BAB 22

Creadit Cover By: graphicarea,  thx sudah meluangkan waktu untuk ini :)

Sebetulnya tak penting memakai pakain semacam apa, asalkan ia tidak telanjang ataupun sekedar memakai bikini meski mereka bertemu di pantai. Tetapi entah mengapa gadis itu terlihat ribet memilih baju yang bertumpuk di almari. Seolah-olah pertemuan ini resmi seperti para pejabat menteri yang mengharuskan memakai pakaian tertentu. Pakaian yang digantungpun nyaris lepas semua dari hanger.

Rasa penasaran ini membuatnya seolah terlihat amat antusias. Pertama kalinya ia akan bertemu sahabat penanya setelah bertemu hanya lewat sebatas kertas. Kira-kira seperti apa bentuk wajahnya? Standart, di atas standart atau di bawah standart?

Yuju mengibaskan wajahnya. Memandangi wajahnya di depan cermin. Tak penting seperti apa bentuk wajah seseorang yang telah tahu banyak sepenggal kehidupannya. Yang ia tahu ia merasa nyaman ketika berinteraski dengannya meski sebatas lewat sebuah surat dalam botol.

Detik jam di kamar Yuju masih terus berputar dan berbunyi. Terdengar keras karena kamarnya sepi tak ada suara apa-apa. Gadis itu menunggu jarum jam itu bertengger diangka sekitar 4 dan 5. Baru setelah itu ia akan pergi.

Ada banyak sesuatu yang ingin ia bicarakan nanti ketika mereka benar-benar kopi darat. Yuju juga sudah menyiapkan beberapa pertanyaan padanya tentang komik itu. Konyolnya, tiba-tiba mendadak ia merasa menjadi wartawan yang hendak mengintoregasi seseorang dengan rentetean pertanyaan.

Ponselnya berdering dan bergetar di atas meja. Yuju meraihnya dan membuka satu pesan Voice Note baru dari Whatsup chat. Senyumnya terbit dari bibir, saat tahu Yang Yoseob lah pengirim pesan suara itu.

'Maafkan aku'

Sejenak, Yuju tertegun. Berusaha mencerna kata yang semestinya amat mudah ia mengerti. Tetapi hal yang tak dimengerti adalah alasannya. Kata maaf itu untuk seseorang yang telah berbuat salah, tetapi memangnya apa yang sudah Yoseob lakukan padanya?

"Oppa, kau salah minum obat ya?" Balasnya pada ponsel itu, gadis itu mencibir seolah ponsel itu adalah Yoseob. Ia tersenyum ketika pesan itu terkirim. Kadang ia merasa Yoseob itu penuh kejutan. Paling bisa membuat pipinya menghangat dan merona meskipun hal yang dilakukan begitu sederhana.

'Tapi, aku juga minta maaf' ucapnya kemudian. Mendadak merasa bersalah karena menolak ajakanYoseob pergi ke Jinan dan membohonginya.

Mungkin nanti, ada banyak waktu untuk mereka ngobrol dan ia akan jujur. Untuk sekali saja ia membohongi Yoseob, meski kenyataanya ia juga amat sangat benci dibohongi.

****
Suara deburan ombak memecah ditelinga saat kaki Yuju berjalan menapaki pasir pantai. Sore ini beberapa hilir mudik anak-anak berlarian di tepi pantai dan berenang di laut, ada pula yang sibuk membuat istana istana dari pasir.

Sementara tabir surya di ujung pandangannya masih begitu elok membiaskan cahaya jingga yang bersinar menyemburat bagaikan kilauan emas. Pohon kelapa nampak tinggi dan sedikit membungkuk.  Burung-burung terbang dan bersiap pulang ke sangkar pohon.

Sedikit lagi langkah itu sampai pada tempat pertemuan. Tempat di mana mereka beritual memendam ke dalam pasir selembar surat dalam botol.  Tempat di mana gadis itu mencurahkan sepenggal kehidupannya dengan begitu ringan pada seseorang yang tak dikenalinya, tanpa ia sadari bahwa semua itu suatu saat akan menyakiti hatinya. Membunuh rasa kepercayaan hati pada seseorang, dan mungkin inilah permulaan dari kesakitan itu.

Dari kejauhan, ditempat yang sudah tak asing untuknya, lebih dari Seratus langkah tempat Yuju berpijak, nampaklah bidang punggung seorang pria yang kini menatap gulungan ombak putih dan berbusa. Berdiri terpaku bagaikan miniatur patung manusia yang diletakkan begitu saja  di bibir laut.

Dahi Yuju mengernyit, serta merta diiringi matanya yang menyipit. Seperti amat mengenali sosok itu. Berusaha mempercepat langkahnya untuk segera tahu dan menghilangkan rasa penasaran. Berharap dalam hati bahwa yang berdiri di sana bukanlah seseorang yang ia coba ia terka-terka dalam hati.

Kurang lebih sepuluh langkah, semua amat jelas bahwa Yang Yoseob lah sang pemiliki punggung. Meskipun Yuju amat ingin pergi tanpa Yoseob tahu bahwa ia kini telah ada di belakangnya, namun keberadaan Yoseob saat ini, di tempat ini, tak ayal membuat hatinya bertanya-tanya. Ditambah lagi dengan tentang bohongnya ia yang katanya pergi bersama Eunha. Tiba-tiba ia merasa langkahnya terbelenggu. Pergi enggan, melangkah mendekatpun sulit dan berat. Seolah ada rantai besi yang kini menggembok langkahnya.

Pikirannya masih berkecamuk, ia tak ingin  berfikir yang tidak-tidak tentang hadirnya Yoseob di pantai ini tepat pada waktu ia akan bertemu orang lain. Kini pikirannya mendadak mengarah pada rasa bersalahnya lagi. Menolak ajakan Yoseob demi bertemu orang lain.

Rasa bersalah dan rasa penasaran itu sekaligus membuatnya gundah gulana. Dua perasaan itu bertubrukan di dalam hatinya dan berusaha menemukan masing-masing jalan keluar.

Yuju terkejut setengah mati ketika melihat Yoseob kini telah melihat kehadirannya. Langkahnya kian terkunci saat melihat caranya menatap, tatapan datar dan teduh milik Yang Yoseob sepuluh langkah darinya. Tatapan yang amat jauh  berbeda dengan saat terakhir ia bertemu Yoseob pagi tadi.

Yoseob berjalan mendekat pada Yuju. Wajahnya berekspresi datar, tatapannya amat kaku dan membuat atsmosfier di pantai itu amat dingin mencekam. Amat berbeda jauh dari sebelumnya, yang kehadirannya selalu membuat hangat suasana dengan senyum manisnya.

"Oppa, kau ada di sini?"

Yoseob masih diam, tak membuka suara dan tetap menatap dengan perasaan berkecamuk. Suasana seperti ini membuat Yuju digelayuti rasa takut tak menentu. Ia amat tak mengerti arti tatapan itu.

"Maafkan aku, aku sudah berbohong tentang tadi pagi. Tapi...tapi aku sudah berjanji akan jujur padamu sepulang dari sini." Ucap gadis itu dengan perasaan tak enak hati.

"Aku ke sini sebenarnya akan bertemu seseorang. Aku... aku." Ucapan Yuju menggantung. Karena sisi lain yang ada di ruang kosong pikirannya juga sibuk bertanya-tanya, sibuk menebak apakah Yang Yoseob selama ini adalah...

"Dan seseorang itu adalah aku." Ucap Yoseob akhirnya. Bahkan Yuju takut untuk membayangkan semua ini dalam kepala. Tetapi kini Yoseob telah mengakui hal yang membuat hati Yuju tersakiti.

"Aku orangnya, sahabat pena yang selama ini sering kau ceritakan itu." Ucapannya terdengar seperti memikul rasa bersalah yang amat besar. "Maafkan aku."

Yuju terpaku, sekujur tubuhnya bagaikan tersiram oleh air es yang seketika membekukan darah dan tulang. Pengakuan yang terlontar dari mulut Yoseob sungguh meremukkan hatinya. Membuatnya seperti kaca yang telah terpecah-pecah dan sulit untuk disatukan.

"Maafkan aku, seharusnya aku jujur lebih awal, tapi aku tak tahu bagaimana cara mengakhiri semua rasa bersalah ini. Aku awalnya tidak tahu siapa orang kau sukai dan sering kau ceritakan padaku lewat surat. Dan aku semakin sulit keluar dari masalah ini saat aku tahu bahwa akulah orang yang kau ceritakan itu." Yoseob panjang lebar bercerita. Sesekali ia mengatur nafas yang membuat hatinya tercekat dan terhimpit. Pengakuan ini sungguh menguras seluruh perasaannya.

Yuju tak sanggup menerima fakta bahwa ia telah di bohongi sedalam dan sesakit ini. Dan tersangkanya adalah Yang Yoseob, pria yang begitu dicintainya.  Mendadak kepalanya terasa sesak dan berat, seolah siap untuk meledak kapan saja.

"Maafkan aku!" Ucap Yoseob lirih, mencoba meraih dan mendekati Yuju. Namun ia beringsut mundur, seolah mengisyaratkan bahwa gadis itu tak mau disentuh. Ia tak bisa menahan butiran air  mata yang sekonyong-konyong menetes begitu saja. Mati-matian ia pertahankan agar tak keluar dan jatuh. Gadis itu membekap bibir, menahan suara isakan tangisnya yang membuat dadanya sesak.

"Aku mohon, maafkan aku!" Ucapnya sekali lagi. Suaranya terdengar bergetar. Pria itu merasa pilu ketika menyaksikan Yuju yang kini terisak-isak. Ia bahkan sudah tahu dari awal, bahwa pengakuan ini tak hanya akan menghancurkan satu hati saja.

"Yuju, aku sungguh tak bermaksud..." Yoseob menggantungkan ucapannya ketika melihat Yuju menggeleng kepalanya keras-keras. Sepertinya batas kesanggupannya untuk menerima semua fakta cukup sampai di sini.

"Berhentilah meminta maaf terus-terusan!" Ucap Yuju dengan suara membentak bercampur dengan isakan.

Hening dan mencekam diantara mereka. Hanya suara deburan ombak bergulungan dan bekejar-kejaran tak mau tahu apa yang terjadi antara kedua anak manusia yang kini saling bersitatap dengan begitu dingin. Bentakan seorang Yuju nyaris membuat aliran darahnya seakan berhenti. Ia tak yakin apa ia akan sanggup menghadapi ini. Bahkan Untuk detik ini dan detik seterusnya.

"Meski dengan meminta maafpun, tapi kau sudah membeberkan fakta bahwa kau sudah membohongiku selama ini," Yuju masih terisak, menyusutkan air mata dengan punggung tangan yang keluar bertubi-tubi dari kelopak mata, "Tetapi seharusnya kau simpan saja semuanya. Semestinya aku tak perlu tahu semua fakta menyakitkan ini. Seharusnya kau simpan saja semua kebohongan itu! Dan semestinya kau jangan ada di sini sebagai pribadi yang lain! Seharusnya aku tak pernah tahu bahwa kau membohongiku, seharusnya...."

Pernyataan Yuju dengan banyak kata seharusnya, seharusnya dan seharusnya membuat Yang Yoseob kian tak mengerti. Yuju bilang ia begitu benci dibohongi, lantas kenapa seharusnya ia menyimpan semuanya kebohongan ini?

"Beban rasa bersalah ini sudah terlalu lama di hatiku, aku tidak sanggup lagi memikulnya." Ucapnya dengan air mata yang mengalir lancang.

"Kenapa tidak kau biarkan saja semua menjadi terlihat seolah tidak terjadi apa-apa! Tidak bisakah aku menyimpan semua pengakuanmu itu? Ini sangat menyakitkan, Oppa.... Aku lebih memilih kau membohongiku selamanya tentang semua ini daripada kau jujur. Karena kenyataanya kejujuranmu yang satu ini membuatku teramat terluka," Yuju semakin terisak, tak sanggup menahan tangis yang mati-matian dibendungnya. "Dan alasan luka itu muncul, karena mungkin aku begitu.... mencintaimu."

Yoseob semakin terpaku, ia tahu bahwa posisinya saat ini berada dalam situasi serba salah. Kejujuran ini amat menyakitkan untuk Yuju, tetapi kebohongan yang ia simpan rapat-rapat akan sedikit-sedikit menggerogoti hatinya jika ia terus-terusan menyimpannya.

"Lalu apa yang harus kulakukan?" Yoseob menatap Yuju yang enggan dan tak sudi menatapnya. Gadis itu kini berubah berekspresi dingin dan amat kaku.

"Pergilah! Aku ingin sendiri di sini!" Ucapnya datar. Matanya lebih memilih melihat gelombang ombak di sana ketimbang Yang Yoseob. Pengusiran yang diucapkan Yuju memang terdengar halus tanpa bentakan, tapi entah mengapa terdengar begitu menyakitkan dan membuat lukanya semakin menganga. Tak ada gunanya memprotes pengusiran ini, Yuju memang benar-benar terlihat ingin menyendiri, meratapi luka hati.

Yang Yoseob membalikkan punggung, berjalan dengan langkah begitu berat. Sepuluh langkah kemudian, pria itu kembali menolehkan kepala. Menatap punggung Yuju serta rambut panjangnya yang berkibar halus di terpa angin laut. Pria itu kemudian mengambil langkah seribu, tak sanggup untuk melihat seorang Yuju yang kini terluka olehnya.

Bersama dengan itu, saat langkah Yoseob kian menjauh, butiran salju turun dengan lembut diterpa angin laut. Namun Yuju masih terpaku, tak bergerak sedikitpun saat Kristal salju dengan lembut menerpa wajah dan meleleh di sana. Pikirannya sibuk berkecamuk dalam hati. Ia tak habis pikir tentang luka hatinya yang tersayat begitu dalam tentang sebuah pengakuan yang semestinya diterima dengan lapang.

Yang ia tahu kejujuran dan pengakuan ini benar-benar membuat hatinya porak-poranda.

*****
Segalanya mungkin akan menjadi amat berbeda semenjak kejadian itu. Tak ada kencan di pinggir jendela seperti setiap malam, tak ada pula pesan singkat yang saling mereka kirimkan melalui ponsel pintar. Semua aktifitas mereka seolah lumpuh total. Tidak pula akan ada ritual surat menyurat lagi, semuanya terlalu sulit untuk dipercaya jika Kenyataanya orang yang selalu diceritakan dalam surat adalah si pembaca itu sendiri. Dan parahnya, Yoseob tak jujur dari awal sehingga pengakuan yang ia utarakan menjadi terlihat begitu menyakitkan.

"Kau yakin dengan keputusanmu?" Ucap Eunha yang kini hanya bisa menatap seorang Yuju mengemasi barang dalam kardus. Ia memilih menginap di rumah Yuju, karena ia tahu sahabatnya sedang membutuhkannya lebih dari apapun. Tadi, begitu Eunha masuk kamar ini, Yuju seketika berhambur menangis ke dalam pelukan Eunha dan menangis di sana. Menceritakan semua yang terjadi.

"Aku ingin membuang dan mengubur semua kenangan bersama dia." Ucapnya sedatar mungkin.

"Aku rasa alasanmu itu sangat sepele. Seseorang wajar membuat kesalahan, bukan?  Aku tahu kau begitu menyayangi Yoseob, dan tidak mudah melupakan apa yang telah kalian lewati."

"Tapi..  tapi semua ini terasa amat menyakitkan, Eunha. Semua memang terdengar sepele, tapi hatiku begitu sakit saat tahu bahwa selama ini ia membohongiku habis-habisan. Kenapa dia memilih bersandiwara di depanku daripada jujur sebelum terlambat?  Bukankah tentang surat itu aku sudah berkali-kali menceritakan padanya. Tapi kenapa? Kenapa dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia adalah Mr.WhyLove itu." Yuju berucap panjang lebar, suaranya terdengar bergetar. Tangannya memegang selembar Foto Yoseob bersama dirinya yang akan masuk ke dalam daftar kotak kardus 'Masa Lalu' bersama barang-barang kenangan lainnya.

"Tapi apakah kau tidak memberi satu kali kesempatan untuknya? Bukankah ia telah memilih mengakui semua di depanmu tanpa pengecut?"

"Aku tahu, tapi semua terasa sulit untukku. Setiap membayangkan wajahnya pun aku tak yakin bisa melupakan rasa sakit ini."

Detik demi detik hanya terisi kebisuan di antara mereka. Gadis itu bingung harus bagaimana lagi membujuk sahabatnya itu untuk memikirkan lagi matang-matang keputusannya. Eunha menatap lamat Yuju yang menyibukkan diri mengemas dan menutup kardus tersebut dengan lakban cokelat transparan. Ruangan kamar yang sepi sejenak membuat suara isolasi terdengar menggema keras ketika direkatkan. Bagi Yuju, jika ingin melupakan rasa sakit itu, ia harus melupakan segalanya tentang Yang Yoseob. Entah itu kenangan dari sudut apa saja.

"Tapi bukankah sebuah kesalahan layak mendapatkan maaf?"

Ucapan Eunha lantas membuat aktitas Yuju mengisolasi kardus berhenti sejenak. Ia kembali menghela nafas, mencoba membuat cela di dalam dadanya yang kian sesak oleh rasa yang berkecamuk. Sebegitu  sakit perasaannya tentang semua ini. Dan ia galau dengan apa yang semestinya ia lakukan.

"Masih banyak waktu untuk membuat sebuah keputusan. Jangan sampai kau salah dalam memilih langkah!" Eunha mengusap lembut punggung tangan Yuju. Mereka lantas saling mendekap erat menumpahkan semua perasaannya.

****

Entah kebetulan atau disengaja. Ketika Yuju keluar dan membuka pintu, saat itu juga Yoseob keluar dari rumah. Yuju hanya sekilas melihat pria di depannya tanpa sudi menyapa. Seolah-olah Yoseob tak ada di depannya saat ini.

Pria itu menatap Yuju, hendak mengatakan sesuatu atau mungkin sekedar menyapa. Tapi gadis itu buru-buru pergi, melangkah dengan cepat mendekap bukunya dan tak berekspresi sama sekali. Sikapnya yang acuh tak acuh, dan tak sudi berbicara sepatahpun membuat Yoseob menghela kecewa. Ia lebih suka melihat Yuju yang terang-terangan marah memaki dan berteriak di depannya daripada diam mematung tak berekpresi sama sekali.

Yoseob mengikuti langkah Yuju dari belakang. Pria itu hanya bisa menatap getir punggung seseorang yang kini telah mengacuhkannya. Rasa sakit ini lebih sakit daripada terkena bisa ular tanpa mendapatkan penawar racun. Amat menyakitkan sampai ke ulu hati.

Bahkan sikap dingin Yuju itupun tak hanya berakhir di sini. Baik di bus ataupun di sekolah, Yuju sama sekali tak mengindahkan kehadiran Yoseob. Setiap kali Yoseob ingin mengatakan sesuatu, disaat itu pula Yuju beranjak dan menjauh. Seolah-olah Yoseob benar-benar sudah tak penting dan tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan hidupnya.

"Bisakah kita bicara?" Yoseob akhirnya berhasil mencekal pergelangan tangan Yuju. Memohon pada gadis itu agar tak memasang wajah tak berekpresi seperti saat ini. Dingin dan amat datar, "Sebentar saja!" Pria itu menatap Yuju dengan mata penuh permohonan.

"Aku sedang sibuk. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan, jadi kita tidak perlu bicara. Apalagi jika yang kau katakan itu sekedar dusta dan alasan-alasan lain agar aku bisa kau bohongi lagi. Itu akan membuang waktuku!"

"Astaga, Yuju. Aku tidak seperti itu." Ucapnya dengan merasa lelah. Ia tak habis pikir jika ternyata sebegitu benci dengannya hingga menuduhnya yang bukan bukan. "Aku bukan seperti yang kau pikirkan?"

"Benarkah itu? Yuju tersenyum pahit di depannya, "bukankah kau bersandiwara dengan baik saat itu,  sampai aku tidak tahu bahwa aku begitu kau bodohi? Tidak menutup kemungkinan jika semua perasaanmu hanya sandiwara? Bisa saja kau hanya pura-pura menyukaiku dan menjadi kekasihku untuk membuatku senang? Benar begitu? Apa masih ada kebohongan lain yang belum aku tahu?" Tiba-tiba hati Yuju terasa getir. Membayangkan jika itu semua benar adanya, maka lengkap dan genap sudah rasa bencinya pada seorang Yang Yoseob.

Yoseob menggeleng kepala cepat-cepat. Tuduhan Yuju bagaikan rantai yang terus menyambung. Seolah-olah memang benar begitulah pribadi seorang Yang Yoseob." Ini tidak benar? Kenapa kau berfikir aku seburuk itu?"  Serunya putus asa.

"Jika kau tak seperti itu, lantas apa tujuanmu membohongiku? Bukankah tentang surat itu kau tau, bahkan sejak kita belum berpacaran?"

Yoseob lelah, memberikan penjelasan namun Yuju terus-terusan mencari kesalahan dirinya, membuat Yoseob merasa terpojok dan terhimpit oleh perasaan getir.

"Lebih baik kita tidak perlu lagi saling bicara!" Yuju beranjak begitu saja saat tahu Yoseob hanya diam tanpa memberi jawaban perlawanan. Secepat kilat Ia mengambil langkah seribu. Meninggalkan Yoseob yang kini terpaku dengan wajah kian teduh. Pria itu kemudian berjongkok menghela frustasi. Perang dingin itu akhirnya benar-benar telah resmi dimulai. Ternyata konsekuensinya ia tak sanggup menanggungnya. Rasa sakit ini ia benar-benar tak sanggup menjalaninya.

To be continued....

Sebelumnya saya sebagai manusia tempat dosa dan khilaf mengucapkan minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top