Bab 28
“Kalau begitu, aku akan menganggap jika Emily sudah mati. Dan aku hanya mengenal Natalia.”
Setelah mengucapkan kalimat bernadakan ketegasan tersebut, Dante langsung bergegas meninggalkan Natalia. Tanpa basa-basi. Tanpa pula mendengarkan penjelasan lain dari wanita itu. Hanya meninggalkan Natalia yang sudah menangis sekencang mungkin sambil terduduk di atas lantai kamar.
Dante hanya tak ingin amarah membuatnya buta. Walau kecewa dan masih sedikit tidak percaya dengan pengakuan Natalia, Dante takut akan menyakiti wanita itu jika berada di dekatnya lebih lama lagi. Sangat sulit baginya untuk mengontrol emosinya sendiri. Terkadang ia masih suka kelepasan. Dan Dante jelas tak ingin hal itu terjadi pada Natalia.
Masih dengan penampilannya yang kelihatan acak-acakan, Dante kini duduk di tepi kolam renang. Ia masih membiarkan kemejanya yang beberapa kancing di bawahnya belum terlepas tetap melekat di tubuhnya. Kedua kakinya pun masuk ke dalam air. Sedangkan pandangannya mengarah pada langit malam yang hanya menampilkan beberapa bintang saja.
Dante masih kalut. Masih terkejut dengan hal yang tak pernah diduganya. Ia masih ingat betul bagaimana Emily dan Ellen membuatnya menderita selama beberapa tahun. Kebencian dalam dirinya mungkin sudah tak lagi sebanyak dulu. Apalagi setelah ia memutuskan untuk memaafkan Jacob dan berdamai dengan masa lalunya. Tetapi tetap saja Dante masih belum bisa melupakan kejadian itu.
Jika memang Natalia adalah Emily saat dewasa, maka Dante benar-benar merasa tertipu. Ia sungguh tak bisa melihat Emily dalam wajah Natalia. Keduanya seperti dua orang yang berbeda. Dan sampai detik ini ia masih berharap jika Natalia berbohong.
Namun, benaknya langsung menolak, memaksa dirinya untuk percaya bahwa Natalia adalah Emily setelah ia menghubungi Jacob beberapa saat yang lalu. Pengakuan Jacob pun serupa dengan milik Natalia. Dante semakin merasa bahwa dirinya selama ini telah tertipu.
Kemarahan Dante pun sampai pada Jacob. Ia bahkan memaki-maki ayahnya sendiri dari seberang telepon. Lalu, saat dirinya tak lagi bisa mengontrol emosinya, ia melempar begitu saja ponselnya ke dinding, membiarkan benda itu hancur berkeping-keping tanpa berniat untuk memungutnya sama sekali.
Andai saja bisa, Dante ingin memutar waktu dan tak akan pernah membiarkan Natalia mengaku siapa dirinya di masa lalu. Ia sudah bahagia saat ini, tetapi semuanya rusak tak bersisa. Di satu sisi Dante sangat mencintai Natalia. Sementara di sisi lainnya Dante juga masih membenci Emily.
Lalu, ia harus berbuat apa? Dante bahkan bingung keputusan seperti apa yang harus diambilnya setelah ini.
Mengembuskan napas panjang, Dante memalingkan wajahnya dari langit malam. Ia menjulurkan tangannya ke samping untuk mengambil sebotol alkohol yang sengaja ia bawa ke sini. Lantas, menenggaknya langsung dari botolnya.
Suasana yang begitu senyap membuat telinga Dante bisa mendengar suara sekecil apa pun, termasuk langkah kaki yang terdengar dari arah belakang.
Meletakkan kembali botolnya, Dante memutar pandangannya ke sumber suara. Ditemukannya Natalia yang mengambil posisi berdiri tak jauh darinya. Wajahnya pun sama berantakannya dengan miliknya. Dan Natalia tampak canggung dan menatapnya takut-takut.
Tanpa sadar, hati Dante membuat reaksi aneh atas apa yang dilihatnya. Hatinya mencelos melihat Natalia begitu takut padanya. Hatinya merasa nyeri mendapati Natalia yang tampak serapuh itu hanya karena perbuatannya.
“Ada apa?”
Tetapi sayangnya Dante masih belum bisa mengendalikan emosinya. Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya terkesan dingin. Pun dengan air mukanya yang masih menunjukkan wajah datar. Sorotnya juga begitu tajam dan mengintimidasi, membuat Natalia bertambah gelisah.
“Aku ... aku dan Cali akan pergi.” Suara Natalia bergetar. Tampak jelas jika dirinya sedang menahan rasa takut dan sedih dalam waktu yang bersamaan.
“Aku tidak memintamu untuk pergi.”
Natalia menelan ludahnya kelu. Memilin ujung bajunya dengan gugup. Tenggorakannya seperti tersumbat oleh sesuatu, membuat suaranya sangat sulit untuk dikeluarkan.
“Aku akan tetap pergi.”
“Dan meninggalkanku begitu saja? Apa kau tidak ingin bertanggung jawab sama sekali atas pengakuanmu yang membuatku sangat kecewa?” tanya Dante dengan penekanan sembari mengeluarkan kakinya dari kolam dan berjalan menghampiri Natalia.
“Bukan begitu,” elak Natalia dengan cepat. Ia sempat menahan napasnya selama beberapa detik ketika Dante sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Lalu apa? Coba jelaskan.” Dante melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Irisnya masih menyorot Natalia tanpa pernah lepas dari wajahnya sedetik pun.
“Aku tahu kau sangat membenciku.”
“Aku membenci Emily, bukan Natalia.”
“Aku dan Emily adalah orang yang sama, Dante.” Natalia sedikit mengencangkan suaranya, merasa frustrasi dengan Dante yang masih saja menyangkal fakta yang ada. “Aku tidak ingin ada bagian dari dirimu yang masih membenciku. Kalau kau mencintaiku, maka kau juga harus mencintai Emily. Begitu pula kalau kau membenciku.”
Dante masih belum bersuara. Wajahnya pun tidak beriak, begitu datar sampai-sampai Natalia tak bisa menebak apa isi kepalanya.
“Seharusnya aku tidak pernah membiarkan diriku tetap bersamamu enam tahun yang lalu.” Natalia kembali berucap setelah merasa bahwa Dante masih akan tetap bungkam. Suaranya kali ini pun terdengar begitu letih. “Seharusnya aku juga tidak pernah kembali lagi saat ini. Maaf karena aku telah merusak hidupmu.”
Ada begitu banyak pikiran yang mampir dalam benaknya, tetapi tak satu pun yang dapat Dante suarakan. Ia seperti terjebak tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Kekecewaan masih menumpuk dalam dirinya, tetapi Dante juga tak rela bila Natalia pergi. Tidak sama sekali.
"Kalau begitu jangan pernah pergi lagi dari hidupku. Obati luka yang telah kau torehkan padaku di masa lalu dengan tetap berada di sisiku."
Selesai. Itu adalah kalimat terakhir yang Dante ucapkan sebelum kembali meninggalkan Natalia seorang diri.
Sementara tangis Natalia kembali meledak, entah karena hal apa. Tetapi satu yang ia sadari, bahwa Dante benar-benar akan mempertahankannya. Tak peduli dengan masa lalunya yang membuat Dante menderita.
Padahal, pikiran terburuk Natalia adalah Dante akan mengusirnya setelah ini. Ia juga sempat berpikir jika Dante tak akan lagi menganggap Cali sebagai anaknya. Nyatanya pria itu berusaha untuk mempertahankan hubungan mereka meski kekecewaan tergambar jelas dalam wajahnya.
••••
“Kau tidak akan pergi kan, Cal?” Satu pertanyaan itu Dante utarakan pada Cali yang saat ini tengah berbaring di sisinya.
Dante sudah jauh lebih segar setelah mandi. Walau tetap tak menghilangkan gurat-gurat kekacauan dalam wajah tampannya. Dante pun tak kembali ke kamarnya. Ia masih mencoba untuk menenangkan pikirannya. Dan Cali adalah satu-satunya orang yang berhasil membuat dirinya tenang dalam sekejap.
Sepertinya malam ini Dante juga akan tidur bersama Cali. Gadis itu pun tak keberatan meski mulutnya terus-teruskan mengeluarkan pertanyaan kenapa mommy-nya tidak bergabung bersama mereka.
“Pergi ke mana, Dad?” Cali balik bertanya.
Dante tersenyum, menyadari bahwa anak sekecil Cali masih belum bisa memahami arti dari pertanyaannya. Ia lalu kembali membawa Cali ke dalam pelukannya, mengusap rambutnya sampai gadis kecil itu tertidur.
“Jangan pernah meninggalkan Daddy sendirian, Sayang,” lirih Dante sambil mengecup puncak kepala Cali.
Lama-kelamaan, Dante pun mulai memejamkan kedua matanya. Merasa begitu nyaman tanpa beban yang sebelumnya terasa begitu berat.
Dante sudah hampir sampai ke alam bawah sadarnya, tetapi masih beberapa persen saja karena telinganya kini masih bisa mendengar suara pintu yang dibuka. Lalu, derap langkah yang perlahan mendekat sebelum ia merasakan sisi kosong di sebelahnya melesak karena seseorang baru saja naik ke atas ranjang.
Kemudian Dante merasakan sebuah pelukan di tubuhnya, tetapi ia tetap tak membuka matanya karena sudah terlalu mengantuk.
“Aku mencintaimu.”
Dan itu adalah suara terakhir yang Dante tangkap sebelum ia benar-benar masuk ke dalam mimpinya.
••••
Udah kecium belom guys bau-bau mau endingnya?😝😝
19 Juli, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top