Bab 27
Hayoooo pada kangen gak?
Maaf banget ya baru bisa update sekarang. Tiba-tiba aku ngerasa jenuh dan gak semangat buat lanjut cerita ini, tapi untungnya sekarang mood-nya udah balik hehehe
Selamat membaca❤
••••
Natalia dan Cali sudah resmi tinggal di penthouse Dante mulai detik ini. Bukan pertama kalinya bagi Natalia berada di hunian mewah milik pria itu. Jadi, ia akan dengan mudah beradaptasi di sini. Berbeda dengan Cali yang masih sedikit kikuk walau gadis kecil itu tetap tak kehilangan antusiasmenya.
“Kau bilang kau ingin punya kamar sendiri, kan?” Dante bertanya pada Cali yang berjalan di sisinya sambil bergandengan tangan. Sedang Natalia masih memerintah pelayan di rumah Dante untuk membawa barang-barangnya ke kamar utama.
Cali mendongak untuk menatap sang ayah. “Apa aku akan punya kamar sendiri, Dad?” tanyanya dengan kedua mata yang berbinar penuh harap.
“Tentu saja.”
Jawaban Dante tak pelak membuat Cali kegirangan. Gadis kecil itu pun tanpa sadar melompat-lompat kecil dengan pekikan heboh sebagai bentuk kegembiraannya.
Natalia yang berjalan agak jauh dari Dante dan Cali masih bisa mendengar percakapan keduanya. Hal itu juga menghadirkan senyum di kedua belah bibirnya.
Belakangan ini Cali memang sangat ingin memiliki kamarnya sendiri, tetapi Natalia masih belum bisa mengabulkannya karena ia tidak enak hati bila memintanya pada Jacob. Dan entah bagaimana bisa Dante mengetahui hal itu. Pria itu jelas akan langsung memenuhi permintaan Cali tanpa berpikir dua kali.
Tanpa sepengetahuannya, ternyata Dante sudah menyiapkan kamar khusus untuk Cali di penthouse-nya. Entah kapan pula Dante sedikit merenovasi penthouse-nya agar kamar mereka dan Cali memiliki pintu penghubung. Semata-mata agar Cali tidak kerepotan jika merasa takut dan ingin bergabung bersama ayah dan ibunya.
“Kau suka, Sayang?” tanya Dante setelah ketiganya sama-sama berada di kamar Cali.
Selain takjub dengan kesigapan Dante terhadap kepindahan mereka, Natalia juga tidak bisa menahan kekagumannya karena Dante benar-benar menuruti kemauan Cali sampai sebegitu detailnya.
Cali bahkan sudah tidak mendengarkan pertanyaan Dante karena terlalu bahagia melihat kamar yang dipenuhi nuansa pink—warna kesukaan Cali. Ditambah pula dengan beberapa lemari boneka dan poster-poster princess kesukaan Cali di televisi. Kamar ini sudah seperti surga bagi gadis kecil itu.
“Kau benar-benar luar biasa,” gumam Natalia yang masih terpukau dengan apa yang ia lihat.
Meski hanya berbentuk gumaman, Dante yang berdiri tepat di samping Natalia masih dapat mendengarnya. Ia lalu terkekeh.
“Bagaimana? Apa aku sudah bisa menjadi seorang Ayah yang baik untuk Cali?”
Natalia menoleh pada Dante yang ternyata sedang memerhatikannya. Senyum kembali mucul di bibirnya. “Kau Ayah yang sangat hebat.”
Dante berdeham dengan senyum yang dikulum. Natalia jarang memujinya, tetapi begitu pujian keluar dari mulutnya, telinga Dante langsung memerah dan dirinya seakan-akan melambung jauh ke angkasa. Pujian Natalia seperti memiliki kekuatan magis yang membuat hati Dante bergetar tiap kali mendengarnya.
“Wajahmu memerah,” kekeh Natalia seraya mengulurkan tangannya pada wajah Dante.
Dante mengusap belakang telinganya sambil nyengir. Sangat jarang sekali menunjukkan ekspresi malu-malu seperti itu karena sifat gengsinya yang begitu tinggi, tetapi di depan Natalia Dante bisa menjadi dirinya sendiri.
“Daddy! Terima kasih banyak!”
Lengkingan Cali menjadi pemutus interaksi singkat antara Natalia dan Dante. Gadis itu tahu-tahu sudah menerjang Dante untuk dipeluknya dengan erat.
“Sama-sama, Sayang,” jawab Dante yang dengan sigap membalas dekapan Cali seraya memberi beberapa kecupan di puncak kepala anaknya.
Lantas, Natalia dan Dante bergegas pergi ke kamar utama—kamar yang selama ini dipakai oleh Dante, yang tentu saja juga akan menjadi kamar Natalia setelah ini. Tampak beberapa barang-barang milik Natalia dan Cali di sana, masih diletakkan begitu saja.
Natalia rupanya sengaja membiarkan barang-barangnya di dalam kamar tanpa menyusunnya langsung. Saat ini adalah waktu yang tepat baginya untuk mengungkapkan kepada Dante tentang masa lalunya. Natalia hanya berjaga-jaga jika Dante tidak bisa menerimanya dan berakhir dengan pengusiran, maka Natalia tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk kembali membereskan barang-barangnya.
Natalia tanpa sadar menggelengkan kepalanya saat pemikiran Dante yang akan mengusirnya terlintas dalam benaknya. Ada respons takut yang tubuhnya berikan. Dan nyatanya Natalia memang begitu cemas saat ini.
Namun, Natalia tak lagi bisa menyembunyikan kisah di masa lalunya dari Dante. Ia tak ingin hari-harinya dipenuhi oleh perasaan bersalah dan gelisah yang tak kunjung menemui titik akhir. Natalia hanya ingin menjalin hubungan yang sehat bersama Dante dan Cali.
“Kenapa koper-koper ini masih di sini?” tanya Dante dengan kening yang berkerut.
Natalia memilih untuk menutup pintu penghubung antara kamar utama dengan kamar Cali terlebih dahulu. Gadis kecil itu tampak sibuk dengan mainannya. Ia tak ingin Cali nantinya mendengar jika saja terjadi keributan antara mereka—walaupun Natalia sangat mengharapkan agar hal itu tak sampai terjadi.
“Nanti aku yang akan membereskannya,” jawab Natalia, menyusul Dante yang tengah melepas ikatan dasinya dan bersiap untuk membuka kemejanya.
“Tidak, Nat. Aku memiliki beberapa pelayan di sini. Mereka dibayar untuk melakukan hal-hal seperti ini.”
Natalia mengembangkan senyumnya meski tetap tak menghilangkan jejak kekhawatiran dalam mimik wajahnya. Ia lalu memosisikan dirinya tepat di hadapan Dante, menggantikan pria itu untuk melepas satu per satu kancing kemejanya.
“Kau ingin langsung mandi?” Natalia bertanya tanpa mengindahkan protes Dante sebelumnya.
Kedua tangan Dante dengan lembut menarik Natalia hingga tubuh mereka menempel dan membuat Natalia kesulitan untuk melepas kancing kemeja Dante di bagian bawah. Mau tak mau Natalia mendongak dan menemukan Dante yang tengah menunjukkan senyum menggoda padanya.
“Ingin mandi bersamaku, Sayang?” Dante menaikturunkan alisnya di akhir kalimat.
Natalia berdecak sembari menggeleng- gelengkan kepalanya. Bukan waktu yang tepat untuk melakukan hal itu walau Natalia sangat ingin membatalkan niatnya untuk mengutarakan rahasianya pada Dante. Ia masih ketakutan dengan beberapa konsekuensi yang mungkin akan didapatkannya setelah ini.
Natalia pun sebisa mungkin menahan agar iblis dalam dirinya tak membuat otaknya tercemar hingga niatnya untuk membatalkan semuanya menjadi kenyataan.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Natalia pada akhirnya. Baru satu kalimat, tetapi jantungnya sudah menggila di dalam sana.
“Apa itu?”
Natalia mengembuskan napas panjang dan mencoba untuk menarik dirinya dari dekapan Dante. Ia kemudian mengajak pria itu untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan.
“Kenapa kelihatannya begitu serius?” Dante baru menyadari adanya perubahan ekspresi dalam wajah Natalia. Wanita itu tampak begitu tegang.
“Ini memang akan menjadi pembicaraan yang serius,” balas Natalia yang semakin membuat Dante penasaran. “Tunggu sebentar.”
Sejenak Natalia meninggalkan Dante yang masih diam menunggu di atas ranjang. Sedang ia sendiri tengah berjalan untuk mengambil dompetnya.
Setiap langkah yang diambilnya seperti akan membawanya ke dalam neraka. Natalia bisa merasakan betapa ngerinya pikiran-pikiran negatif yang muncul dalam kepalanya. Karena ia tahu pengakuannya nanti tak akan berakhir dengan baik. Natalia bisa merasakannya.
Natalia tak kembali dengan tangan kosong. Dompet miliknya kini sudah berada di dalam genggaman, begitu erat sampai menampakkan urat-urat di punggung tangannya. Dan dengan perasaan yang kacau Natalia kembali duduk di hadapan Dante.
“Ada apa, Nat?” Pertanyaan Dante kali ini terdengar agak tidak sabar. Melihat Natalia yang seperti itu tentu saja menimbulkan keresahan dalam dirinya.
Tak ada jawaban dari Natalia. Wanita itu hanya bergerak membuka dompetnya, mengambil sesuatu di dalamnya untuk kemudian diberikan kepada Dante.
Itu adalah selembar foto di masa lalu Natalia, foto yang menampilkan sosok sang ibu dan Natalia di masa kecil. Foto yang mengubah air muka Dante dalam sekejap.
“Apa maksudnya ini?” Dante melirik Natalia dengan tajam, meminta penjelasan. Rautnya sudah menunjukkan ketidaksukaan pada apa yang dilihatnya.
“Kau masih ingat dengan mereka?”
“Katakan saja intinya, Nat.” Dante sepertinya sudah tidak tahan. Beberapa terkaan mulai muncul dalam kepalanya. Dan ia sangat ingin memastikan bahwa dugaan tergilanya tidak akan keluar dari mulut Natalia.
Natalia tampak menelan ludahnya susah payah. Ia bahkan hampir tak berani menatap Dante yang sudah menghunusnya dengan sorotnya yang begitu mengintimidasi.
“Itu ... itu adalah aku dan Ibuku.”
Dante mendengkus sinis. “Jangan bercanda, Nat. Aku tahu namanya bukan Natalia.”
“Emily. Itu namanya, bukan?”
Dante tampak memejamkan matanya sejenak. Mencoba untuk menenangkan dirinya agar tak mudah terpancing emosi. Kendati dirinya selalu merasa begitu murka tiap kali melihat dua orang yang pernah membuat hidupnya hancur meski hanya dalam bentuk foto.
“Dante.” Dengan hati-hati Natalia menyentuh punggung tangan Dante. “Maaf karena aku baru memberitahumu sekarang.”
“Tidak. Aku tahu kau pasti bercanda.” Dante menggeleng beberapa kali, menolak untuk percaya pada Natalia. “Pembicaraan ini selesai. Aku ingin mandi.”
Natalia dengan sigap memegang lengan Dante, menahan agar pria itu tak pergi dan membuat keduanya sudah sama-sama berada dalam posisi berdiri, dengan Dante yang membelakangai Natalia walau pria itu tetap berpijak pada tempatnya.
“Dante, please.” Kalimat Natalia tertahan di tenggorokan. Bibirnya gemetar dan berusaha keras menahan air mata agar tidak tumpah. “Aku adalah Emily. Dan Ibuku adalah Ellen. Aku mempunyai bukti jika aku dan Ibuku sudah mengganti nama kami setelah Jacob pergi.”
“Aku hanya ingin kau berkata bahwa semua ini bohong, Nat. Dan jangan menjelaskan apa pun lagi,” tegas Dante seraya membalik tubuhnya agar berhadapan dengan Natalia.
Natalia menggeleng. Air matanya sudah tak lagi bisa dibendung. “Itu juga yang menjadi alasanku meninggalkanmu, Dante.”
Dante tetap kukuh pada pendiriannya. Ia masih menolak tentang fakta yang dibeberkan oleh Natalia.
Maju dengan sigap, kini Dante sudah merangkum wajah Natalia, tidak lagi selembut biasanya karena amarah masih membara dalam dirinya.
“Kalau begitu, aku akan menganggap jika Emily sudah mati. Dan aku hanya mengenal Natalia,” ucap Dante dengan geraman dan nada suara yang menunjukkan jika kalimatnya sudah mutlak, tak lagi bisa dibantah.
••••
Udah, nih. Udah diungkapin semuanya sama Natalia. Ayo tulis tanggapan kalian di kolom komentar👇
18 Juli, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top