BAB 15
Sepanjang di sekolah ini Yuju terihat terkantuk-kantuk. Berkali-kali ia kepergok oleh Guru Kim. Yuju jarang sekali tertidur di kelas sampai begitu nyenyak
Gara-gara Yang Yoseob, pacarnya tersayang itu membuat malam harinya tanpa tidur. Hingga ia tak bisa menahan kantuknya ketika pelajaran berlangsung. Tetapi ia tak mungkin menyalahkan Yoseob ketika Guru Kim menanyakan mengapa gadis itu tertidur.
Yuju merelakan dirinya menyikat semua toilet di seluruh sekolah. Jarang-jarang peraih predikat ranking satu dan siswi teladan mendapatkan hukuman semacam itu.
Tetapi Yang Yoseob tak membiarkan Yuju sendirian melakukan semua itu. Harus diakui, Pria itu tahu Yuju seperti itu karena dirinya.
"Kau benar-benar tidak tidur?" Ucap Yoseob. Pria itu memiringkan kepala memastikan area kelopak mata Yuju sudah tidak terlihat hitam.
Yuju menoleh sebentar pada Yoseob, kemudian ia mengangguk. Tangannya kembali bekerja fokus pada jamban yang sedang disikatnya. Kantuknya sudah hilang saat la terpaksa menjalani hukuman.
"Gara-gara aku?"
Yuju menggeleng singkat "bukan."
"Gara-gara kita begadang semalam?"
Yuju mengangkat bahunya secara simpul sebagai jawaban.
"Gara-gara ucapanku semalam?"
"Bukan juga, sudahlah kau mau membantu atau mengintrogasi?" Sergah Yuju.
Yoseob berhenti bertanya-tanya, ia melanjutkan menyikat lantai kamar mandi itu sampai kinclong.
Yoseob pecinta kebersihan, dan Hukuman bersih-bersih semacam ini terlalu ringan dijalaninya. Meskipun Yoseob awalnya pria yang sedikit angkuh, tetapi untuk menyangkut kebersihan pria akan dengan suka rela melakukan tanpa diminta.
Bosan dengan suara sikat yang beradu dengan lantai kamar mandi, Yuju menginginkan suasana baru.
Yuju memang sengaja mendekat di belakang Yoseob dan menyikat lantai kamar mandi itu. Terlihat amat jelas dengan kesengajaan itu ketika sepatu Yoseob disikat dengan sikat toilet. Ini jelas, unsur kesengajaan berbalut fiktif.
"Apa yang kau lakukan? Ini menjijikkan!" Ucap Yoseob marah pada Yuju.
"Seharusnya hukumanku menyenangkan dengan kehadiranmu, tetapi kau membosankan." Ucap Yuju. Tangannya tetap menyikat jail sepatu Yoseob, juga seringai wajahnya saat ini yang terlihat memasang senyum paling jail.
"Lalu aku harus berbuat apa agar kau tak bosan?" Ucapnya sembari mengangkat kakinya bergantian. Menghindar dari hujaman sikat toilet yang dipegang Yuju. "Hey berhentilah melakukan itu, idiot!" Hardik Yoseob berang.
"Setidaknya kau nyanyikan sesuatu!"
"Tidak, aku tidak suka menyanyi, aku lebih suka melukis."
"Gara-gara memikirkanmu semalaman aku tidak bisa tidur, sekarang kau harus bertanggung jawab, nyanyikan satu lagu untukku!"
"Sudah kubilang aku tidak suka menyanyi, kalau kau minta seratus lukisan akan aku buatkan, sekarang juga!"
Mereka kembali saling berdebat setelah sekian lama. Dan itu hanya masalah sepele. Terlepas dari itu, mereka tetap saling menyayangi.
"Pokoknya aku mau kau menyanyi!" Pintanya dengan paksa. Gadis itu melipat tangan di dada dan memasang wajah masam.
Tak tega dengan Yuju yang merajuk, Yoseob mengalah. Pria itu melakukan apa yang diminta Yuju walaupun melakukan dengan setengah hati.
Suara Yoseob kini menggema di dalam kamar mandi. Suaranya itu... tak menyangka begitu membuat perasaan Yuju bergetar. Membuat darahnya seakan berhenti mengalir, melumpuhkan sendi beserta tulang belulangnya. Amat membuat siapa saja yang mendengar tak berkutik.
Nyayian tanpa musik, dan itu sungguh amat merdu pecah di telinga. Mungkin lebih indah dibanding penyanyi sebenarnya. Dan Yoseob kini menjadi penyanyi kamar mandi, khusus untuk Yuju.
*****
"Oppa...."
Panggilan itu, akhirnya ia keluar dari bibir Yuju. Tanpa terdengar canggung atau ragu. Lancar begitu saja keluar dari kerongkongan.
"Kau tidak akan mengingkari janjimu, kan?" Yuju ngos-ngosan mengatur nafas. Ia menyeringai menagih sesuatu.
Yoseob menggeleng, tentu dia tidak akan mengingkari janjinya semalam untuk menggendong Yuju sepanjang berangkat dan pulang sekolah.
Bola matanya melirik sekitar, masih ada banyak siswa yang berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Dari arah kejauhan Eunha memanggil-manggil Yuju dengan membawa beberapa tumpukan buku.
"PR matematika! Nanti aku ke rumahmu, ya? Kau ajari aku!" Gadis itu tiba-tiba sudah berdiri di tengah-tengah, menghalang Yuju dan Yoseob yang saling tatap.
"Mengganggu saja?" Ucap Yoseob kesal.
Eunha tidak peduli, ia malah sama sekali tidak menganggap keberadaan Yoseob di samping Yuju.
"Hey! Waktumu begitu banyak bersamanya, di sekolah, di rumah. Aku hanya menyewa dia untuk mengajariku"
Yuju tersenyum menatap mereka bergantian. "Nanti malam kau bisa ke rumahku, Eunha!"
Eunha mengangguk, "kalau begitu kau tunggu aku di rumahmu,ya?"
Yuju mengangguk setuju, Eunha bergegas pulang. Rumah mereka tak searah, itu sebabnya mereka tak pernah pulang bersama, karena bus yang mereka tumpangi berbeda jurusan.
Sekolah sudah nampak sepi. Yoseob kemudian berjongkok, menyambut Yuju bertengger di punggung. Dan gadis itu dengan suka cita melakukannya.
"Astaga! Kau lebih berat dibanding tadi pagi." Keluh Yoseob ketika ia mulai melangkah.
"Apapun alasannya, kau tidak boleh menurunkan aku sampai halte!"
"Iya iya aku tahu, tapi apa saja isi perutmu itu?"
"Aku menghabiskan dua porsi makan siang di kantin. Kau tau? Eunha lupa kalau dia sedang diet. Jadi aku habiskan sekalian makanannya?" Yuju menyeringai bangga.
Mulut Yoseob membunyikan decakan berkali-kali, heran dengan Yuju si pemakan segala tapi bentuk tubuhnya tetap mungil.
"Kau bisa gendut." Ucap Yoseob terkekeh. Menolehkan kepalanya menatap Yuju yang masih anteng di punggungnya.
"Kau tidak suka kalau aku jadi gendut?"
"Nanti aku tidak bisa menggendongmu, kalau berat badanmu terus memekar."
Yuju tersenyum, "kau tenang saja, tubuhku rentan dari gendut."
Kakinya terus melangkah sejauh menuju halte bus, tanpa beban sekalipun. Terlihat begitu ringan seolah tak ada gadis yang menempel dibalik punggungnya.
"Oppa...."
Yoseob bisa mendengar itu, tetapi ia hanya menyahut dengan deheman sekali.
"Kau suka apa?" Lanjut Yuju.
"Kalau kau menanyakan soal apa yang aku Sukai, rasanya tidak akan cukup dimasukkan karung." Tawa Yoseob.
"Setidaknya kau sebutkan satu yang paling paling paling kau sukai."
"Kalau aku suka dengan pulau, kau mau memberikan untukku?"
"Hey! Bukan seperti itu, setidaknya makanan atau barang."
Yoseob nampak berpikir. "Mmmm... apa saja aku suka. Apalagi dibuat dengan tangan."
"Kau suka yang rumit?"
"Seperti itulah aku. Bagiku sesuatu yang dibuat dengan proses yang lama akan menciptakan sesuatu yang berbeda. Contohnya makanan."
"Kau benar juga."
Beberapa menit kemudian mereka lengang Jarak menuju halte masih tinggal beberapa meter saja.
"Selama ini hal apa yang paling kau benci?" Tanya Yoseob beberapa detik kemudian
"Aku benci pembohong." Ceplos Yuju. Tak berpikir lama untuk menjawab pertanyaan ini.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak suka dibohongi. Jadi apapun alasanya jangan menyembunyikan rahasia apapun."
Yoseob berhenti, air mukanya amat susah untuk diterka. Tatapan matanya berubah sendu ketika Yuju bicara soal kebohongan.
"Kau masih mendengarku?" Yuju melengokkan wajahnya, memastikan pria itu mendengar apa yang ia katakan.
"Tentu saja."
"Bagaimana denganmu?"
"Apa?" Yoseob memasang wajah polos.
"Hal yang paling kau benci."
"Aku benci dengan pengingkar janji."
Yuju manggut-manggut. "Kenapa begitu?"
"Tentu saja ingkar janji sama dengan penghianatan, aku tidak suka itu."
"Sekarang kita sama-sama tahu hal yang kita benci, jadi sebisa mungkin jangan pernah membohongiku, apapun alasannya." Pinta Yuju, matanya menatap penuh harap.
"Dan aku, sebisa mungkin akan menghindari untuk tidak mengingkari janji kepadamu."
Yoseob mengangguk. Mempercayai Yuju sepenuhnya.
*****
Cukup lelah punggung Yoseob saat ini. Ia menjatuhkan Tubuh Yuju di bangku halte itu dengan perlahan.
Keduanya nampak duduk berjajar menunggu Bus Mapo berhenti di halte. Mentari mulai meninggi di atas, panas masih terasa menyengat seakan memanggang ubun-ubun. Langit biru sejauh mata memandang, juga gumpalan awan putih yang berarak mengikuti arah angin. Ada awan, akan ada hujan, Musim panas mungkin segera berakhir.
"Kau lelah?"
Yoseob mengangguk dan menyeringai. Ia memijit pundaknya yang baru terasa lelahnya saat Yuju turun.
"Salahmu sendiri, kenapa semalam kau harus membuat kesepakatan kau mau menggendongku. Sekarang kau lelah, kan?"
Yuju panjang lebar berceramah. Tetapi kedua tangannya yang mungil itu memijit bahu Yoseob yang lelah akibat menggendongnya.
"Tapi kau suka kan berada di gendonganku?" Yoseob mengerjapkan matanya, menatap Yuju dengan seringai nakal.
"Tentu saja, karena aku tidak perlu berjalan kaki." Ucap Yuju.
"Alasan lainnya pasti karena jarak kita yang tanpa sedikit cela. Kau pasti suka itu kan?"
Yuju kesal memukul sembarangan bahu Yoseob. Dipukul-pukulkannya kepalan tinjunya berkali-kali pada bahu pria yang dengan berani berbicara rusuh. "Berani sekali kau berbicara seperti itu! Pasti otakmu saat ini memikirkan yang tidak-tidak."
"Hey! Berhentilah, aku hanya bercanda!"
"Tapi candaanmu membuatku risih." Tinjunya masih menghujam. Kesal.
"Iya, iya maafkan aku! Tapi berhentilah! Nanti tulangku bisa remuk."
"Aku tidak peduli." Hardik Yuju.
"Berhentilah, idiot!" Yoseob berhasil mencekal Tangan Yuju. Kedua kornea itupun saling tatap ketika ada keheningan di antara mereka. Tatapan mata itu seolah begitu saja menembus keseluruh serambi jiwanya. Sama sekali tak ada kedipan dalam beberapa saat. Dan hal itu membuat mereka melupakan sejenak perdebatan kecil diantara keduanya.
"Kenapa tatapan matamu itu selalu membuat aku jatuh cinta lagi?' Ucap Yoseob tiba-tiba. Apa adanya, jujur, tanpa niat menutup-nutupi. Ia memang menyukai bola mata Yuju yang selalu menatapnya seakan penuh kepolosan, sekalipun gadis itu sedang di ambang murka.
Yuju mengerjapkan mata. Berusaha melepas cekalan tangan Yoseob. "Apa yang kau katakan? Kau bilang jatuh cinta kepadaku, tetapi aku belum pernah merasa kau mengucapkan kata-kata itu."
"Benarkah?" Yoseob memasang wajah tak mengerti. "Kalau begitu, kata apa yang ingin kau dengar?"
"Apa yang ada di hatimu, tentang aku?"
Yoseob terdiam, memasang wajah bodoh dan pura-pura tak mengerti itu. Membuat Yuju kesal hanya karena alasan konyol. "Yang aku tahu, kau itu manis, tapi idiot!"
"Sudahlah! Lupakan saja! Kau memang curang." Ucapnya di puncak rasa kesal. Bukan itu yang ingin ia dengar. Sejak mereka menjalin hubungan spesial, sejak Yuju lebih dulu mengungkapkan perasaanya hingga lolos, Yuju tak pernah sekalipun Yuju mendengar bibir Yoseob mengucapkan 'aku mencintamu'.
Yuju melipat tangan angkuh, enggan menatap Yoseob di sisinya.
"Kau marah? Memang aku curang bagaimana?" Yoseob memiringkan kepala dengan tampang polosnya mencari wajahYuju.
Yuju tak menyahut, entah mengapa ia merajuk seperti bocah SD hanya karena masalah sepele.
Warna langit secara tiba-tiba berubah begitu saja, gelegar suara halilintar menggema dari atas langit menembus muka bumi. Matahari kini bersembunyi di atas awan yang mengitam.
Bus yang mereka tunggu tak kunjung datang entah apa alasannya. Yuju tak peduli, ia ingin segera pulang, Yang Yoseob membuatnya moodnya anjlok seketika.
Gadis itu berdiri, beranjak dari bangku kayu panjang di halte. Wajahnya mencondong ke atas, menyambut tetesan langit membasahi tanah dan segalanya yang ada di bumi, termasuk tubuhnya.
"Jangan hujan-hujanan!" Teriak Yoseob lantang. Tetapi Yuju tak peduli, ia tetap melangkah menembus hujan yang semakin lama semakin menggila. Ia lebih suka bersama hujan dari pada dengan Yoseob membuatnya kesal. Yuju kesal karena pria itu sama sekali tidak peka.
Yoseob mengekor di belakang Yuju. Sebenarnya ia tahu, sangat tahu apa yang ada di dalam benak Yuju.
"Kau marah?"
"Untuk alasan apa?" Ucap Yuju dengan wajah judas.
"Karena sikapku."
Yuju sama sekali tak berniat menoleh ke belakang untuk melihat Yoseob. Gadis itu terus berjalan mendahului Yoseob dengan lipatan tangan di dada.
"Hey! Jangan seperti itu!" Teriak Yoseob kesal.
"Choi Yuna... kau bisa mendengar aku?" Yoseob mencoba mengimbangi dentuman keras suara hujan yang menghujam tanah aspalan bertubi-tubi. Yoseob sedikit kecewa karena Yuju tak mengindahkan panggilan dari Yoseob.
Tangan Yoseob mencengkeram bahu mungil Yuju, membawa gadis itu untuk berbalik, dan membuat Yuju mau tau menatap seragam Yoseob yang ikut basah hanya untuk menyusul Yuju.
"Dasar cengeng!" Ucap Yoseob memandang Yuju. Ia tahu Yuju sedang menangis, sekalipun air matanya kini bercampur dengan hujan.
Tangis Yuju semakin menjadi ketika Yoseob membully nya dengan kata 'cengeng'. Bukan itu alasanya, gadis itu mungkin malu jika menangis dan merajuk hanya karena masalah yang konyol. Usianya baru 17 tahun, dan ia adalah gadis yang pada umumnya memiliki sifat kekanakan.
Tetapi Yuju membutuhkan kesungguhan, ia hanya ingin mendengar bahwa pria itu tak mempermainkan perasaanya.
Yoseob menatap mata gadis di depanya itu dengan kesungguhan. Ditangkupnya kedua telinga Yuju hingga membuat gadis itu tak mengerti. Sementara Hujan semakin menderas, tetasan airnya semakin memecah suasana di antara mereka.
Yuju tak bisa mendengar apapun, apalagi dentuman air hujan yang keras menimpa aspal membuat telinganya hanya bisa mendengar suara gemuruh.
"Aku mencintaimu, Nona Choi Yuna... " Yoseob mengucapkan itu dengan amat pelan dan berbisik. Tak berniat sedikit menambah volume suaranya untuk mengimbangi kerasnya hujan.
Anehnya Yuju amat tahu apa yang dikatakan Yoseob dari gerak bibirnya. Bahkan terlihat sangat jelas, kata-kata itu tak masuk ke dalam indera pendengaran, namun langsung begitu saja menembus pada jantungnya.
Tangan Yoseob beralih dari telinga Yuju, menutup sepenuhnya kedua kelopak mata gadis itu.
"Kau bisa mendengar apa yang kukatakan baru saja?"
Yuju berusaha berusaha menyisihkan tangan Yoseob dari matanya, namun Yoseob enggan melepaskan. Membuat gadis itu seolah bertanya-tanya dalam hatinya.
"Kau mungkin tidak bisa mendengarnya secara langsung dari telingamu, tapi kau pasti tahu apa yang aku ucapkan." Yoseob menatap Yuju yang kini matanya tertutup. "Kau harus tau bahwa apa yang aku katakan tadi tidaklah penting, tak peduli seberapa banyak aku mengucapkannya, atau bahkan sekalipun aku tak pernah mengucapkan itu, kau pasti tahu apa dan siapa yang ada di hatiku saat ini."
Yuju tak bergeming, mungkin ia sedang mencerna kata-kata Yoseob. Sementara tangan Yoseob dibiarkan bertengger menutup matanya.
"Jadi... tidak cukupkah apa yang aku lakukan selama ini, tidak bisakah kau hanya melihat ketulusanku saja? Kau harus tahu, aku mempunyai prinsip bahwa kata-kata tak akan ada tandinganya jika bukti sudah dilakukan sungguh-sungguh."
Yuju kini menyisihkan tangan Yoseob, tetap tak bergeming dan tak mau menatap Yoseob. Kepalanya menunduk menatap tanah aspal basah di bawah pijakan kakinya.
"Kau marah?" Yoseob memiringkan kepala, mengintip wajah Yuju yang menunduk. Yuju hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Kalau begitu, Ayo kita pulang. Kita jalan kaki saja sebelum hari semakin sore." Yoseob menarik tangan Yuju dan terus mengoceh. Hujan sudah mulai mereda, tersisa rintikan gerimis yang tetesannya semakin renggang.
"Apa aku terlalu kekanakan?" Ucap Yuju, membuat Yoseob berhenti lalu menoleh pada Yuju. "Maaf, apa aku terlihat begitu konyol?" Lanjut Yuju dengan wajah merah karena malu.
"Itu wajar, setiap gadis itu berbeda-beda dalam menyikapi sebuah hubungan. Tapi kau percaya denganku? Dengan apa yang aku katakan?"
"E em , tentu saja." Yuju mengangguk dan tersenyum.
Keduanya berjalan saling menggenggam dengan tawanya yang riang. Amat jelas kedua wajah kasmaran itu. Sepanjang berjalan Yoseob berkali-kali mengayun-ayunkan genggamannya pada Yuju.
"Mau aku gendong lagi?" Tawarnya.
Yuju menjawab dengan gelengan. "Aku tahu kau sangat lelah."
"Tidak apa-apa."
"Aku lebih suka seperti ini." Yuju mengangkat tangannya yang sedang digenggam Yoseob.
"Baiklah jika itu maumu." Pria itu menyeringai, kemudian melanjutkan perjalanan.
To Be Continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top