The Wedding
Aku betul betul menikahi Karina. Hanya dengan waktu lima belas hari pernikahan itu dapat terlaksana. Aku tidak mau lagi berlama lama untuk melaksanakannya. Orang tuaku sangat setuju dengan pilihanku. Ibuku begitu bahagia melihatku dapat melupakan kejadian yang sudah bertahun tahun membuatku menyiksa diri. Malah kulihat Sharina dan ibuku langsung akrab dengan Karina ketika pertama kali bertemu. Pembawaan Karina yang ramah dan cepat beradaptasi membuat orang orang yang ada disekitarnya mudah untuk menerimanya.
Semua persiapan sudah kuserahkan kepada karyawanku. Aku tidak mau Karina repot mengurusinya. Selesai akad di rumah, acara resepsi dilanjutkan di hotel bintang lima yang telah diatur oleh Wedding organizer. Resepsi yang meriah dengan tamu yang lumayan banyak. Bahkan aku mengundang orang orang penting di negeri ini. Kegagalan pernikahanku dulu dengan Virginia, seolah ingin kututup saat ini. Selesai resepsi aku memboyong Karina ke kamar terbaik di hotel tersebut. Dia tampak lelah sekali.
" Sayang ...maaf membuatmu lelah. Tamunya terlalu banyak ya." Ucapku sambil membantunya membuka ornamen riasan dikepalanya.
Dia menggeleng, kemudian berlalu ke kamar mandi. Ada sekitar lima belas menit dia kembali dengan piyama tidurnya. Aku menatap Karina yang telah menjadi istriku. Dia begitu cantik tampil natural seperti ini. Ada hasrat yang naik tanpa dapat kutahan. Merasa diperhatikan, dia memalingkan mukanya. Aku tahu maksudnya. Aku ingat betul perjanjian sebelum kami menikah. Aku ingin sekali mengatakannya, bahwa aku sudah tidak lagi mengingat Virginia. Tapi aku tidak bisa, aku juga belum begitu yakin dapat melupakannya. Jahat memang, tapi aku tidak bisa memungkirinya.
" Aku akan mandi, tidurlah. Aku tahu kamu lelah." Ucapku sambil berjalan ke kamar mandi.
Lama aku meredam hasratku dengan berendam di bath tub. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Karina sudah tidur. Aku mencium keningnya, kemudian merebahkan diri di sofa. Rasa lelah membuatku terlelap dengan cepat.
Pernikahan ini hampir berjalan satu bulan. Kami masih dengan komitmen awal. Aku yang tidak dapat menyentuhnya. Aku hanya bisa menciumnya ketika dia terlelap atau disaat pagi ketika aku berpamitan untuk pergi ke kantor. Dia akan mencium tanganku dan aku akan mengecup keningnya. Hanya sebatas itu. Pernah ketika dua minggu pernikahan aku mencoba bicara.
" Sampai kapan kamu akan menyiksaku Karin."
" Aku tidak menyiksamu mas. Aku hanya ingin diterima utuh oleh hatimu. Bukan sebagai pengganti yang telah pergi." Jawabnya dengan suara lembut.
" Tapi aku mencintaimu Karin."
" Aku tahu. Dengan posisi sama dengan wanita itu."
" Aku ini suamimu. Aku halal meminta hakku." Suaraku agak meninggi.
" Aku istrimu mas dan aku tidak ingin diduakan." Suaranya begitu tenang. Aku menghela napasku.
" Aku sudah melupakannya Karin.."
" Melupakannya. Yah..melupakannya. Lalu apa namanya melupakan jika kamu masih sering menyebut namanya ketika gelisah dalam tidurmu. Lalu apa namanya melupakan jika mobil kesayangannya masih terparkir di garasi dan kamu rawat dengan baik. Lalu apakah melupakan jika diary yang berkisah tentang percintaan kalian masih tersimpan di laci meja kerjamu."
Suara itu tetap lembut tapi diselingi isakan. Ya Tuhan...aku telah membuatnya begitu menderita. Aku segera memeluknya dan dia tidak menolak.
" Dimana kamu menemukan diary ini." Tanyaku penasaran.
" Di laci bagian bawah meja kerjamu."
" Aku tidak tahu. Aku tidak tahu ada diary itu disana. Aku tidak menyimpannya dan belum pernah membacanya."
" Bacalah mas. Mungkin itu bisa mengobati rasa rindumu."
Kata kata itu menohokku. Dia mengucapkannya dengan pelan. Aku tahu ada luka disana. Kemudian dia melangkah meninggalkanku. Aku tidak berusaha mencegahnya.
Kupandangi buku bersampul biru itu. Aku membawa diriku ke ruang kerjaku. Sepertinya aku butuh menenangkan pikiran. Lalu setelah itu pernikahan ini berjalan hampa tanpa arah. Sampai saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top