Bab 4
Selamat membaca! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤
••••
Natalia menyerah pada keadaan. Memaksa Dante untuk pergi dari ruangannya pun percuma. Pria itu adalah tipe orang yang sangat keras kepala. Ia pernah dekat dengan Dante dalam waktu yang lama. Hal-hal kecil seperti itu jelas masih diingatnya walaupun otaknya sangat ingin menyingkirkan apa pun tentang Dante.
Setelah tangisnya mereda, Natalia bergerak mengurai pelukannya dengan Dante. Niatnya untuk mengusir pria itu sudah ia urungkan. Dengan kedua tangan yang menempel pada dada bidang Dante, ia menatap ke dalam iris biru milik pria itu yang menyorotnya penuh kelembutan. Ada pula kerinduan yang juga terpancar jelas di sana.
Padahal, selama enam tahun ini, Natalia sudah mencoba membangun benteng pertahanannya sendiri. Semata-mata untuk melindunginya ketika suatu hari nanti mereka dipertemukan kembali. Dan saat hal itu terjadi, entah kenapa tembok itu seolah tak lagi menjadi tameng dalam dirinya.
Perasaannya berantakan. Natalia tidak dapat mengendalikan pikiran serta hatinya. Bahkan, isi kepalanya juga tidak sinkron dengan apa yang ia inginkan. Semua menjadi berkebalikan dengan niat yang ia gembar-gemborkan selama ini.
"Apa yang membuatmu pergi dariku?"
Setelah waktu yang cukup lama hanya mereka habiskan dengan saling tatap, Dante akhirnya buka suara. Mengutarakan sebuah pertanyaan sambil merapikan rambut Natalia yang tampak menutupi keningnya.
Pertemuannya dengan Dante sudah sering ia prediksi akan terjadi. Dan bila hal itu menjadi nyata, Natalia rasanya tidak ingin mereka membicarakan tentang masa lalu. Seperti saat ini. Natalia tak tahu harus menjawab apa. Ia sudah membuang masa lalunya, melempar ke dalam jurang yang tak berdasar.
"Kalau kau tidak ingin aku mengusirmu lagi, tolong jangan bicarakan tentang masa lalu kita," jawab Natalia pada akhirnya.
Natalia benar-benar tidak ingin membawa kisah apa pun dari masa lalunya, termasuk rasa cintanya pada Dante. Ia sudah menguburnya dalam-dalam.
"Duduklah," ucap Natalia setelahnya dengan dagu yang mengarah pada sofa di ruangannya. Ia lantas menarik dirinya dari Dante, berjalan menuju kulkas untuk mengambil minuman yang nantinya akan ia berikan pada pria itu.
Dante tak langsung menuruti perkataan Natalia. Dalam beberapa detik ia masih diam, mencerna dengan cermat ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut wanita itu. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah memahat senyum untuk menjadi pembatas agar kepedihan yang timbul dalam hatinya tak berlarut-larut.
Sambil melangkah menuju sofa, Dante mulai berpikir jika Natalia-nya telah berubah. Enam tahun bukan waktu yang singkat bagi wanita itu untuk menghapus segala perasaan yang ditujukan padanya. Dan ia seperti kehilangan Natalia-nya yang dulu.
Tak berselang lama, Natalia duduk menyusul Dante. Ia menyerahkan sekaleng minuman soda pada pria itu sebelum mengambil duduk di hadapannya, menyilangkan satu kakinya di atas kakinya yang lain. Kedua tangannya juga ia letakkan di atas lututnya, benar-benar tampak begitu anggun dan elegan.
Melihat gerak-gerik Natalia, Dante tersenyum kecil. Teringat jika dulu Natalia tidak seperti ini. Wanita itu sangat barbar, tidak bisa diam, dan tentu saja cerewet. Tetapi sekarang yang tampak di matanya adalah sosok wanita dewasa yang berusaha menjaga image-nya. Sangat berkebalikan dengan Natalia enam tahun yang lalu.
"Sudah enam tahun berlalu. Apa itu sudah cukup bagimu untuk menghindariku?" Dante membuka penutup kaleng minumannya saat bertanya. Lantas meneguknya perlahan.
Natalia menelan ludahnya gugup. Jemarinya terkatup di atas lututnya. Pertanyaan Dante terdengar biasa saja, tetapi terdapat sindiran di dalamnya, yang bisa terbaca dengan jelas oleh Natalia.
"Sudah kubilang jangan membahas hal itu lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal saat ini." Adalah jawaban terbaik yang bisa Natalia suarakan meski jalan pikirannya terasa buntu sejak kemunculan Dante yang tiba-tiba.
Dante memainkan jemarinya pada kaleng minumannya. Senyum tipis masih terpahat di bibirnya. Namun, pandangannya ke Natalia begitu tajam dan mengintimidasi.
"Kau pergi dengan sangat tiba-tiba, tanpa penjelasan sama sekali. Menghilang tanpa jejak yang bisa kulacak. Lalu, apa aku tidak boleh menanyakan sebabnya padamu?" Pertanyaan Dante kali ini terdengar sungguh-sungguh, begitu menuntut. Seakan-akan Natalia harus memberi jawaban yang dapat memuaskannya.
Natalia mengulum bibirnya dengan jemari yang mengetuk-ngetuk lututnya dengan gelisah. Pertanyaan Dante menohok keras dirinya. Ia bahkan bisa merasakan seberapa tersiksanya pria itu karena kepergiannya.
Natalia tidak pernah menyangka jika Dante akan secara terang-terangan menunjukkan apa yang pria itu rasakan karenanya. Yang ia tahu, Dante tidak akan sepeduli itu padanya. Bukan sikap Dante yang seperti ini yang ia bayangkan jika mereka kembali bertemu. Dan Natalia sangat kebingungan.
"Natalia ... please." Suara Dante melemah. Ia menggeser posisinya, duduk di sisi Natalia dengan tangannya yang membawa kedua tangan wanita itu ke dalam genggamannya. "Katakan apa salahku," mohonnya dengan pandangan yang tak lepas dari Natalia.
Pada akhirnya, benteng yang sedang Natalia coba jadikan tameng, lagi-lagi hancur. Sikap Dante yang seperti ini membuatnya serba salah. Di satu sisi, ia sangat ingin menerima kembali pria itu di dalam hidupnya. Namun, di sisi yang lain, Natalia diingatkan untuk tetap menjaga hatinya dari Dante.
Kalau saja Dante masih tidak mencintainya seperti dulu, Natalia pasti tak akan sebingung ini kala berhadapan dengannya.
"Aku tahu kau sudah siap untuk bertemu denganku saat ini. Jadi, tolong jangan menghindariku lagi. Biarkan aku kembali menjadi bagian dari hidupmu." Dante berucap dengan tulus. Genggamannya pada tangan Natalia kian erat.
Natalia yang sejak tadi menunduk, mencoba untuk menatap Dante, memberanikan diri walau setelah ini ia yakin hatinya tidak akan baik-baik saja. Apalagi jika mulutnya sudah bersiap untuk mengucap penolakan.
"Aku tidak bisa, Dante. Sejak awal, kita memang tidak bisa berjalan bersama-sama." Natalia menggelengkan kepalanya dengan frustrasi seraya menahan agar air matanya tak kembali menyeruak keluar.
"Kenapa, Nat? Katakan padaku apa alasannya." Dante benar-benar tidak puas sebelum mendapat jawaban yang tepat.
Natalia menghela napas panjang, masuk ke dalam bola mata Dante yang dipayungi awan mendung. "Kau tahu sendiri, Dante. Sejak awal, hubungan kita hanya sebatas seorang pelacur dan pelanggannya. Kalau kau lupa, aku tidur denganmu karena kau membayarku."
Tak ada yang bisa Natalia lakukan selain mengingatkan Dante bahwa hubungan mereka sejak awal memang sudah salah. Jadi, tidak ada lagi yang perlu diteruskan.
Ekspresi Dante berubah datar, tampak tak senang dengan sebutan Natalia terhadap hubungan mereka.
"Kau tidak serendah itu, Nat. Kau hanya tidur denganku selama beberapa tahun. Kau hanya setia padaku. Jadi, jangan sebut dirimu seperti itu lagi."
Natalia menundukkan kembali kepalanya, bersiap melancarkan penolakan selanjutnya, yang ia yakini akan membungkam Dante sepenuhnya.
"Apa pun itu, aku tidak bisa kembali padamu," ucap Natalia dengan susah payah. Dengan tangan yang gemetar, ia menunjukkan pada Dante bahwa ada cincin yang tersemat di jari manisnya. "Aku sudah bertunangan dengan pria lain."
Dan benar, ucapan Natalia yang satu itu berhasil membuat Dante mendadak membisu. Pria itu hanya menatap cincin di jemari Natalia dengan pandangan kosong, seakan-akan mencabut seluruh harapannya tanpa tersisa sedikit pun.
••••
Mau double update nggak, nih? Tapi ramein dulu dong kolom komentarnya😝😝
19 Juni, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top