BAB 19 {~Special Yang Yoseob POV~}

Rumahku saat ini terasa hangat oleh kehadiran Yuju dan juga Paman Choi. Suara riuh dan tawa renyah semakin membuat suasana makan malam bersama nampak terasa menyenangkan. Padahal kami hanya berempat, tetapi segelentir manusia ini seakan-akan berjumlah lebih dari itu.

Ini bukanlah kali pertama Yuju dan Paman Choi makan malam di rumah kami. Ibuku terlihat antusias kepada Yuju. Terlihat amat perhatian menawari ini itu, sebab dari dulu ia memang menginginkan anak perempuan. Lihatlah! Ia bahkan mengacuhkan aku, yang notabene anak sendiri.

Baiklah! Posisiku sebagai anak satu-satunya tergeser saat ada Yuju. Tentu saja itu bukan masalah, Yuju itu kekasihku! Dia pacarku!,  dan itu adalah pandangan yang menyenangkan melihat dua perempuan yang aku sayangi bisa bersatu dengan mudah.

"Yuju sudah punya pacar?" Tanya Ibu tiba-tiba di sela  makan malam kami. Itu sungguh pertanyaan konyol yang diajukan. Berkali-kali aku menceritakan tentang ini. Tentang Yuju yang dilarang keras oleh Ayahnya untuk berkencan dengan seorang pria.

Yuju dan aku saling melempar tatapan melotot, ada raut wajah sungkan dan tak enak hati saat menatap Aku dan Paman Choi bergantian. Seharusnya ia tidak perlu seperti itu, sebab aku sangat tahu posisinya.

Aku mungkin satu-satunya pria tidak sopan dan lancang karena sudah menjadi pacar dari putri Paman Choi tanpa sepengetahuan dan juga tanpa izin. Tetapi aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menutupi bahwa perasaanku kepada Yuju semakin menggila entah sejak kapan dan karena apa. Gadis polos itu semakin membuatku jatuh cinta. Dia sangat manis walaupun ia terkadang juga menyebalkan. Wajah putih dan rambut lurus yang terlihat pasaran, tetapi istimewa menurut pandanganku. Dan satu lagi, dia itu selalu membuat aku tak bisa melepas senyum ini.

Usiaku menginjak19 tahun, dan aku hanya seorang pelajar di Hanyoung SHS kelas Tiga. Tetapi untuk urusan membahagiakan gadis yang istimewa, tidak perlu diragukan. Aku akui, Yuju bukan seorang pertama yang mengisi hatiu, tetapi aku berharap aku bersama dengannya sampai kapanpun.

Yuju hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Rupanya ia memilih diam dari pada mengundang masalah.

"Mana berani dia coba-coba berkencan dengan seorang pria, itu adalah garis keras untuknya. Kalau sampai dia berkencan maka aku tidak akan menyekolahkannya lagi." Paman Choi terkekeh,  tetapi ucapan Paman Choi terdengar campur aduk, antara peringatan dan juga candaan.

"Yuju tidak boleh berpacaran? Memangnya kenapa? Sayang sekali, padahal dia gadis yang sangat manis. Tentu banyak pria yang menyukainya." Ibu melirikku sejenak, menatapku dengan isyarat.

"Biar dilanjutkan dulu sekolahnya, nanti setelah karirnya maju baru boleh berkencan. Aku tidak mau pelajaran sekolah terganggu karena memikirkan masalah pria."

"Bagaimana jika putrimu itu menyukai seseorang,  kau mau terus-terusan menekan perasaannya?"

"Apa beratnya bersabar sampai pendidikan yang ia jalani selesai semua?"

Ibuku melongo, skak mat dengan ucapan Paman Choi yang terdengar keras kepala. Niatnya mencarikan cela untuk aku  putranya, tapi nihil. Paman Choi ternyata orang yang sangat berpegang teguh pada pendiriannya.

"Baiklah kau memang pantas dijuluki The Top Father." Ibu mengacukan kedua Ibu jari.

"Ayahku memang yang terbaik." Yuju ikut mengangkat Ibu jarinya.

Mereka kembali tertawa riang dalam suasana makan malam yang sangat hangat.

"Kalau Yuju menginap di sini apa tidak di larang?"

"Untuk apa?"

"Hey! Tuan Choi! Aku ini ingin tahu rasanya punya anak perempuan. Setidaknya pinjamkan dia padaku beberapa hari saja."

"Haha, tapi putriku sudah besar, dia  hampir 18 tahun, kau tidak lihat? Kau cari saja bayi perempuan untuk di adopsi."

"Yoseob tidak mau punya adik yang tidak sedarah." Ibu menatapku, aku mengangguk membenarkan. Aku memang tak menginginkan adik tiri. Itu sebabnya aku tidak akan setuju jika suatu saat posisi Ayahku tergantikan. Terlebih ketika orang itu membawa seorang anak di keluarga kami.

"Bagaimana tetangga kita? Mereka banyak memiliki anak gadis."

"Aku hanya menyukai putrimu, sejak melihat dia aku sangat menyukainya, dia sangat manis dan cantik." 

Iya, aku tahu Ibuku sangat keterlaluan memuji Yuju, tapi itulah kenyataanya. Jangankan Ibuku, aku saja merasa jatuh cinta berkali-kali ketika menatap mata polosnya ketika menatapku. Dan ini bahkan sudah kukatakan berkali-kali, bahwa aku sangat mencintainya. Ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama,  bahkan kalian pasti tau bagaimana awal aku bertemu Yuju. Saling mencerca satu sama lain gara-gara syalnya yang tersangkut pada resleting ranselku. Aku bersumpah aku sama sekali tidak mendengar teriakannya saat itu. Tahu tahu ia sudah tersungkur di kakiku dengan wajah lucunya. 

Mengingat kejadian itu aku tersenyum sendiri. Berbeda dengan hari kejadian itu. Jangan ditanya bagaimana aku saat itu. Wajahku tak berekspresi sama sekali. Bahkan wajah angkuhku saat itu patut dianugerahi piala penghargaan sebagai wajah paling sombong. Tetapi sikap dan sifatku mulai berangsur-angsur berubah, dan Jangan ditanya apa sebabnya. Bertemu dan menjalani hari dengan kehadirannya yang sama sekali tak kurencanakan membuatku tak ayal menjadi seseorang yang banyak menemukan hal baru. Aku lebih banyak tersenyum dari sebelumnya.

"Yuju bagaimana? Apa kau mau?"

"Itu terserah Ayah, Bibi."

"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Aku sedang libur. Dan kau tidak perlu khawatir, Tuan! Aku ada banyak waktu di sini untuk menemani Yoseob dan juga Yuju."

Ibu menatap Paman Choi dengan binar mata memohon. "Aku mohon Tuan Choi. Aku akan mengajarinya melakukan pekerjaan Rumah tangga. Aku akan mengajarinya memasak agar dia nanti mengurangi beban pekerjaanmu. Lagipula kalau rumah kita ini bersebelahan, kau bisa mengeceknya sesekali."

Paman Choi menatap Yuju sekilas. "Tiga hari. Ayah tidak ingin lama-lama kesepian di Rumah tanpa celotehanmu." Yuju mengangguk tersenyum. Ibu seketika berteriak senang.

*****

Bebas. Aku bisa menemui dan Mengajak Yuju kapanpun dan kemanapun. Ibuku memang hebat, Ratunya merayu dan sangat mengerti apa yang aku mau. Selama ini ia hanya mendengar dari ceritaku saja tentang betapa sulitnya hubungan ini.

Bagaimana tidak kusebut sulit? Mau berkencan saja aku harus sembunyi-sembunyi menemuinya di jendela kamar. Aku benar-benar pria payah dan tak romantis. Tapi harus bagaimana? Hanya ini satu-satunya tempat aman yang tak membuat Paman Choi curiga atas hubungan kami yang tersembunyi. Lagipula ini juga permintaan Yuju. Aku sangat tahu bagaimana perasaanya padaku, dan aku juga tahu betapa ia tak ingin membuat Ayahnnya itu kecewa.

Sejujurnya aku ingin hubungan ini seperti orang berkencan pada umumnya. Dinner di Restoran dengan suasana yang romantis, Nonton film, dan jalan-jalan menyusuri Kota Seoul dan apa saja bisa bebas kami lakukan asal tahu batasan.

Ah, aku tidak akan menuntutnya macam-macam. Sudah bisa menemuinya diam-diam lewat jendela kamar saja aku sudah senang. Lagipula kami setiap pulang sekolah  jalan-jalan. Waktuku lebih banyak saat siang, dan itu  bukan masalah. Dan tentang menonton film, aku akan mengajaknya malam ini.

Aku menengok arlojiku sejenak. Jarum pendeknya bertengger antara delapan sembilan. Tidak ada waktu, aku mengehela kecewa. Yuju mungkin tidak akan mau keluar meski sekarang posisinya sedikit bebas. Aku juga khawatir, bagaimana kalau tiba-tiba Paman Choi memastikan putrinya. Rencana menonton film aku tunda untuk besok saja. Tak ada malam sorepun jadi.

"Untuk apa melamun di sana? Kau mau membantuku mencuci piring?"

Aku tersentak dari lamunan. Baru ingat bahwa aku sudah berdiri di sini sejak tadi. Menyaksikan punggung gadis berambut panjang yang kini sedang membantu Ibuku membersihkan piring sisa makan malam tadi.

Dia cekikikan kecil melihatku. Entah apa yang ia tertawakan ketika melihat wajahku ini. Apa ada yang aneh? Atau ada sisa nasi di wajahku ini?

"Kau pasti kelewat bahagia bisa menginap di Rumahku, sampai kau tertawa seperti itu."

Seperti biasa aku bersikap penuh percaya diri, aku membuat seolah dialah yang paling terpesona kepadaku. Padahal sama saja,  perasaan kami tak ada bedanya.

Gadis itu mencibirku, menatapku sinis. "Kau pasti sedang memikirkan apa saja yang akan kau lakukan di hari bebasmu saat ini. Aku melihatmu melamun sejak tadi. Memang apa yang kau rencanakan, huh?"

Aku menghampirinya yang kini sibuk berkecimpung dengan busa dan piring. "Aku melihatmu sudah cocok jadi Ibu rumah tangga, bagaimana kalau kita menikah saja, aku akan meminta ijin pada paman Choi sekarang juga" Godaku pada Yuju.

Dan aku mendapat pelototan kaku sebagai jawaban. Lihatlah gadis ini! Selalu lucu dengan ekspresi apa saja. Ekspresi jutek dan marahnya menatapku membuat hatiku gemas sekali.

"Aku hanya bercanda" ucapku padanya. Kini ekspresi wajahnya menjadi mencair. Ia memang selalu marah setiap aku menggodanya, apalagi jika tentang ini.

"Bercandamu sangat tidak lucu, Oppa!" Ucap Yuju sengaja menyiprati aku dengan air. Membuat aku sedikit terlonjak kaget.

"Ah... kau ini mau main-main denganku, ya?" Sengaja aku membalasnya. Gadis itu teihat menghindar dan memalingkan wajah. Tetapi tangannya mencolekkan busa ke wajahku.

Dia tertawa melihat wajahku. "Aku alergi busa." Ucapku padanya. Aku memancarkan ekspresi seserius mungkin

Seketika ia panik, segera membasuh pipiku dengan air. Tangan lembutnya menyentuh membersihkan busa di wajahku dengan tatapan menyesal. Ada wajah panik dan rasa bersalah. "Kenapa tidak bilang, semoga tidak akan terjadi apa-apa."

Ya Tuhan, tatapan kekhawatirannya membuat jantungku seolah memaksa keluar. Jika saja bisa kuambil akan kutunjukkan padanya betapa ia juga  begitu penting untukku.

Air mukanya yang panik membuatku tak tahan untuk tak tertawa melihat wajah Yuju. Aku menatap gadis itu dengan sorot mata sok serius. "Dasar, idiotmu masih saja kau pelihara, ya? Mana mungkin aku alergi Busa, bagaimana kalau aku mandi."

Yuju seketika cemberut. Melototi aku kembali dengan wajah judas. "Kau menipuku, ya?" Tangannya melempar lap padaku dengan kesal.

Aku hanya tertawa saja menatapnya. Mendekatkan wajahku padanya dengan tatapan seduktif "Begitu khawatirnya kau denganku?"

Wajahnya jelas merona, seperti tak bisa menahan senyumnya.  ditangkisnya wajahku dengan jari-jari tangannya.

"Kau tau besok hari apa?" Tanyaku mencoba memancing.

"Hari Jum'at." Jawabnya dengan wajah sepolos mungkin. Dan kepolosannya kali ini membuatku sedikit kesal.

"Aku tidak ingin main-main?"

"Lalu? aku harus bilang apa?"

Astaga... kenapa dia seperti itu? Apa dia benar-benar lupa besok hari apa? Apa ia lupa besok tanggal berapa? Tidak mungkin aku yang mengatakan padanya tentang ini. Kenapa dia menyebalkan di saat seperti ini? Melihat wajah polosnya itu membuatku bisa menebak betapa ia memang melupakan tentang hari apa besok.

"Aku memang tidak ingat." Ucapnya menatapku dengan rasa bersalah. Dia benar-benar tidak mengingat hari istimewa besok.

"Lupakan saja! Tidak perlu dipikirkan."

Aku berlalu pergi meninggalkannya yang masih terpaku dengan tatapan polosnya. Aku sungguh kesal untuk kali ini. Memangnya ia tidak ada rencana sama sekali?

"Ah ... dasar pemarah." Teriaknya padaku. Aku tak memperdulikanya lagi. Hati ini terlanjur kesal.

*****

Pagi ini,hari Jum'at tanggal 05 january semestinya menjadi hari yang begitu istimewa. Sebab ini adalah hari di mana aku menginjak umur 19 tahun.

Yuju sama sekali tak mengingatnya. Bahkan Ibuku, yang melahirkan aku di waktu yang sama tak ada tanda-tanda akan mengucapkan selamat atau apapun.

Kekesalanku ini membuatku malas beranjak dari ranjang. Entah mengapa aku merajuk seperti bocah hanya karena masalah konyol.

"Yoseob, cepat bangun! Kau tidak sekolah?" Ucap Ibuku yang kini membuka tirai kamarku. Seketika seberkas cahaya jingga menyusup masuk ke dalam kamar. Mataku menyipit, menerima silaunya.

Aku masih malas untuk bangun. "Yuju di mana?" Tanyaku berbasa-basi. Sebenarnya aku tak mau peduli, betapa ia sama sekali tak mengingat ini hari apa. Tetapi aku ingin tahu keberadaannya.

"Pagi-pagi sekali ia pamit pulang."

Aku seketika terlonjak duduk. Sukmaku kini telah benar-benar kembali ke alam sadarku. Mataku melotot mendengar ucapan Ibu. Gadis itu pulang tanpa berpamitan, dan dia benar-benar melupakan semua.

"Bukankah Paman Choi mengizinkannya ada di sini tiga hari?'

"Ibu juga tidak mengerti, tiba-tiba saja ia berpamitan."

Dalam hati aku kecewa luar biasa. Dia benar-benar pacar yang payah. Keterlaluan! Bisa-bisanya ia seperti itu padaku.

"Ayo cepat! Harus sarapan dan berangkat ke sekolah.

"Aku malas pergi sekolah hari ini." Ucapku dengan merebahkan kembali tubuhku ke atas kasur. Menutup kembali wajahku dengan selimut.

"Hey! Buka matamu, dasar pemalas. Ibu tak mau tahu, kau tidak boleh membolos hari ini!" Ibuku menyibak selimut dariku dengan kasar

"Aku bilang tidak mau, aku malas pergi ke sekolah, Ibu."

"Tidak ada alasan." Ia menyeretku paksa. Sungguh demi apapun, kali ini Ibu benar-benar menyebalkan.

Semangatku benar-benar tinggal 0,01persen saat ini. Langkah kakiku terhuyung malas ketika Ibu  menyeretku dengan begitu egois. Tanpa memikirkan sakitnya cengkeraman tangannya. Aku heran, untuk apa Ibu jadi seperti ini? Biasanya semua terserah aku, bangun dan pergi sekolah atau tidak.

Aku menurut karena aku tak tahan mendengar celotehan Ibuku pagi ini. Dan harus aku akui, untuk kali ini Ibuku benar-benar cerewet.

"Mandi dulu, baru makan!"

Nah, apa yang baru saja aku katakan? Baru mau ke dapur mengambil air putih, ia sudah menghadangku, Mendorongku ke kamar mandi persis seperti menggiring bebek ke kandangnya. Dan bodohnya lagi aku sama sekali tak memprotesnya perlakuan Ibuku.

Selesai membersihkan diri, aku harus berangkat ke sekolah. Ah, bagaimana kalau aku membolos saja untuk hari ini? Tentu saja, mungkin aku akan terlihat pergi ke sekolah, tapi entah nanti ke mana tujuanku. Sungguh, aku tak mau bertemu Yuju untuk hari ini. Dia benar membuatku kecewa.

Setelah menyiapkan diri dengan terpaksa, aku menyeret kakiku ke ruang makan. Duduk sendirian melihat Bibi Gong yang mondar-mandir meletakkan sarapan pagi ini.

"Ibu kemana, Bi?"

"Sedang pergi, Tuan Muda!"

"Apa?" Mataku melebar dan tak percaya. Bisa-bisanya Ibu melakukan ini padaku. Kenapa semua membuatku kecewa di saat seperti ini?

Kesal, jengkel dan kecewa. Tidak Ibu, tidak Yuju sama saja. Ingin rasanya aku melempar apa saja yang aku lihat saat ini. Bagaimana jika posisisi seseorang sepertiku? Mereka mungkin akan melakukan hal yang sama bukan?

Tetapi aku tidak mungkin bersikap kekanakan. Kini Kekesalanku hanya bisa aku lampiaskan hanya dengan mengaduk-aduk saja tanpa mencicipi makanan di atas meja. Kutopang daguku dengan tangan kiri, menatap lurus tak jelas apa yang aku perhatikan. Pandanganku seolah menerawang entah ke mana.

"SELAMAT ULANG TAHUN..... !"

Suara-suara itu amat kukenali, teriakannya begitu melengking seolah membuat lubang telingaku terasa buntu. Ibuku memegang petasan (?) yang jika meledak akan keluar kartas kecil berkerlip-kerlip.

Dan gadis di sisinya, tentu saja itu Yuju. Dengan penampilan rambut yang sedikit kusut dan berantakan, kali ini rambutnya kuncir satu- tidak lagi terurai. Hanya saja ikatannya sudah merosot begitu saja, Kedua tangannya membawa kue tart dengan cream, irisan dark cokelat padat, dan juga cerry merona mengkilap yang menggoda. Tak lupa pula lilin angka 19 yang menyala di atasnya.

Ibu dan Yuju menghampiriku, dengan binar-binar bahagia yang terpancar amat jelas. Ini benar-benar diluar pikirku. Aku pikir tentang mereka yang lupa dengan hari istimewaku itu benar. Nyatanya mereka tampak antusias menyiapkan kejutan ini untukku. Dan aku sama sekali tidak tahu.

Aku mulai terasa cengeng dengan kejutan yang amat membahagiakan ini. Mendadak merasa berdosa telah merutuk dan kecewa pada mereka beberapa saat lalu.

"Ayo buat permohonan!" Ucap Yuju dengan senyuman khasnya- yang selalu membuat hati ini tentram.

Aku mulai memejamkan mata, mengucapkan sebaris demi sebaris kata yang kurangkai di hatiku, membentuk harapan yang mungkin hanya Tuhan dan aku yang tahu.

'Aku ingin semua orang kusayangi selalu diberikan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun'

'Aku ingin Yuju tidak pernah meniggalkanku apapun yang terjadi'

'Apapun dan kemanapun jalan yang kutempuh, kemana pun aku berputar, aku ingin hanya Yuju yang ada dalam pandanganku.'

'Aku ingin Yuju tak bisa melupakanku!'

Lama mataku terpejam, kini kelopak mataku terbuka. dan aku merasa harapanku terlalu banyak dan terdengar amat konyol. Jika ada yang mendengar mungkin aku akan ditertawai habis-habisan. Terkesan begitu amat takut kehilangan Yuju.

"Ayo tiup lilinnya!" Ucap Ibu tak sabar.

"Jangan lama-lama membuat permohonan." Yuju tak mau kalah. Aku terkekeh mendengar ocehan mereka.

Aku meniup nyala api pada lilin angka sembilan belas itu. Seketika Yuju dan Ibuku bertepuk dan bersorak-sorak.

"Ayo potong kuenya! Aku tak sabar mencicipi kue buatan Yuju." Ucap Ibu seolah  mendesak.

"Yuju membuatnya sendiri?"

"Ia meniru turorial lewat situs di internet. Parahnya dia gagal pada percobaan pertama dan kedua."

Ya, Tuhan... begitu antusiasnya gadis itu membuat kejutan. Rela mengorbankan waktunya demi memberi yang terbaik untukkku. Semangatnya tak hilang meski pada awalnya yang ia dapati adalah kegagalan. Dan apa yang aku lakukan semalam? Aku marah, aku merajuk tak seperti balita.

Aku mulai memotong kue itu. Terlalu sayang untuk kupotong. Kue itu terlalu berharga karena hasil dari kerja keras gadis yang amat kusayangi. Tetapi mungkin ia akan semakin kecewa jika kue buatannya yang lezat itu hanya dibuat pajangan saja tanpa berkurang sepotong pun. Lagipula sayang jika sampai sia-sia dan menjadi basi.

"Tunggu dulu!" Ibuku menghadang. Ada apa lagi ini? Padahal Ibu sendiri yang tadi mendesak untuk menyuruhku memotong kue.

"Seharusnya kita foto bersama."

Aku hampir lupa, tentu saja moment yang tak muda dilupakan ini di abadikan dalam sebuah foto. Ibuku memang yang terbaik, dia selalu mengingatkan hal penting yang kadang tak terlintas di tempurung kepalaku.

Ibu mengeluarkan gadget dan menarik panjang tongsisnya. Memasang gaya kekinian layaknya tak mau kalah dengan anak muda. Di saat seperti ini aku merasa kalah,  Ibuku seperti ingin kembali ke masa muda. Tetapi tentu saja itu tidak mungkin.

Kami berpose bersama, bertiga. Tentu saja dengan senyum simbol kebahagiaan. Kemudian aku foto bersama Ibu, foto bersama Yuju, foto seorang diri. Semua kujelajahi satu persatu.

Kini pisau mengkilap itu benar-benar kutorehkan pada kue yang tak sabar untuk kucicipi rasanya.

Potongan pertama, tentu saja untuk Ibuku. Orang pertama dan teristimewa yang menjadi cinta pertamaku sejak aku dalam buaiannya.

Aku memeluknya erat, tanda betapa aku bahagia telah dilahirkan oleh wanita seperti dia. Rasa terimakasih dan bahagia yang tak  bisa diukur dan tak bisa dilukis. Wanita itu mencium pipiku penuh sayang. Dia memang sering memperlakukanku seperti bocah, padahal aku sudah sembilan belas tahun. Semoga ia cepat menyadari bahwa aku bukan lagi anak kecil.

Potongan ke dua, tentu saja untuk Yuju. Gadis yang dalam beberapa waktu ini menjadi pengisi hatiku, pemilik hatiku. Gadis yang tadinya kupikir tak peduli dengan hari istimewaku, gadis yang rela menggunakan waktunya semalaman untuk belajar membuat Cake untukku.

Tak tahan aku untuk tak memeluknya, tak peduli di depan Ibuku saat ini. Aroma harum adonan kue masih melekat pada tubuhnya.  Ini adalah aroma yang paling aku sukai sepanjang aku bersama Yuju.

Aku memejamkan mataku, mencium puncak kepalanya dengan perasaan yang menggebu. Dalam hati aku bergumam, berkali-kali menyatakan bahwa aku sangat mencintainya, untuk sekarang esok dan selamanya. Ini kesungguhan dan bukan sekedar perasaan main-main seorang remaja sekolahan yang masih menginjak sembilan belas tahun. Aku sendiri yang akan memastikan.

To Be Continued....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top