Mr. Rakyan & Mr. Hadityama

"Seperti terkurung dalam ruang hampa yang kosong, dingin, sepi dan sesak. Hanya ada aku yang meringkuk di tengahnya. Kemudian seseorang menyelinap masuk dan ikut terkurung. Dia mengajakku bicara. Dia membuatku tersenyum. Dia menghidupkan cahaya yang sudah redup sejak lama." 

○○

"Kupikir aku adalah orang yang tidak beruntung sedunia. Ternyata aku yang jahat karena menginginkan dunia hanya menjadi milikku. Kini aku mengerti. Memiliki banyak orang disekelilingku adalah keberuntungan dan pertemuan kamu dan aku adalah takdir. Terimakasih sudah menyadarkanku. Dan terimakasih sudah menerimaku menjadi teman- ah ralat, sahabatmu." 

■■

"Udah ... gak bisa ... napas ..." Reksa terjatuh di pinggir jalan. Begitupun Kenan dan Fanya yang  juga ikut terduduk di samping Reksa.

"Wah, itu ...  hampir membunuhku," Fanya mengibaskan tangan ke wajahnya agar mendapat udara yang lebih segar.

"Aku masih bingung ... kenapa Reksa menarik kerah bajuku?" Kenan menoleh pada Reksa yang masih mengatur napasnya.

"Kamu pikir kenapa? Tentu saja aku takut," jawab Reksa sebelum mengambil tarikan napas yang panjang. "Aku takut kamu tiba-tiba pukul aku. Kamu gak liat sih muka garangmu itu. Bisa-bisa aku yang kena pukul karena mengagetkanmu."

"Harus kerah bajuku? Emangnya aku kucing?"

Reksa tertawa, "kalau tidak mau terkena cakar kan memang harus begitu pegangnya."

"Bagaimanapun juga terimakasih sudah menolongku. Hati-hati dijalan-"

"Ya ampun, Nya, tega banget kita diusir. Ajak masuk dulu dong, buatin jus alpukat, jus jambu, jus mangga, jus apel, atau es teh manis doang juga boleh kok," ucap Reksa memotong ucapan Fanya yang selalu ia keluarkan ketika menolak kunjungan sepupu laki-lakinya.

"No way! Seluruh makanan bisa kamu makan semua. Nanti Mama pasti belain kamu. Sorry to say, you should go home now!" Fanya sudah berjalan menuju pintu pagar rumahnya.

Dengan kecepatan kilat Reksa menyusul Fanya yang sudah membuka setengah pagar rumahnya. "Assalamu'alaikum, Tante!"

"Reksa apaan sih? pulang! sana pulang!" Fanya berusaha menutup pintu gerbangnya sebelum orang rumah dengar.

"Assalamu'alaikum ... Tante! ini Reksa!" Reksa kembali berteriak.

Kenan yang berada di belakang mereka hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kenan menghela napas lalu menggelengkan kepalanya. Kenan baru mengenal Reksa hampir dua bulan, tapi Kenan seperti sudah terbiasa dengan kelakuan Reksa yang memang selalu menarik perhatian orang. Tukang rujak yang lewat saja sampai berhenti  untuk menonton pergelutan antar sepupu itu. Sedangkan tukang somay yang mangkal di ujung gang sampai menoleh beberapakali untuk melihat keributan itu.

"Aduh, ada apa ini ribut-ribut?" suara khas yang lembut ini sangat dikenali Reksa dan Fanya. Tante Yuna, Mama Fanya.

"Assalamu'alaikum, Tante," ucap Reksa sambil tersenyum ceria.

"Eh, Wa'alaikumsalam. Reksa, ya?"

"Iya, Tante," jawab Reksa sambil nyengir.

"Kok tumben Fanya pulang sama Reksa?" Yuna sudah sampai di depan pagar dan memeluk Reksa hangat.

"Reksa nganterin Fanya, Tan. Habis ikut tawuran tuh. Mukanya udah kayak kucing kejebur selokan," ucap Reksa yang masih ingin mngolok Fanya.

"Tawuran? ada tawuran dimana?" ekspresi khawatir Yuna membuat Fanya merasa bersalah.

"Di lapangan belakang komplek, Tan. Pada bawa senjata tajam gitu. Untung aja Fanya segera diselamatkan," ucap Reksa yang masih menikmati tatapan kesal Fanya.

"Ya ampun ... Fanya, kenapa jalan situ? Mama bilang kan pulang naik bus aja, jangan jalan kaki apa lagi lewat sana. Bahaya, sayang. Untung ada Reksa yang nolongin kamu," ucap Yuna. Seperti dugaan Fanya, Reksa memang tidak boleh bertemu mamanya.

"Tadi itu ada lomba cerdas cermat di Binsa, Ma. Aku pikir lebih cepat kalau lewatin lapangan aja. Gak taunya lagi apes," jawab Fanya apa adanya.

"Terimakasih Reksa sudah tolongin Fanya. Apa ini yang disebut ikatan batin antar sepupu? kalian kan beda sekolah, tapi bisa bertemu dalam keadaan genting," Yuna tersenyum senang.

Fanya sudah terlihat keki sejak tadi. Seolah kalimat 'ikatan batin antar sepupu' terdengar menggelikan baginya.

"Ah, Reksa gak sendiri kok, Tan. Reksa dibantuin superhero lainnya. Ini, namanya Kenan," Reksa menarik Kenan supaya berdiri disampingnya.

Kenan tidak tau harus bersikap seperti apa. Saat pertama kali bertemu bundanya Reksa, beliau langsung memeluk Kenan. Mungkin refleks karena Kenan sudah menyelamatkan Reksa sebelum anak itu jatuh dari atas pohon mangga dan berakhir patah tulang. Tapi sekarang situasinya beda, jadi tidak mungkin Kenan dipeluk lagi, kan?

"Kenan? Tante pernah dengar dari Bundamu. Jadi ini yang namanya Kenan?" Yuna tersenyum pada Kenan yang masih berdiri kikuk disamping Reksa.

"Kenan ini pemalu, Tan. Jadi biar jinak harus dipeluk dulu," ucap Reksa sambil tertawa geli. Siapapun yang melihat wajah kikuk Kenan sekarang pasti akan tertawa. Begitupun dengan Fanya yang sudah menahan tawanya daritadi.

" Saya Kenan, Tante," ucap Kenan canggung yang tentu saja ditertawakan kembali oleh Reksa.

"Tante jadi gak enak nih ngobrol diluar. Ayo masuk, yuk! Ada Raka, Gilang, Raihan sama Farhan juga didalam," ucap Yuna dengan wajah berseri.

"APA?! ANDWAE*!!" Fanya langsung berlari kedalam rumah. Ternyata bukan hanya Reksa yang harus Fanya usir sekarang.

"Masuk, Ken!" Reksa menarik lengan baju kiri Kenan agar cowok itu ikut masuk kedalam.

Ruang tamu keluarga Ramanjaya sudah ramai dengan pekikan Fanya dimana-mana. Cewek itu benar-benar serius ingin mengusir semua sepupu laki-laki dari rumahnya.

"Raka! kenapa makan es krimku? Gilang! itu salad buahku! kalian makan semua milikku? hah! Yang benar saja!" Lihat? sesayang ini mama Fanya pada anak laki-laki. Semua makanan yang harusnya dinikmati Fanya, bisa jatuh ke tangan cowok-cowok kurang asupan seperti sepupu-sepupunya itu.

"Rumah Fanya itu gudang makanan. Raka sering banget kesini buat makan es krim Fanya. Anak Tante Yuna perempuan semua, makanya suka nampung keponakannya yang lain. Kalau kita kumpul begini, pasti Fanya marah-marah terus," bisik Reksa pada Kenan yang masih diam memperhatikan.

Kenan pernah ke rumah Reksa saat akhir pekan. Rumah Reksa ramai karena cowok itu punya dua kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Tapi rumah Fanya kini ternyata jauh lebih ramai. Kenan tertegun. Pikiran itu datang lagi. Rasa iri yang ia rasakan muncul lagi untuk yang ketiga kalinya. Selama hidupnya, dia tidak pernah merasakan udara sehangat ini. Bukan karena siang ini terlalu terik, tapi situasi seperti ini tidak pernah ada dalam keluarganya. Seketika perasaan iri itu muncul. Kenan juga ingin memiliki atmosfir ini dalam keluarganya. Kenan menginginkannya.

"Ah!" semua orang terdiam mendengar pekikan Kenan. Gilang yang baru saja menabrak Kenan untuk menghindar dari amukan Fanya kebingungan. Gilang pikir, apa ia menabrak kenan terlalu keras?

Reksa menggulung lengan baju kanan Reksa, "memar, Ken. Ini gara-gara tawuran tadi?"

"Tawuran?" Gilang dan sepupu Reksa yang lain saling menatap kebingungan.

"Nya, ambil obat!" Reksa dengan panik membawa Kenan duduk lalu ia berlari ke dapur.

Kenan tidak tau harus bereaksi seperti apa. Biasanya ketika sakit, pengurus rumah tangga akan membantunya menyiapkan obat, tapi ia akan mengobati lukanya sendiri. Tapi sekarang, ketika Reksa kembali membawa handuk berisi es batu, Kenan tidak diijinkan mengobati lukanya sendiri. Raihan yang membantunya mengompres memar Kenan yang sudah berwarna keunguan. Kemudian gantian Fanya yang mengoleskan salep pada lukanya.

"Jangan sok kuat, Ken. Kamu boleh nangis kok didepan kita-kita," ucap Raka mengejek wajah Kenan yang terlihat kesakitan.

Kenan tau itu ejekan, tapi dalam keadaan seperti ini mana bisa ia marah. Rasa harunya lebih besar dibanding rasa marah karena ejekan Raka. Apakah seperti ini rasanya punya banyak saudara? saling ejek dan kemudian saling menolong?

Reksa tidak pernah seantusias ini merayakan ulang tahun orang lain. Biasanya Reksa lebih suka ngerjain orang yang lagi ulang tahun daripada bikin pesta kejutan ulang tahun. Terdengar norak memang, tapi Reksa tetap ingin melakukannya. Karena orang ini spesial pakai sosis, bakso, dan telornya empat.

"Tolongin dong, Nya. Dia kan pernah nolongin kamu juga," rengek Reksa dengan wajah super melasnya.

"Apa hubungannya sih? aku setuju sama rencana yang lain. Tapi yang ini hapus aja. Ganti yang lain!" Fanya menolak untuk melihat laptop Reksa yang sedang memutar sebuah video.

Reksa berdiri dan meniru pose dan gerakan dalam video. "Diliat dulu, Nya. Gak susah kok gerakannya. Cuma kanan- kiri- muter- lompat- udah. Oh, jangan lupa pake senyum, biar cantik. Mau ya- ya."

"Raka! bantuin ngomong dong..." Fanya mengguncang tubuh Raka yang tengah main playstasion dengan Farhan.

"Iyain aja, Nya. Biar cepet kelar. Jarang-jarang juga liat Fanya Gian Ramanjaya nyanyi sambil joget-joget," ucap Raka dengan kalem namun ternyata Farhan memberi high five seolah setuju dengan ucapan Raka.

"Kenapa mesti sama aku juga sih? kalian aja sana cowok-cowok semua. Aku gak ikutan bagian itu!" Fanya menenggelamkan wajahnya di bantal sofa. Kurang baik apa coba. Fanya sudah rela berbagi rumah, berbagi playstasion, dan berbagi makanan untuk rapat pesta kejutan ulang tahun. Tapi saudara-saudaranya itu seperti ingin melihatnya malu didepan semua orang dipesta itu.

Reksa menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi? tadinya Reksa pikir akan seru kalau semua saudara sepupu yang seumuran dengannya menari pada pesta ulang tahun. Gilang dan Raihan sudah oke meskipun butuh perjuangan ekstra membujuk cowok-cowok atletis itu bergabung dengan rencananya. Raka dan Farhan juga tidak ambil pusing. Mereka akan ikut saja dengan rencana Reksa. Hanya Fanya yang menolak keras. Padahal tariannya ini cukup bagus. Buktinya, nilai seni budayanya bagus. Berarti tariannya bagus, kan?

"Ngomong-ngomong, Sa, Kenan beneran gak punya saudara?" tanya Raihan yang kini sudah meninggalkan permainannya.

Reksa yang sedang mencoret-coret kertas ditangannya menoleh kearah Raihan sebentar. "Kayaknya gitu. Rumahnya gede, lebih gede dari rumah ini ..." Reksa berhenti bicara sejenak untuk menghela napas, "tapi sepi," sambungnya.

"Saudara sepupu atau saudara jauh gitu?" tanya Raihan lagi.

Reksa menggeleng, "orang tuanya anak tunggal juga. Kenan pernah cerita kalau orangtua neneknya orang Rusia. Neneknya menikah sama orang Indonesia dan memilih ikut suaminya tinggal di Indonesia. Setelah perpisahan itu, gak ada komunikasi dengan keluarga di Rusia lagi."

"Rasanya aneh juga kalau Kenan sama sekali gak punya saudara," Raihan merasa sedikit sesak membayangkan Kenan tumbuh besar seorang diri. "Anggota keluarga kita banyak sekali. Ada Tante 1, Tante 2, Tante 3, Om 1, Om 2, Om 3. Belum lagi saudara sepupu. Nenek juga sampai memberi kita nomor waktu lebaran kemarin. Katanya takut ada cucunya yang ketinggalan."

Reksa tersenyum kecut. Itu juga yang dia pikirkan setelah tau tentang Kenan dari Bunda Raisa, Mama Kenan. Kenan berbeda dengan Reksa yang sejak kecil harus berbagi dengan saudara-saudaranya. Belum lagi ketika dia harus mengalah dari saudaranya yang lebih muda atau berebut mainan dengan saudara yang seumuran dengannya. Lebih sakit hati lagi ketika Reksa tidak salah tapi dia yang kena omelan Ibunya. Tapi membayangkan dia diposisi Kenan, bermain sendiri, makan sendiri, belajar sendiri, sepertinya Reksa juga tidak akan bahagia.

Raka meletakkan keypadnya dan ikut bergabung dengan perbincangan melow itu. "Kapan mau beli kue buat Kenan?"

Fanya langsung berdiri setelah mendengar pertanyaan Raka. "Gak usah beli. Serahin sama aku dan Mama. Pokoknya beres," ucap Fanya dengan semangat.

"Siap 87!" Reksa berdiri tegap dengan tangan terangkat ke dahi memberi penghormatan pada Fanya.

●●

Kenan memeriksa ponselnya lagi. Mungkin sudah dua puluh kali Kenan melakukannya. Tapi apa yang diharapkannya tidak terwujud. Reksa mungkin lupa dengan janji mereka untuk paintball battle sabtu ini. Padahal hari sebelumnya Reksa yang bilang untuk tidak datang terlambat. Raka sudah berkumpul dengan anggotanya yang lain, menunggu lawannya lengkap. Namun sudah satu jam berlalu, batang hidung Reksa pun tidak nampak. Berkali-kali dipanggil namun hanya nada dering yang menyapa.

"Masih gak diangkat?" tanya Raka yang terlihat mulai lelah menunggu.

"Kayaknya tidur. Gak diangkat dari tadi," jawab Kenan tak enak.

"Harusnya tadi aku geret aja sekalian dia kesini. Nunggu dia kelamaan. Nanti keburu sore, gak jadi main. Udah tinggalin aja." Raka menepuk bahu Kenan dan melambai pada temannya yang lain untuk segera bersiap.

"Ka, aku gak ikut deh hari ini. Aku mau kerumah Reksa. Nanti aku tetep traktir kok." Kenan menyambar tas ranselnya dan langsung berlari keluar.

Kenan merasa ada yang tidak beres dengan Reksa hari ini. Mungkinkah Reksa marah padanya? semalam Reksa bilang akan cepat tidur untuk menyimpan energi, itukah caranya menghindar? "Harusnya aku kasih tau dia lebih awal. Kenapa dia harus liat tiketnya duluan sih?" dan hari ini Reksa seperti hilang tanpa kabar.

Setelah sampai dirumah Reksa, kebingungan itu pun semakin melebar. Talita, kakak Reksa yang paling tua menyambutnya dengan senyum heran.

"Kenan kok disini? ada yang perlu dibawa?" tanya Talita masih dengan wajah kebingungan melihat Kenan dihadapannya.

"Reksa dirumah, Mba?"

Dahi Talita mengkerut, "loh, bukannya pergi sama kamu dari pagi?"

Dari pagi? Reksa bahkan membatalkan jogging pagi dengan alasan masih ngantuk. Kenan terpaksa diam dirumah menunggu agak siang untuk jadwal selanjutnya, bermain paintball battle, tapi cowok itu tidak muncul juga disana. Berbagai pikiran buruk sudah melayang dipikirannya. Namun karena tidak mau membuat Talita khawatir, Kenan hanya tersenyum lalu pamit menyusul Reksa yang entah ada dimana.

Kenan baru mau pergi ke sekolah. Siapa tau Reksa disana, nangkring lagi diatas pohon mangga dan gak bisa turun seperti dulu. Namun dering ponsel disakunya menghentikan langkah jenjangnya.

"Woy, Ken, dimana? katanya mau traktir? sweet seventeen gak boleh ketinggalan tiup lilin. Cepetan kesini," suara Raka diseberang telpon membuat Kenan melirik jam ditangan kirinya.

"Reksa udah disana?"

"Eh, kirain kamu udah sama Reksa."

"Aku udah kerumahnya, tapi gak ada. Aku mau ke sekolah dulu, siapa tau dia disana."

Setelah mengakhiri panggilan, Kenan segera bergegas menuju sekolahnya. Sekolah mereka lumayan jauh dari rumah Reksa. Dan setelah sampai didepan gerbang, Kenan langsung menghampiri Pak Joni di pos satpam.

"Pak, saya mau ke taman belakang sebentar boleh gak?" tanya Kenan yang sudah tidak sabar.

"Eh, nak Kenan. Mau ngapain ke taman belakang? yang ekskul sudah pada pulang," jawab Pak Joni setelah menyeruput tehnya.

"Sebentar doang, Pak. Janji gak sampe sepuluh menit," Kenan mengacungkan dua jari disamping pipi kanannya.

Pak Joni terkekeh, "oke- oke. Sebentar saja, ya." pria tegap itu berdiri dan membuka pagar kecil disamping posnya.

Kenan berlari ke taman belakang sekolah. Sepi. Pandangannya sudah berpendar meneliti setiap pohon dipinggiran taman. Namun Reksa tidak ada disalah satu pohon itu. Reksa mungkin tidak ke sekolah juga. Lalu, kemana Reksa?

Kenan kembali dengan lesu. Namun Kenan tetap tersenyum dan berterimakasih kepada Pak Joni yang telah mengijinkannya masuk.

"Nak, Kenan. Ini Bapak lupa sampaikan. Tadi pagi, Reksa kesini. Dia titip surat. Katanya, kalau-kalau kamu kesini Bapak disuruh kasih surat ini. Tapi kalau enggak kesini katanya Bapak boleh buang. Untung kamu kesini sebelum Bapak buang," ujar Pak Joni yang sudah tertawa entah karena apa.

Kenan menerimanya dan kembali berterimakasih. Setelah Pak Joni kembali masuk kedalam posnya, Kenan membuka amplop berwarna jingga itu.

"Hai, sobat! Wah, gak nyangka ternyata ikatan batin kita kuat juga. Surat ini kamu baca, berarti kamu ada ditempat sesuai rencana. Anggap aja kita lagi main petak umpet. Kira-kira aku lagi dimana hayo? aku kasih petunjuk deh. Hmm... aku di tempat yang luas dan banyak tiang-tiang penyangga tinggi berwarna putih. Pintu masuknya warna emas, aku harap sih emas beneran biar bisa aku congkelin. Oh iya, ada banyak foto disini. Ada-"

Kenan tidak menyelesaikan membaca surat yang ditulis Reksa panjang lebar karena Kenan sudah tau dimana Reksa. He is there.

NEXT PAGE >>

*Andwae: Tidak boleh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top