6 | let's call it a day

Note:

Chapter berikut tersedia versi uncut (rate 17+) di Karyakarsa. Tapi bagi pembaca di bawah umur, maupun yang tidak berkenan membaca di sana, versi Wattpad pun sudah mencakup seluruh alur cerita.



Link bisa dilihat di komentar baris ini: ➡️







6 | let's call it a day



"Bon appétit." Hope—teman Norwegian Aaliyah, yang bertubuh jangkung, berambut pirang, dan berkulit pucat itu—mempersilakan semuanya makan setelah selesai memimpin doa.

Neo meraih setengah bagian sandwich ayam yang terpotong menjadi dua di piringnya, memegangi kertas pembungkusnya dengan dua tangan mendekat ke depan mulut, sementara Aaliyah mengambil gelas air putih di dekatnya dan minum terlebih dulu.

Awkward.

Aaliyah jelas sadar jika Neo tidak datang untuk beramah tamah. Tapi, bukan salahnya jika Neo muncul di depan apartemennya pada waktu yang kurang tepat, saat dia dan Hope baru saja akan pergi mencari sarapan, sehingga mau tak mau Neo harus menunda keperluannya demi memberi dua gadis kelaparan di depannya ini makan terlebih dulu.

Beruntung, restoran terdekat yang proper untuk sarapan, jaraknya hanya lima ratus meter dari apartemen, sehingga Neo tidak perlu membuang waktu banyak untuk mobilisasi.

"The Chook Norris is pretty good, right?" Tidak tahan diam berlama-lama, Hope mencoba berbasa-basi pada Neo setelah mereka bertiga selesai mencicipi hidangan masing-masing.

Hanya Neo yang memesan Chook Norris di situ. Aaliyah dan Hope sendiri sudah pernah mencoba menu tersebut sebelumnya, sehingga bisa merekomendasikannya untuk Neo. Sementara pagi ini, mereka sedang sugar craving, sehingga memutuskan memesan yang manis-manis: Hope memesan pancake, dan Aaliyah memesan yogurt dengan topping buah-buahan.

"Yeah, it's decent." Neo membalas sekadarnya, kembali mengangkat wajahnya menatap Aaliyah yang memilih tidak membiarkan mulutnya kosong barang sebentar, supaya tidak perlu nimbrung mengobrol. "I might suggest this place to my family if they ever visit Amsterdam."

Hope mengacungkan jempolnya. "I've got plenty more lists if you're interested. Aaliyah and I have already knocked outmost of the underrated spots in Amsterdam, plus a few in othe cities."

"Then I'd be happy." Neo memungkas dengan jawaban pendek.

Hope tidak memperpanjang topik yang sudah selesai itu. Mengikuti ke mana tatapan Neo terarah. "Anyway ... you really don't recognize me?"

Alis Neo terangkat sedikit. Terpaksa dia mengalihkan fokus dari Aaliyah agar bisa memperhatikan detail wajah Hope, yang sayangnya tidak terasa familier baginya.

"We've crossed paths before." Hope memberi clue.

Tapi Neo sama sekali tidak ingat, juga enggan main tebak-tebakan. "When?" tanyanya, mencoba tidak terdengar terlalu menyebalkan.

"In Little Tokyo—LA." Hope menjawab, tapi masih belum cukup mencerahkan Neo. Sejenak kemudian sebuah senyum tipis yang agak ganjil terulas di wajahnya, terutama saat dia melirik Aaliyah. "You dropped this little princess off to meet me and some friends in your red fancy Mustang. Of course, that was after you two spent a couple of steamy nights together—but we had to cover for her and tell her family that Aaliyah was with us from the start."

Kernyitan di dahi Neo seketika menghilang.

Pantas saja dia tidak mengenali gadis ini.

"That wasn't a crossed path—you saw me, I didn't see you." Neo mengoreksi dengan wajah lelah.

Tapi, tentu saja bukan itu poin pentingnya, sehingga Hope tidak merasa tersinggung sama sekali.

Yang penting adalah ... Neo tidak membantah bagian utama dari kalimatnya.

"Alright." Hope menyahut dengan senyum yang lebih lebar, mulai bisa menikmati pagi bersama tamu tak diundang di depannya ini. "So you're correcting the first part. But what about the second?"

Sekali lagi Neo menatap Aaliyah. Aaliyah menatap yogurt di mangkuknya—sekilas terlihat tidak peduli, tapi ketika Neo tidak lekas menjawab, dia ikut mengangkat wajah, menunggu Neo merespon.

Hope masih menunggu.

Neo menghela napas agak panjang. Tanpa banyak ekspresi, tanpa menghindar dari jangkauan pandangan Aaliyah, dia kemudian menjawab, "It was hot, indeed. It was summer, after all."

"Right?" Tentu saja Hope senang bukan kepalang mendengarnya. Persona gadis anggun dan kalem yang sejak tadi dia mainkan seketika luntur, kembali ke setelan Hope yang biasa. Dia tertawa lepas, sampai harus menutup mulutnya sendiri dengan tangan, sementara Aaliyah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "She had that glow for days. You two can deny it all you want, but who's buying it?"

"Cut it out, will you?" Aaliyah berdecak pelan, dengan harapan bisa menghentikan omong kosong temannya.

Neo masih menatapnya, tapi Aaliyah kabur duluan dengan berlagak fokus pada sisa yogurtnya. Sementara Hope masih merasa perlu menjelaskan kesimpulan dari obrolan singkat tadi.

"Anyway, what I meant earlier is ... even though Aaliyah tries not to mention your name too much, I know who you are. So, no need to keep up appearances with me. You don't have to introduce yourself as her big brother. It's hard for me to pretend I don't know the truth."

Kontan Aaliyah tersedak dan harus minum banyak-banyak untuk mengatasi rasa terbakar di tenggorokannya.

Tanpa rasa bersalah, masih dengan sisa-sisa tawa, Hope mengoper gelas air putihnya yang masih penuh saat melihat milik Aaliyah sudah kosong, tapi batuk-batuknya belum kunjung reda.

Lain dengan Aaliyah, Neo hanya menatap dua orang yang tampak belum cukup dewasa untuk dilepas hidup mandiri di luar negeri tanpa pengawasan itu dengan ekspresi lelah.

"Oh yeah, before I forget ...." Hope sudah mengoceh lagi di saat Aaliyah masih berjuang antara hidup dan mati. "How long are you staying here?"

Neo menghela satu napas panjang. Hampir saja mengulurkan tangannya untuk menepuk-nepuk punggung Aaliyah, tapi syukurlah Hope cukup peka dan sudah melakukannya lebih dulu. "Why do you ask?" tanyanya kemudian.

Hope meringis, mendadak terlihat agak merasa bersalah. "Well ... we've actually got plans for the weekend."

"What plans?" Neo mencecar tanpa sadar.

"Our favorite football club is having an open training session, and we're going to watch it."

"Oh." Neo memundurkan punggung, bersandar ke kursi, resmi mengakhiri sesi makannya. "I won't be around till the weekend."

Hope pun menghela napas lega. "Okay, then."

Berbeda dengan Hope, Aaliyah yang akhirnya bisa menguasai diri, sama sekali tidak puas dengan jawaban Neo. "Jadi, sampai kapan di sini?"

Neo agak tidak suka mendengar pertanyaan pertama yang diajukan Aaliyah padanya itu. Tapi dia tetap sabar menjawab. "Besok pagi."

Entah bagaimana menjelaskan ekspresi yang kemudian muncul di wajah Aaliyah. Dia seperti menahan buang air besar. Sahutan yang kemudian dia berikan juga bukanlah yang ingin Neo dengar, "Then I'll give you a tour today."

Aaliyah lalu menoleh ke Hope. Berkomunikasi dengan bahasa mata yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

"Alright, alright. You can just say you're visiting me in Utrecht if your family asks. I hope I don't get bad luck from helping you lie so often." Hope menjawab tatapan Aaliyah.

Kemudian Aaliyah ganti menatap Neo. "Before we go, I need to grab a few things from my apartment. You can wait here; I won't take long."

"We can walk back to your apartment together and order an Uber from there." Neo memberi ide lain.

Aaliyah mengangguk-angguk. "Alright, that works."


~


"Saad told me you called him. Then Qais mentioned you asked for my address. So, I kinda figured you might show up—just in case you still needed my answer on whether I'm surprised to see you here or not."

Aaliyah bersuara dengan sepasang mata masih terarah ke tempat menghilangnya mobil pink Hope yang barusan tadi masih terparkir di depan apartemennya.

Neo hafal betul Aaliyah yang begini: dia tidak jago menunjukkan rasa bersalah.

Tapi, alih-alih menjadi pihak yang lebih dewasa, Neo hanya berdiri diam sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Memaksa Aaliyah bicara lebih banyak.

Terpaksa Aaliyah menoleh. Sebelum kembali bersuara, dia berdehem beberapa kali untuk mengurangi kecanggungan.

"Even without you calling and getting Saad to talk to me, I already knew I messed up. I've been putting off calling you because ... I was scared."

"Where am I supposed to stay tonight?" Neo tiba-tiba memotong, membuat Aaliyah agak terhenyak.

"You didn't book a hotel when you decided to come? I can't let you in because there's CCTV inside, and my family monitors it often. But I can take you to a decent hotel nearby."

"Then make it quick. I need a nap for at least an hour or two before you start your tour. I had to sit in economy last night, barely stretched my legs or got any sleep."

Neo memberi kode supaya Aaliyah segera masuk mengambil barang yang dia perlukan.

Aaliyah segera melakukannya. Dia muncul kembali di tempat Neo menunggunya tidak sampai lima belas menit. Kemudian mereka berdua memasuki Uber yang dipesan Neo, menuju hotel yang disebutkan Aaliyah sebelumnya.

Hotelnya kecil dan tidak banyak orang berlalu lalang, juga tidak butuh waktu lama untuk check in.

Tidak ada bellboy. Mereka hanya diberi tahu di mana letak kamarnya, lalu harus mencari kamar itu sendiri. Yang mana tidak terasa praktis bagi Neo yang ingin segera melepaskan sepatu dan cuci muka.

Untungnya Aaliyah tidak bingung sama sekali dengan urutan nomor kamar yang tidak jelas di tempat itu.

"Here we go." Tanpa harus tersesat di dalam hotel, Aaliyah menghentikan langkah di depan sebuah pintu. Kemudian memasukkan anak kunci kuno ke lubang kunci di depannya dan mengayunkan pintu kamar hotel yang dia pilihkan untuk Neo itu hingga terbuka, kemudian mempersilakan Neo masuk lebih dulu. "The coolest room I've ever had in this area."

Neo melangkahkan kakinya masuk ke dalam, tidak tahu di mana bagian 'cool'-nya.

Hanya kamar hotel biasa dengan gaya klasik Belanda. Perabotannya didominasi kayu. Tempat tidurnya berkelambu. Ada lampu gantung antik di tengah ruangan. Dan jendela besar dengan tirai-tirai berenda ada di seberang ruangan.

Secara keseluruhan, Neo merasa sesak.

Sebut dia uncultured, tapi dia lebih bisa tidur nyenyak di ruangan dengan interior sleek dan modern dibandingkan dengan yang penuh dekorasi seperti ini.

Tapi berhubung ini hanya satu malam, maka dia tidak picky. Dia meletakkan tasnya di lantai, meraih sepasang sandal hotel yang tersedia dan melepaskan sepatunya.

"Kalau tirainya dibuka, kelihatan danau dari sini." Aaliyah memberitahu sembari menutup pintu dan menyusul masuk. Dengan cepat dia mengganti alas kakinya juga. Tapi, saat dia menghampiri jendela dan hendak membuka tirainya, Neo cepat mencegah.

"Don't." Neo mengambil tasnya di lantai dan memindahkannya ke meja saat berjalan melewatinya. "I said I wanna nap, alright?"

Aaliyah agak kecewa karena gagal menunjukkan keistimewaan kamar yang dia pilih. Tapi kemudian dia mengangguk saja. "Okay."

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Neo meninggalkan Aaliyah masuk ke kamar mandi. Setelah itu langsung permisi untuk merem sebentar.

Aaliyah keki.

Dia paham, mungkin Neo sedang menghukumnya. Sengaja tidak memberi kesempatan baginya untuk mengutarakan niatnya menunggu di tempat lain selagi Neo beristirahat di situ. Sengaja membuatnya makin merasa canggung karena harus berdiam diri di sudut untuk waktu entah berapa lama, selagi seorang cowok dengan tidak pedulinya berbaring di tempat tidur di ruangan yang sama dan dengan mudahnya memejamkan mata.

Tapi, mungkin saja Aaliyah yang berlebihan.

Mungkin saja Neo tidak punya niat terselubung apa-apa.

Mungkin dia betulan lelah setelah terjebak di penerbangan kelas ekonomi dan butuh meluruskan punggung secepatnya, tidak peduli ada atau tidaknya orang lain di ruangan yang sama.


~


Aaliyah mengelap sudut bibirnya dengan bagian dalam napkin, setelah selesai menghabiskan makan malamnya di sebuah restoran vegan India, kita-kira jarak setengah jam berjalan kaki dari hotel yang ditempati Neo.

Neo sudah selesai lebih dulu dan sedang menunggunya. Menunggu untuk melancarkan agenda utama—mendapatkan permintaan maaf yang selayaknya dia dapatkan.

"You've been carefree your whole life. Fear isn't an excuse to keep putting off telling someone whose promise you broke."

Neo bersuara setelah Aaliyah selesai minum dan memastikan Aaliyah tidak akan tersedak. Wajahnya sepenuhnya berbeda dengan yang beberapa jam sebelumnya menghabiskan waktu mengikuti tur keliling Amsterdam yang diberikan Aaliyah untuknya.

Memang tidak ada wajah galak, maupun nada tinggi. Tapi Neo tidak butuh semua itu untuk membuat Aaliyah merasa mual-mual dan ingin memuntahkan kembali isi perut yang belum terproses di lambung.

"People used to grant your every wish. So what is Aaliyah so afraid of?" Neo memparafrase pertanyaannya, tapi tidak mengurangi damage-nya. Aaliyah tetap harus minum dulu untuk mencegah muntahnya betul-betul terjadi.

"I'm just human too. I feel fear, just like anyone else." Aaliyah berusaha menjawab sesuai yang ditanya.

Tapi sepertinya jawaban itu tidak memuaskan Neo. "Of what? In this case, specifically."

"You being furious with me."

Neo memicingkan mata, tidak percaya mendapatkan jawaban yang semendasar itu. "Wouldn't you be mad if someone canceled on you last minute?"

"I would."

"So what's so terrifying? You'd react the same way—why can't others?"

Tiba-tiba Aaliyah merasa menyesal tidak langsung memaksa ikut pulang ke tempat Hope di Utrecht begitu Qais mengabari jika Neo menanyakan alamatnya.

Seharusnya pertemuan ini bisa dicegah, karena Aaliyah tidak tahu kapan dia siap untuk menghadapi percakapan ini.

"You know I'm not a good person. The world's always revolved around me, so I got used to doing whatever I wanted. I've been realizing that lately. I really wish I could do something to show you how sorry I am and make it up to you." Aaliyah memelas.

Tapi Neo masih tegas menuntut. "No need for actions. Just talk. Enlighten me on what's going on in your head so I can learn how to deal with people like you in the future."

"I'm just a spoiled brat. No excuses." Aaliyah ingin menangis saking ingin menghentikan obrolan mereka cukup sampai di sink, tapi tidak ada air mata yang keluar.

Dia sudah menangis berbulan-bulan lalu. Air matanya sudah kering.

"I know it was wrong to mess with you, which is why I stopped. I gave up on chasing Stanford simply because I didn't actually want it. I said I would go there just to be near you. But not anymore. I've realized what I really want—what major and school are truly right for me. I wish I had the courage to tell you back then, but after all the bad things I've done to you, I knew you wouldn't forgive me that easily. The damage was done, and I became a coward. I'm just a coward. That's why."

Bibir Neo menipis mendengar itu. Tidak langsung ada sahutan dari sana. Tapi tatapannya jelas-jelas menuduh bahwa Aaliyah hanyalah mengada-ada. "I might've let you off the hook again if your answer actually sounded like something Aaliyah would say."

Aaliyah memandang Neo getir. "Like maybe I was worried that all this time you never took my promise seriously? Never waited for me? Never expected me to actually show up and keep it?"

Sahutan-sahutan dengan nada tanya Aaliyah itu membuat Neo sesaat merasakan nyeri.

Memang jawaban seperti itulah yang lebih mungkin diucapkan seorang Aaliyah, beberapa bulan lalu padanya. Aaliyah yang manja dan dramatis. Aaliyah yang membuat Neo berhutang menyayanginya seumur hidup—padahal Neo tidak melakukan kesalahan apa pun terhadapnya untuk mendapatkan hukuman demikian.

Tapi ternyata kemudian gadis itu menggeleng, membuat pikiran Neo berhenti melanglang buana. "I'm sorry for how reckless I was when I was younger, but I'm trying to grow up now—even if I'm not doing it perfectly."

Aaliyah melanjutkan lagi, "You don't have to pretend everything's fine in front of our families after this. You can say we're not getting along. You don't need to explain, I'll handle it."

"Did you hit your head and get some serious injury?" Neo tiba-tiba seperti menemukan alasan masuk akal mengapa Aaliyah mendadak jadi berbeda.

Kening Aaliyah seketika mengernyit mendengar pertanyaan itu. Tapi dia pilih membalasnya dengan ketidakseriusan yang sama. "Maybe."

"I really shouldn't have come. You're just making me more pissed."

"Sorry."

"Don't. That's too short and too easy. I'm not accepting it unless you feel as annoyed as I do."

Aaliyah menatap Neo, menunggu Neo memikirkan solusi lain yang bisa membuatnya merasa puas.

"Send me an apology as many times as you've annoyed me over the last decade. Rephrase it every time, and don't let any of them sound the same. Then maybe we'll be even."

"Okay, I will."

Neo mendengus pelan, benar-benar tidak tahu lagi mengapa mendadak dia menjadi pendendam dan berlebihan begini.



#bersambung


50 komentar lagi sembari nunggu aku kelar ngetik chapter berikutnya yaa. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top