aku sudah ditunggu teman kantor tuh." Aku serahkan kartu namaku, "berkabar aja ya."
Tanpa menunggu jawaban mereka berdua aku menuju meja yang sudah diisi 2 laki-laki berbadan besar dan 1 orang wanita bertubuh mungil. Membuat meja itu terlihat kecil.
Bertemu mereka selalu membuatku santai. Berbagi cerita ngalor ngidul nggak jelas yang terkadang bisa jadi bahan menulis. Saat aku menikmati makan malamku, notifikasi ponsel yang diletakkan diatas meja berbunyi.
"No cell phone please. Ingat aturan!" Tegur Hendro. Kami berempat memang membuat peraturan untuk rutin bertemu dan selalu berkabar, juga peraturan dilarang menyentuh ponsel saat kita bertemu seperti ini.
"Sorry," jawabku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku. Dari getar yang masih terasa, sepertinya siapapun itu berusaha untuk menghubungiku.
Saat bertemu mereka memang paling mudah untuk lupa dengan semua urusan. Meski kami sudah tidak bekerja di tempat yang sama tetapi hubungan itu tetap harus terjaga. Kata Arditya, "biar kita semua tetap waras." Dan itu terbukti betul.
Hendro dan Arditya sampai sekarang masih bertahan menjadi pengacara meski tidak satu kantor. Dian, satu-satunya perempuan di antara kita sudah pensiun setelah menikah dan mempunyai anak. Sedangkan aku, mereka tahunya menjadi juragan rumah kost.
Aku baru bisa membuka ponsel saat sudah di mobil bersiap untuk pulang.
+62821********
Malam, Om.
Malam, siapa?
+62821********
Ini Tara. Mau bilang maaf bajunya dan mau gantiin kalau diijinkan.
Maaf lancang chat Om, tadi aku tanya nomer Om sama Om Arya.
Jadi gimana?
Om … mulai kapan aku jadi Om dia?
Enak aja panggil Om!
+62821********
Ya wis. Mas maunya gimana untuk bajunya yang kena kopi tadi. Aku nggak enak lho. Tadi cerita Ibu, katanya harus minta maaf dan kalau perlu gantiin bajunya.
Jadi aku tanya Mas ini.
Ya udah, ganti makan siang besok!
+62821********
Yah … jangan besok, Mas.
Besok aku ada janji sama teman di Pendhapa, atau Mas Surya mau ketemuan di sana aja nggak apa-apa.
Ntar aku yang bayar deh.
Ya iyalah! Kamu yang harus bayar ganti rugi, kan!
+62821********
Yaelah, Mas. Nggak perlu ngegas gitu! Ntar gantengnya hilang lho!
Belum sampai aku mengetik balasan, pesan darinya sudah masuk lagi. Emang bener ya, anak jaman sekarang kalau berbalas pesan cepat banget.
+62821********
Jadi besok aku ada di sana mulai jam 11an siang, Mas. Paling bisa berjam-jam disana. Nanti chat aja kalau Mas sudah sampai, aku samperin deh.
Atau bilang aja kalau mau ketemu Tara. Jangan lupa save nomerku, Paramitha Rahayu ya Om.
Picture sent
Aku mengirim foto screenshot nama kontak dia di ponselku menjadi Si Bawel
Si Bawel
Ganti nggak! Kalau nggak aku bakalan panggil Om bukan Mas lagi!
Siapa takut! Panggil Om aja nggak apa-apa. Tapi jangan marah kalau aku cium kamu!
Semangat sahur guys ....
Pelan-pelan aku update Mas Surya ya. Eh tapiii, kenapa pengen banget update Mbak Yaya. 🤦🤦🤦
Anywaaaay .... happy reading
Stay safe
Stay happy
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top