Him

"Dia bilang akan datang dengan hadiah. Dia tidak sadar kalau hadiahnya sudah kuterima sejak lama. Ketika dia terus-terusan memanggil namaku dan berusaha bicara denganku, disaat itulah aku mulai menerimanya menjadi bagian dari kisah hidupku. Dia memberi kejutan yang datang bertubi-tubi. Dan setiap kali dia menggoreskan warna baru, aku bersyukur. Dia hadiah yang paling besar."

○○

"Aku bertemu dengannya. Kupikir ini hanya sebuah empati. Namun, semakin lama timbul rasa ingin bergabung. Dia menyadarkanku dari keegoisan. Dia memberitahuku apa yang sangat berharga. Dan dia menjadikanku salah satu orang yang berharga. Begitupun aku yang juga ingin menjadikannya orang berharga."

■■

Kenan hampir saja menabrak wanita paruh baya yang berdiri didepan pintu masuk apabila tidak segera berhenti berlari. Beberapa tangkai mawar yang dipetik Raisa, bunda Kenan, jatuh keatas kaki Kenan. Dengan gerakan cepat, Kenan memungutnya kemudian memberi salam dan bunganya pada Raisa.

"Ada apa sih? kok buru-buru banget?" tanya Raisa yang sudah menampilkan senyum lebarnya pada putranya.

"Gak pa-pa, Bunda. Anu ... Reksa ada disini?" tanya Kenan yang sudah penasaran setengah mati dengan keberadaan Reksa.

"Reksa? memang kalian janjian disini? katanya mau main tembak-tembakan terus langsung makan-makan."

Kenan menggaruk pelipisnya, "Anu ... Reksa gak dateng, Bunda. Tadi udah kerumah Reksa tapi gak ada. Udah kesekolah juga gak ada. Tapi dia kasih surat, katanya ada dirumah kita."

Raisa mengerutkan dahinya, "dia bilang gitu?"

Kenan mengeluarkan surat Reksa dari sakunya. "Ini, dia bilang ada pintu emas. Reksa selalu bilang pintu rumah kita seperti emas 24 karat karena berkilauan."

Raisa tertawa kecil membaca isi surat Reksa yang banyak coretan itu. "Kalian ada-ada aja. Ini, bawa masuk dulu. Bunda mau ambil yang lain," Raisa memberikan bunga-bunga itu pada Kenan dan segera berlalu kembali ketaman untuk mengambil bunga yang lain.

Kenan berbalik dan membuka pintu rumah yang Reksa bilang seperti emas. Tidak ada yang aneh disana. Seperti biasa, bersih, lapang dan sepi. Semuanya nampak familiar bagi Kenan kecual tiga kardus besar mesin cuci itu nampak asing bagi Kenan.

Kenan berjalan menuju meja disana kemudian menaruh bunga-bunga mawar berwarna merah itu disana. Pikirannya masih tertuju pada keberadaan Reksa. Cowok itu tidak pernah berbohong sebelumnya. Apa mungkin Kenan yang salah tebak?

"Udah buka cepetan!"

"Sstt ... diam dulu. Dia udah masuk belum ya? gak denger suaranya."

"Makanya kupingnya dibersihin. Tadi ada suara pintu."

"Jangan halu, Nya. Aku gak denger."

Samar-samar Kenan mendengar suara dari dalam kardus. Kakinya sudah melangkah menuju kardus paling tengah. Kardus itu sedikit bergerak membuat Kenan semakin penasaran. Tangannya sudah terulur untuk membuka kardus itu. Namun suara tiupan terompet dan kardus lain membuatnya menoleh.

"KEJUTAN!!"

Tentu saja Kenan terlonjak kaget ketika beberapa orang muncul dari dalam kardus-kardus besar itu diiringi teriakan kencang dan terompet yang ditiup. Ditambah lagi balon-balon dari kardus yang terbang keatas.

"Selamat ulang tahun Kenan!" Raisa muncul dari sayap kiri rumahnya. Rupanya wanita itu masuk dari pintu samping sambil membawa kue ulang tahun tanpa lilin.

Reksa melompat keluar dari kardus dan menggapai bahu Kenan untuk dirangkulnya. "Wah, kayaknya kita bener-bener punya ikatan batin deh," ucapnya diakhiri gerakan alis yang ia naik- turunkan.

Kenan melirik Raka yang berada dikardus lain dengan Raihan. "Raka tuh, pinter banget aktingnya."

Raka tersenyum bangga, "yoi dong. Aktor papan atas gitu loh- aduh! Kaki jangan diinjek dong. Sakit, Rey!"

"Tadi kaki aku kamu injek, Ka. Sakit tau!" Raihan mengangkat kaki kirinya. 

Raka merengut sambil meringis kesakitan. Kondisi wajah Raka yang tidak terkontrol itu malah mengundang tawa semua orang yang ada diruang tamu. Ruangan itu ramai seketika. Semua bicara, tertawa, dan saling bergurau.

"Eits. Masih ada kejutan lagi. Ken, tutup mata dulu."

"Ngapain? jangan aneh-aneh, Sa. Kita udah gede. Jangan pake timpuk-timpukan telor atau apalah itu. Sayang telornya, mending buat bikin fuyunghai kesukaan kamu," protes Kenan yang seolah sudah bisa membaca rencana jail Reksa.

Reksa menggeleng tidak setuju, "harus tutup mata. Ini lebih seru daripada nimpuk pake telor. Udah cepetan, tutup mata!"

Kenan menutup matanya setengah hati. Hatinya bertanya-tanya, apa Reksa benar-benar akan melakukannya?

Matanya refleks terbuka ketika Kenan mendengar alunan musik yang dikenalnya. Lima cowok itu sudah berada didepannya dengan pose yang juga ia kenal. Ya ampun! Reksa benar-benar ahlinya bikin orang syok. Kapan mereka berlatih tarian itu?

Gilang, Raihan, Farhan dan Raka menari seperti yang Reksa ajarkan. Gerakannya sangat luwes dan kompak dengan Reksa pemimpinnya. Kenan tidak bisa menahan tawanya ketika gerakan itu dibuat semakin cepat dan membuat mereka kewalahan. Ditengah-tengah tarian, pintu kembali terbuka dan masuklah beberapa orang lagi. Jika dihitung mungkin ada sepuluh orang yang salah satunya adalah Andi, ayah Kenan.

Kenan tidak menyangka sweet seventeennya akan semewah ini. Ayah dan bundanya disini, ditambah keluarga Reksa dan Fanya yang hadir sekarang adalah suatu kemewahan bagi Kenan. Belum lagi ada saudara-saudara Reksa  yang ikut meramaikan suasana. Rumah sepi Kenan seketika berubah menjadi sangat ramai.

"Yuhuuu ... ini Fanfan selfcam melaporkan dari tempat kejadian perkara. Bisa dilihat? rumah ini sebentar lagi akan ambruk karena ulah lima orang utan kelaparan. Nah, ini pemimpin mereka. Farhan! Lihat sini!" Fanya mengarahkan kameranya pada Farhan yang sedang asik makan.

"Mana ada orang utan tampan seperti saya," sahut Farhan dengan tatapan jenaka.

Semua orang disana tertawa kecuali Fanya yang sudah menggerutu akibat kepedean Farhan yang diatas seratus.

"Eh, balikin, Sa!" Fanya mengejar Reksa yang berhasil mengambil kameranya.

Reksa berlarian kesana-kemari menghindar dari kejaran Fanya. Suara tawa bergema disetiap sudut rumah melihat kekonyolan Reksa. Reksa seolah ingin menjadi alasan semua orang tertawa hari ini.

Fanya sudah menyerah dan jatuh terduduk disebelah Gilang. Dengan napas putus-putus Fanya meneriaki Reksa yang sudah kembali berulah. Fanya pikir itu akan berhasil, tapi Gilang malah membantu Reksa untuk kembali beraksi.

"Kalau dilarang makin nekat. Biarin aja dulu," Kenan memberikan botol mineral yang sudah dibuka tutupnya pada Fanya.

"Rumah jadi berantakan gara-gara mereka," ucap Fanya setelah menenggak setengah botol.

"Pasti asik kalau setiap hari begini."

Fanya tertawa. "Jangan menyesalinya nanti."

Kenan menghela napas panjang lalu tersenyum, "Reksa itu orang pertama yang datang kerumah cuma buat makan perkedel buatan Bunda. Orang pertama yang maksa jadi teman sebangku. Orang pertama yang gak pernah nyerah untuk bicara sama aku. Dia orang baik. Aku yang jahat udah nyuekin dia. Ketemu sama dia udah kayak nemu sumber air di guruun sahara, menyenangkan."

Fanya menatap Reksa yang masih berulah dengan yang lain. Sebelumnya, Fanya tidak terlalu dekat dengan Reksa. Reksa yang Fanya tau sebelumnya bukan Reksa yang sekarang. Perubahan ini mungkin bukan hanya Fanya yang merasakannya.

"Bengong! Say, hi dulu dong!" Reksa duduk disamping Fanya dengan kamera yang sudah menangkap wajah mereka bertiga dengan Kenan dibelakang Fanya.

Fanya merebut kameranya dengan cepat lalu berlari menjauh sebelum Reksa meraihnya lagi. Reksa hanya tertawa melihat Fanya yang meledeknya dari jauh.

"Maaf," ucap Kenan pelan.

"Daripada permintaan maaf, aku lebih suka ucapan terimakasih."

"Terimakasih," ucap Kenan kemudian.

"Sama-sama," Reksa menepuk-nepuk bahu Kenan. "Aku gak marah kok. Tentang tiket ke Rusia, aku gak marah. Lagian meskipun kamu nanti ketemu saudara-saudaramu disana, kita tetep teman, kan?"

Kenan mengangguk setuju.

"Terimakasih."

Kenan menoleh, sedikit bingung dengan ucapan Reksa. "Buat apa?"

"Nolongin aku, di taman belakang sekolah. Kalau bukan karena itu, mungkin kita gak akan pernah ketemu." Reksa tertawa mengingat kelakuannya saat itu. "Meskipun gak bisa liburan bareng semester ini, kita bisa liburan bareng lain waktu. Kamu bisa ikut kami kerumah nenek, di Surabaya. Pasti seru banget. Kamu mungkin dapet nomor urut juga nanti," ucap Reksa dengan antusias.

Kenan mengangguk lagi. Sebenarnya dia tidak perlu kemana-mana. Semua yang hadir diulang tahunnya, bahkan terasa seperti keluarga sesungguhnya. Tapi Kenan tidak bisa memungkiri bahwa mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk mengenal saudaranya yang lain, dinegara lain.

THE END

(+) Anggap ini joget scene dari tim rusuh


Terimakasih sudah berkunjung. See you next time ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top