Bagian 1. First Sight 'kah?
First sight itu selalu menyenangkan, seolah semesta merancang kisah kita untuk nantinya, tapi apakah hubungan setelahnya akan bisa berjalan lancar? Siapa tahu.
***
Di hari Rabu sore, Irene menemani Salsa yang akan mengambil pH meter di Laboratorium Biologi umum untuk mengecek kadar dari suatu keasaman suatu larutan hasil dari praktikum yang dia lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan. Selagi menunggu Asisten dosen yang sibuk dengan mahasiswa lainnya, Irena dan Salsa memilih untuk duduk di bangku yang ada di depan Laboratorium Biologi. Di hadapan mereka ada lapangan yang cukup luas dan di sana terlihat beberapa anak cowok yang sedang bermain voli.
Irene tak terlalu fokus pada beberapa anak cowok yang sedang bermain voli. Pandangannya malah jatuh ke sosok cowok yang sedang asik memetik gitar sambil sesekali melihat temannya bermain voli. Mata Irene tak lepas dari cowok itu, dari jauh sih kelihatan ganteng banget, gak tau lagi kalau cowok itu tiba-tiba berdiri di hadapannya langsung, bisa pingsan kali ya dia kayak Mali ketemu Mark Lee sehabis konser The Link.
Sumpah cara dia bermain gitar benar-benar menarik perhatian Irene, vibes cowok itu udah kayak penyanyi yang suka ngisi di kafe. Salah gak sih ngelihatin orang diam-diam kayak gini terus mengagumi dalam hati? Takutnya nanti ternya dia udah yang punya. Irene bodo amat yang ia lakukan masih mengamati cowok itu, sedangkan Salsa di sampingnya sedang sibuk berbalas pesan entah dengan siapa, mungkin saja dengan pacarnya.
Terkadang Irene suka iri sama teman-temannya yang punya sandaran hidup, maksudnya di sini tuh pacar. Irene jomblo tapi tetep bahagia kok. Kata orang-orang, harus tetap happy kiyowo meskipun hidup 4L alias lemah, letih, lesu, loyo.
Gak tau dapat hidayah dari mana, si cowok yang lagi main gitar itu noleh. Bola matanya sempat bertemu dengan bola mata Irene, cuma sebentar doang, soalnya dia lihat gitarnya lagi. Tapi, cowok itu lihat lagi ke arah Irene.
Gue boleh geer gak sih? tanya Irene dalam hati. Masa bodoh wajahnya dikenal, Irene menikmati saja sorot itu meski dari jauh.
"Rin, ayo." Salsa sudah berdiri. "Ye, nih anak malah ngelamun." Sedikit geram soalnya melihat sahabatnya itu tidak merespon dirinya akhirnya Salsa memukul bahu Irene.
"Anjir, sakit woi!" pekik Irene sambil memegang bahunya.
"Lagian lo sendiri ngelamun, gue ngomong gak lo respon. Lo lihatin apa sih?" Salsa merasa kepo dan melihat arah pandang Irene yang sempat kosong ke lapangan.
"Lo suka sama cowok yang lagi main voli itu?" tebak Salsa dan pandangan Irene mengarah ke lapangan. Lah? Cowok yang tadi di situ main gitar udah hilang. Aneh banget, masa hilang secepat itu? Masa Irene berhalusinasi?
"Bukan mereka."
"Terus? Lo tadi ngelihat ke arah sana, gue kira lo suka sama salah satu di antara mereka."
Iya, suka, tapi bukan yang main voli tadi ada yang main gitar, Irene Cuma berseru dalam hati. "Gue gak suka salah satu di antara mereka. Tadi gue Cuma lihat cara mereka main kok kayak keren banget," bohong Irene padahal ia sama sekali tidak tertarik dengan cowok yang main voli di sana.
"Ya udah, yuk ikut gue ke laboratorium atas."
"Kayaknya gue ke sekre PMI aja deh ke temen gue, Sena, sambil nungguin lo selesai praktikum. Ya, kali gue ikutan ke sana padahal gue dari fakultas sebelah."
Irene dan Salsa sahabatan sejak mereka SD, waktu SMP mereka pisah, tapi saat SMA mereka sekelas, dan sekarang mereka kuliah berada di kampus yang sama tapi beda jurusan. Irene mengambil jurusan Manajemen yang artinya ia berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis sementara Salsa mengambil jurusan Biologi yang artinya berada di Fakultas Sains dan Teknologi. Meskipun begitu, kedekatan mereka tidak perlu diragukan lagi. Waktu kelas kosong mereka berdua suka menghabiskan waktu bersama, atau pun waktu jam istirahat mereka biasa makan di kantin bersama.
Salsa mencoba memahami maksud Irene, benar juga kata temannya itu. Dari pada dia menunggunya selesai praktikum di fakultasnya lebih baik dia menunggu bersama temannya, Sena.
"Oke, deh, nanti gue nyusul, ya."
Irene mengacungkan jempol sebagai balasan. Irene dan Salsa berpisah sekarang, karena Salsa naik ke lantai dua karena Laboratorium Kultur Jaringan ada di atas. Irene langsung menuju sekret PMI untuk bertemu Sena.
Sekret PMI itu letaknya lumayan di ujung nomor dua dari belakang, sehingga kalau Irene hendak ke sana ia harus melewati sekret UKM yang lain. Sengaja, ia memperlambat jalannya demi melihat isi ruangan sekret musik. Pikirannya masih berada di cowok yang bermain gitar tadi di lapangan yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Mungkin, kan? Kalau cowok itu ikut UKM musik?
Sejauh Irene mengamati ia tak menemukan sosok cowok tadi. Pasrah saja, mungkin belum waktunya. Tapi, Irene tuh tipe orang yang percaya takdir, setiap dua orang yang bertemu itu pasti ada tujuan sendiri dari semesta dan tentu saja dengan campur tangan Tuhan.
Waktu sampai di depan sekret PMI, Irene lumayan kaget soalnya banyak orang di sana, seperti sedang rapat karena dilihatnya mereka duduk melingkat dan saling berargumen satu sama lain. Padahal niat nongkrongnya di situ sambil nungguin Salsa, kok malah penuh orang? Salahnya dia juga sih nggak chat Sena dulu mau datang. Sulit ini mah sulit.
Kaki Irene terus aja melangkah gak tau ke mana, akhirnya dia memutuskan untuk ke kantin saja. Irene beli nurdin, siapa yang gak tau? Biasa singkatan orang-orang kalau mau beli Nutrisari Dingin. Setelah mendapatkan esnya, Irene duduk di salah satu bangku yang ada di kantin, mulai menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Sampai seseorang mengambil duduk di kursi yang berada di sisi kiri gadis itu.
Irene menoleh, Loh, ini, kan? Loh, kok cowok ini tiba-tiba muncul? Anjir, pake acara senyum segala? Emang gue lucu? Irene terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Kayak, Tuhan ... Irene tadi itu nyari-nyari nih cowok tapi sulit ketemu, tahunya cowok tadi malah datang sendiri. Skenario Tuhan indah ya?
"Hai, kenalin gue Yudha." Yudha mengulurkan tangan.
Irene masih tidak bisa berkata-kata. Demi apa pun, ia terkejut, jarang-jarang ada cowok yang mengajak berkenalan dengan dia duluan.
Sedikit kikuk, Irene menerima uluran tangan tersebut. "Irene."
Irene mimpi apa sih kemarin malam? Kok hari ini beruntung banget bisa kenalan sama cowok cakep. Mana, cowoknya nyamperin dia duluan lagi. Double suprise ini.
"By the way, lo jurusan apa? Angkatan berapa?" Yudha menanyakan pertanyaan umum. Gak ada yang aneh, tapi perasaan Irene yang aneh. Perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu.
"Manajemen angkatan 2020, kalo lo?"
"Wah, seangkatan dong kita." Yudha tertawa. Asli, kalo ketawa gantengnya semakin plus plus. Ini sih Irene udah gila, masa baru bertemu udah langsung suka? Di mana-mana itu kan seharusnya ada adegan khusus atau first meet yang istimewa gitu biar muncul adanya rasa. Ini baru hari pertama udah langsung kesemsem. Apa ini yang dinamakan first love at first sight?
Bodo amat sama first love, kalau dipikir-pikir Irene udah tahu arti suka-sukaan itu pas kelas tiga SD deh, Irene ingat betul, dulu dia sempat naksir itu cowok sampai kelas enam. Tapi, yah namanya anak SD pasti cuma cinta monyet belaka. Soalnya pas udah kelas lima si cowok jadian sama cewek dari kelas tetangga, Irene gak merasakan apa pun, gak cemburu atau apa, ya B aja kayak gak terjadi apa-apa. Balik lagi, waktu itu dia masih SD.
Waktu kenaikan kelas, cowok yang dia suka ini masih pacaran sama cewek dari kelas tetangga. Dulu pikiran Irene ya masih sama kayak anak lainnya yang bakal bilang, "Wah, awet banget pacaran mereka." Gitu-gitu pokoknya, terus waktu kelas enam SD Irene sadar kalau mereka pasangan yang cocok kalau dulu sih artinya bisa dibilang cocok itu karena sama-sama pinter, yang satu cantik banget dan yang satunya ganteng banget. Irene pernah merutuki dirinya sendiri. Emangnya dia siapa bisa coba-coba suka sama cowok kayak dia yang pasangannya aja sebelas dua belas sama cowok itu?
Singkat cerita aja, itu adalah first lovenya Irene, waktu SMP dan SMA, juga ada. Bisa dibilang cowok yang ada di hadapannya saat ini, Yudha menjadi Fourt lovenya. Banyak banget, tapi apa kali ini akan berhasil? Karena dilihat-lihat dari pengalaman sebelumnya waktu Irene suka sama orang, ternyata orang itu udah ada pacar atau suka sama orang lain. Miris, tapi inilah kisahnya.
"Gue jurusan Teknik Lingkungan."
"Segedung sama temen gue dong?" Irene bertanya kelewat semangat. Gampang dong kalau mau cuei-curi pandang, tinggal sering-sering aja main ke fakultas Salsa.
"Temen lo yang tadi? Yang duduk sebelah lo waktu yang di depan Lab Bio?"
"Iya! Eh, lo kok tahu?"
"Tahu, kelihatan lah, lo tadi juga ngelihatin gue, kan?"
THE REAL TERCYDUK INI MAH. Irene tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuknya. "Sorry, soalnya gue suka lihat cowok yang jago main gitar."
"Oh. Lo lebih suka permainan gitarnya apa orangnya nih?" Yudha bertanya, masih stay cool tapi wajahnya Irene yang sekarang nampak merah.
"Gue bukan mau modusin lo ya, Rin. Gue Cuma nanya jadi gak usah merah gitu pipinya."
ANJIR, INI SIH MAKIN SALTING GUENYA.
NIH, YUDHA SIAPA SIH TUHAN?
TIBA-TIBA BANGET MAMPIR DI HIDUP GUE?
APA INI JAWABAN? DARI SEMUA DOA-DOA GUE YANG MEMINTA COGAN SEBAGAI SANDARAN KEHIDUPAN?
"Ini merah soalnya gue lagi gerah," alibi Irene, bisa dicap cewek gampangan dong, masa ditanyain gitu aja salting. Cewek kan harus jual mahal.
"Jawaban gue sih keduanya. Gue suka permainan gitar lo meskipun gue lihatnya dari jauh dan gue juga gak mau menutupi pendapat gue kalau orang yang main juga ganteng dan buat gue suka."
Gemas, Yudha mengacak rambut Irene. Belum apa-apa masa udah gini? Apa di kehidupan sebelumnya Irene sama Yudha udah saling mengenal?
"Lo, lucu. Mau gue ajarin main gitar?"
"Mau sih, tapi gue gak dibolehin nyokap main gitar, katanya itu terlalu cowok buat gue."
"Pothink aja, mungkin takut tangan anaknya lecet pegang senar gitar," tanggap Yudha lalu meneguk air mineralnya yang ada di atas meja.
"Haha, bisa aja." Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Irene, ternyata gadis itu sudah selesai dan menunggunya di tempat duduk yang berada di depan fakultas. "Kayaknya teman gue udah selesai, gue balik dulu ya."
"Oh, oke, padahal kita belum ngobrol banyak."
Ini gue gak salah denger, kan? gerutu Irene dalam hati.
"Gue boleh minta nomer lo gak?" Yudha menyodorkan ponselnya.
Baru awal ketemu loh, tapi Yudha sudah seberani itu? Irene jadi sedikit curiga tapi wajahnya Yudha gak kelihatan kalau ada aura-aura jahatnya. Pembawaannya kalem dan bersahaja gitu.
"Boleh nggak? Kalau nggak boleh sih gak apa." Yudha hendak memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku, ia juga tidak mau memaksa seorang perempuan yang baru saja ia kenal memberikan nomor telepon.
"Eh, gak papa kok. Siniin ponsel lo." Irene mengetikkan dua belas digit nomornya kemudian ia save. "Nih, udah."
"I-R-E-N-E?" Yudha mengeja huruf per huruf, nama yang tertera di ponselnya. "Irene?" ucapnya salah.
Irene dibuat tertawa oleh cowok itu, wajah kebingungannya dengan dahi yang berkerut. "Lo kok lucu sih? tulisannya Irene tapi bacanya kan Airin."
"Anjir, iya. Sorry ya."
"Santai, gue balik dulu ya." Irene pamit dari hadapan Yudha, ini perasaannya atau benar adanya? Irene merasa kalau dirinya masih diawasi sampai keluar kantin, hanya memastikan cewek itu menoleh ke belakang, benar dugaannya Yudha masih mengawasinya dari tempatnya yang tadi. Terlihat cowok itu tersenyum dan melambaikan tangan.
***
Irene sedikit celingukan mencari sosok Salsa, katanya dia sudah menunggu di bangku depan fakultas, nah ini tidak ada orang sama sekali. Irene memilih untuk duduk di bangku tersebut sembari menghubungi Salsa. Chatnya gak dibales, teleponnya gak diangkat. Salsa ke mana?
Irene menunggu saja, kira-kira hampir 1 jam, mau mencoba menghubungi Salsa rasanya percuma. Gadis itu tak berniat membalas chatnya atau pun meneleponnya kembali.
"Gue harus nunggu atau pulang aja sih ini? Apa dia sama pacarnya ya?" Mengingat pacar Salsa terlalu posesif, Irene jadi yakin kalau sahabatnya itu tak sengaja bertemu Dwikky dan dilarang membuka ponsel.
Bisa dibilang saat Salsa bersama dengan Dwikky, gadis itu hampir selalu tidak bisa dihubungi, Irene paham, tapi kalau kondisinya kayak gini terlalu merepotkan gak sih? Jatuhnya malah kayak red flag.
"Loh, kok sendirian katanya tadi mau ke teman lo?"
Irene mendongak, ternyata Yudha. Cowok itu mengambil duduk di sebelahnya.
"Gak tahu, tadi bilangnya dia udah di sini, tapi udah hampir satu jam an gue tunggu dia gak dateng-dateng. Udah gue chat sama telepon tapi hasilnya nihil."
"Mungkin ada urusan terus gak sempat buka ponsel." Yudha berfikir positif, cowokable banget gak tuh?
"Bisa jadi, tapi kebiasaan dia hilang gak bisa dihubungi itu biasanya gara-gara dia sama pacarnya. Pacarnya posesif banget sama dia, gue kadang kasihan dia menjalani hubungan yang toxic, tapi balik lagi ke dia sendiri soalnya dia cinta banget sama pacarnya."
Yudha menganggukkan kepalanya seperti pendengar yang baik. "Seharusnya hubungan kayak gitu di end in aja gak sih?"
"Gue udah pernah saran tapi ya gitu, namanya juga cinta." Wajah Irene berubah bete, bahkan dulu ia pernah berantem sama Salsa perkara Dwikky. Saat Irene memberi saran untuk memutuskan Dwikky, Salsa tidak terima dan berakhir cekcok dan diam-diaman selama satu minggu.
Yudha masih di sampingnya masih saat ini, apa cowok itu sedang menemaninya menunggu Salsa?
"Gue gak berniat ngusir tapi ini udah mau malem, lo gak pulang?"
"Gampang sih itu, gue kan cowok, pulang malem juga gak masalah."
Irene mau bertanya karena dia penasaran banget, soalnya tiba-tiba ketemu Yudha lagi setelah dari kantin. "Lo tadi emang niatnya ke sini apa gimana? Apa lo lihat gue ke sini makanya lo nyamperin?"
Irene merutuki dirinya sendri setelah memberi Yudha pertanyaan bodoh, bisa-bisanya dia over percaya diri.
Yudha ketawa. Duh, alamat diledekin nih gue.
"Kalau bilang iya gue niatnya nyamperin lo, lo bakal bawa perasaaan?" Masih dengan kekehan Yudha melanjutkan, "tuh, di situ Lab Teknik Lingkungan."
Irene mengikuti arah telunjuk Yudha. Benar, ini kan gedung fakultas sains dan fakultas teknik, tidak heran kalau Yudha berkeliaran di area ini. Justru dirinya yang nyasar ke sini.
"Gue sebenarnya mau ambil tas sama gitar gue di sana, eh lihat lo ya gue datengin."
"Irene, maaf banget ya udah buat lo nunggu." Salsa datang denga napas tersenggal, terlihat kalau dia ke sini dengan berlari. "Dwikky tadi minta ditemenin makan. Oh, ya maaf banget, gue gak bisa balik bareng lo. Dwikky mau nganterin gue."
Boleh misuh gak? Udah nunggu hampir satu jam loh ini?
"Gue udah nunggu lama, Sal."
"Iya, maaf banget ya, Dwikky tadi gak bolehin gue main ponsel, ponsel gue ditaruh di tas." Salsa melirik ke cowok di samping Irene. "Cowok lo? Kok lo gak bilang?" Salsa mengucapkan itu tanpa suara tapi gerakan bibirnya bisa dipahami Irene.
"Ngaco!"
"Btw, kayak kenal, namanya siapa?" Lagi, Salsa berbicara tanpa suara.
"Yudha."
"Yudha?" Yudha menoleh. "Lo yang dari dulu dari sekolah SMP Bina Bangsa?"
***
TBC.
HEHE. GUE GAK TAU KENAPA TIBA-TIBA UPDATE NIH CERITA...
EFEK SENENG KALI YA? SOALNYA CERITA SEBELAH YANG HAMPIR 2 TAUNAN ADA YANG VOTE LAGI T__T
Sekian dan terima kasih kalau semisal ada yang baca cerita ini.
Salam hangat,
Calon pacar mas jeno♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top